Ilusi Elektoralisme dalam Pemilu 2024

0
23
Ilusi Elektoralisme dalam Pemilu 2024. (Ilustrasi: Kompas)

Oleh: Hasnan Bachtiar dan Sayyidah Fatimah Azzahra

KLIKMU.CO

Hasil dari Pemilu 2024 tampaknya akan segera diumumkan oleh KPU. Merujuk ke situs resmi KPU (per 20/2/2024), capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka meraih suara terbanyak, sekitar 57 juta atau 58% dari keseluruhan pemilih. Angka tersebut muncul ketika proses rekapitulasi suara mencapai 72%. Masih ada sisa 28% lagi untuk mengunggah perhitungan angka perolehan suara.

Sebagai catatan, 52% dari keseluruhan pemilih pada pemilu tahun ini adalah generasi muda. Survei Litbang Kompas menyebutkan, mayoritas suara generasi muda ini tersalurkan ke Prabowo-Gibran. Faktor krusial yang memungkinkan hal ini terjadi adalah framing dan strategi politik yang dimainkan tim mereka, terkalibrasi sesuai dengan tren dan gaya generasi milenial dan gen Z. Adaptasi ‘joget gemoy’ dan optimalisasi penggunaan teknologi digital untuk diseminasi politik menjadi penarik minat kaum muda tersebut.

Sementara itu, calon lainnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, masing-masing memperoleh dukungan 24 juta dan 17 juta suara. Seandainya digabungkan, suara keduanya mencapai 41 juta suara atau setara dengan 41% dari keseluruhan pemilih yang menitipkan suaranya. Artinya, terdapat selisih yang cukup besar, sekitar 17 juta suara.

Tentu saja, dari ketiga kandidat presiden dan wakilnya, tidak ada yang menang dan kalah. Yang ada adalah salah satunya mendapatkan suara terbanyak. Dalam perspektif demokrasi representasional, peraih suara terbanyak adalah yang dianggap merepresentasikan suara rakyat. Dalam hal ini, boleh kiranya disebut bahwa Prabowo-Gibran mendapatkan dukungan “mayoritas”. Tapi ingat, 41 juta suara lainnya yang tidak disalurkan ke Prabowo-Gibran juga suara rakyat.

Meski demikian, kita tidak bisa menyebut bahwa terpilihnya mereka punya kecenderungan politik mayoritarianisme. Karena heterogenitas politik para pemilih di dalam maupun di luar saluran suara untuk Prabowo-Gibran tidak bisa secara sederhana digeneralisasi sebagai suara beku dan homogen. Tidak ada pula ideologi pemersatu (equivalential chains) yang digalang untuk menyeragamkan mereka, mengerem laju keberbedaan kepentingan politik (suspension of differences) individu-individu maupun kelompok-kelompok yang sangat bervariasi.

Inilah gambaran kompleksitas politik elektoral yang menekankan raihan angka pemilih di satu sisi, dan pembangunan demokrasi yang mencerminkan keragaman kepentingan “rakyat” di sisi lain. Kita bisa menyebutnya sebagai “politik yang kuantitatif” diimajinasikan mewakili “politik yang kualitatif”. Terlebih, politik elektoral secara praktis adalah instrumen untuk menentukan kepemimpinan nasional dan formasi elite yang mendukungnya, sementara demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat dan yang terpenting, untuk rakyat) dan heterogenitas politik seperti terlampau berjarak dari elektoralisme tersebut.

Masalah ini semakin serius, ketika pemerintah dianggap sebagai subjek yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan nilai-nilai politik demokratis: keadilan, kemerdekaan, dan kesejahteraan. Tampaknya mewujudkan nilai-nilai tersebut sulit sekali.

Bayangkan bahwa rakyat yang punya kepentingan politik yang serba-heterogen ini kemudian menitipkan kepentingannya kepada berbagai institusi representasi trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) lalu berbagai institusi ini bekerja dalam balutan kompleksitas yang lebih berat lagi, apakah masih memungkinkan untuk memenuhi general will of the people? Hal ini mirip dengan keinginan untuk memanen, tapi tiada pernah menanam, memupuk, dan menyiangi, karena masih sibuk mengurus sengketa sertifikat lahan pertaniannya.

Para politisi peraih suara terbanyak dan para pemain politik di lingkarannya mungkin memiliki draf program pembangunan tertentu, yang menentukan bagaimana pertumbuhan ekonomi makro memengaruhi standar kemakmuran warga negara secara umum. Mereka punya target-target yang berkaitan dengan akumulasi kapital, berbagai bisnis dan korporasi mapan, industri-industri yang diprioritaskan, investasi-investasi unggulan, hilirisasi, dan seterusnya. Tapi semua itu dijalankan dengan penuh intrik dan persaingan antar-aktor politik yang masing-masing berjuang untuk kepentingan politiknya masing-masing.

Sebenarnya, (1) rakyat tidak dapat direduksi sebagai kuantitas suara, (2) rakyat mencerminkan heterogenitas kepentingan politik, (3) para elite politik cenderung bekerja untuk heterogenitas politik mereka sendiri, (4) ada ketimpangan antara politik elektoral dan pembangunan demokrasi yang substansial.

Karena itu, berharap kepada pemerintah terpilih untuk keadilan, kebebasan, dan kemakmuran, boleh-boleh saja. Kita tentu juga memberikan kepercayaan terhadap mereka. Tapi kita sebagai “rakyat” –terutama generasi muda sebagai pemilih mayoritas dan pemilik heterogenitas terbanyak– dengan kepentingan kita masing-masing, tidak boleh bergantung sepenuhnya kepada para aktor politik (elektoral) tersebut.

Kita harus “move on” dari ilusi elektoralisme ini dan mulai menyadari bahwa pembangunan demokrasi ini ada pada rakyat itu sendiri, dengan segala kekurangan, kelebihan, kompleksitas, heterogenitas, dan lain-lain yang dimiliki. Elektoralisme bak rutinitas yang menghabiskan biaya dan memakan korban jiwa (panitianya), tapi membuat girang para kontestannya. Kalau ingin kehidupan berbangsa yang lebih adil, merdeka, dan sejahtera, mungkin malah rakyat yang harus memberikan contoh kepada para abdi rakyat: elite.

Hasnan Bachtiar dan Sayyidah Fatimah Azzahra
Penggiat riset populisme dan politik, the Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation, Deakin University, Australia, dan non-resident research fellow di RBC Abdul Malik Fadjar Institute

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini