15 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Inikah Kriteria Pimpinan Muhammadiyah ke Depan?

Logo Muhammadiyah

Oleh: Ace Somantri
Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

KLIKMU.CO

Gerak langkah dan laju persyarikatan Muhammadiyah bergantung pada seorang pengendali seperti halnya sopir, masinis, pilot, dan nakhoda. Kemampuannya bukan hanya skill melakukan penggunaan fungsi peralatan keras kendali yang dipegang oleh tangan dan diinjak oleh kaki, melainkan sejauh mana kemampuan nalar intelektual kecakapan membaca kondisi dan situasi ketika dalam menjalankan transportasi yang dikendalikan.

Selain itu, skill atau keterampilan penggunaan fungsi alat serta nalar intelektual dalam pembacaan kondisi dan situasi perjalanan yang terlihat di depan, melainkan juga kemampuan komunikasi dengan awak atau crew lainnya agar tetap harmonis nan humanis dalam pengondisian warga yang ada dalam kendaran atau transportasi yang ditumpanginya. Sehingga ketika mengalami turbulensi kendaraan yang dikendalikan, semua pihak yang ada di dalam dapat terkondisikan penuh kerjasama yang baik.

Begitulah sedikit gambaran sebuah institusi organisasi yang akan dikendalikan ketika dianalogikan dalam sebuah kendaraan transportasi darat, laut, dan udara. Sama halnya dalam mengendalikan organisasi sosial, membutuhkan skill dan kompetensi yang mumpuni sesuai kondisi dan situasi yang dibutuhkan saat ini dan masa yang akan datang.

Dalam konteks persyarikatan Muhammadiyah, usianya satu abad lebih sudah banyak makan garam. Namun, tidak menutup kemungkinan sekalipun organisasi sudah berpengalaman dalam realitasnya tetap saja manusia yang mengendalikan. Sehingga sangat mungkin mengalami pasang surut dinamikanya, yang dikhawatirkan ketika usianya makin tua rasa bangga yang berlebihan dan mendekati kesombongan akan memunculkan sikap lalai dan lupa diri, karena merasa sudah berpengalaman sehingga nyaman pada zonanya hingga tertidur lelap.

Tidak terasa waktu berjalan, dalam kondisi tidur lelap dan saking nikmatnya sangat tidak berkenan terganggu apalagi diganggu, begitulah kira-kira gambaran minusnya. Hal yang sama sangat memungkinkan terjadi dalam tubuh organisasi persyarikatan Muhammadiyah di berbagai level pimpinan, baik itu pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Karena nyaman dengan kondisi saat ini merasa cukup dengan amal usaha seadanya, yang penting organisasi tetap masih berdiri dan  berjalan walaupun sudah mulai banyak yang harus diperbaiki.

Sekali-kali di-tune up ala kadar kemampuan yang dimiliki. Untuk diremajakan butuh biaya besar, sehingga dibiarkan kondisi kendaraan terus memburuk. Kondisi ini dapat dirasakan dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah saat ini. Karena organisasi ini dikendalikan orang, maka bergantung orangnya sejauh mana kemampuan mengakselerasi instiusi menjadi institusi yang bergengsi.

Kriteria pengendali atau pimpinan organisasi sangat banyak variannya, yang paling penting diusahakan sesuai kebutuhan saat ini, hari esok, dan masa depan yang akan datang. Sehingga kriterianya mengikuti kebutuhan dan tuntutan, baik tuntutan untuk penyelesaian masalah yang terjadi saat ini dan juga mendesain rangka dan pola struktur rekayasa sosial yang akan datang lebih strategis.

Siapapun mereka, tua ataupun muda, selama memiliki skill dan track record jelas tidak boleh dihalangi dan dijegal hanya karena lantaran like and dislike. Perlu ditegaskan juga kepada siapapun yang memiliki hak untuk didorong atau tampil secara mandiri, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya. Bila perlu uji publik, minimal ada penelusuran rekam jejak dalam berorganisasi, apakah banyak berkreasi dan berinovasi ketika menjadi leader? Atau sekadar hadir tanpa karya, silakan itu dibuat atas dasar kesepakatan bersama, dapat juga penelusuran pribadi maupun keluarganya dalam memimpin.

Kriteria yang ditawarkan sudah dipastikan banyak, baik merujuk kepada sifat-sifat kenabian atau khalifah rasyidah. Sependek yang diketahui, sekelas persyarikatan Muhammadiyah bicara kriteria sudah di luar kepala para aktivis penggeraknya. Yang sering terlewati adalah paradigma pengembangan sumber daya manusia, kaderisasi anggota, dan regenerasi pimpinan sering mengalami turbulensi dan stagnasi.

Hal itu terlihat kasatmata. Di Jawa barat atau di wilayah lain pada umumnya soliditas warga persyarikatan Muhammadiyah terjebak senior-yunior dan terkotak-kotak kelompok, baik pendekatan kelompok alumni pesantren atau sekolah juga kelompok alumni ortom yang ada di perayarikatan.

Semoga itu tidak terjadi yang sebenarnya karena itu dapat jadi penglihatan yang rabun. Seandainya semua jujur mengakui dalam hati nuraninya, bahwa itu memang terjadi dapatkah untuk duduk bersama berbicara untuk berbagi peran, jangan sampai ada kata-kata yang terlontar dalam grup WhatsApp seperti ungkapan ” lu lagi lu lagi”  dan kata itu sangat tidak nyaman dibaca atau didengar manakala diucapkan. Kesannya seperti organisasi yayasan yang tidak diganti selama masih hidup, padahal Muhammadiyah organisasi kader.

Saat ini regenerasi pimpinan di ortom relatif berjalan dengan baik. Nyaris tidak ada yang lebih dari dua periode. Namun, ketika di persyarikatan induknya sebaliknya hampir di semua level pimpinan ada stagnasi regenerasi. Semoga hal ini juga perasaan subjektif pribadi, karena kata “lu lagi lu lagi” konotasinya yang dapat ditangkap mengarah pada pemaknaan regenerasi tidak berjalan karena ada beberapa pimpinan berkali-kali.

Sebetulnya itu sah-sah saja manakala banyak prestasi, hanya menjadi masalah ketika kaderisasi pimpinan mengalami kebuntuan dikarenakan pimpinan petahana generasi senior masih terus bersedia dan junior menghormatinya sehingga hanya jadi penonton. Jikalau dinamika itu dipelihara, akan mengalami pelambatan signifikan terhadap adaptasi perkembangan sosial, politik, ekonomi dan peradaban dunia.

Apapun alasannya, saat ini populasi masyarakat yang memiliki eksistensi terbuka didominasi oleh generasi milenial. Pasalnya lebih dari 43 % usia milenial saat ini. Generasi old di era ini cenderung lebih banyak menikmati masa tua dan melihat menjadi penonton di layar media sosial konvensional hal ihwal dinamika dari sebuah karya generasi milenial.

Artinya, apabila organisasi saat ini berharap eksistensinya mengimbangi generasi mereka sebaiknya harus yang menjadi pimpinan organisasi lebih paham dan dekat dengan bahasa mereka, baik bahasa lisan, tulisan, dan bahasa isyarat lainnya. Dan apabila terpaut jauh dari mereka dari sisi usia, sulit menyerap sifat dan karakter generasi milenial yang cenderung berperilaku streaming native. Hampir dipastikan prilaku tersebut meningkat berlipat setiap tahunnya.

Beberapa kriteria sangat sederhana untuk pimpinan Muhammadiyah ke depan: 1) Generasi muda, agar mampu mengimbangi jamaah generasi milenial. 2) Sosok berkarakter problem solver (penyelesai masalah) yang menggerakan. 3) Mental pemimpin tangguh dan pemberani untuk kepentingan umat. 4) Pengasih dan penyayang kepada hal yang baik dan benar. 5) Visioner, mampu memprediksi hal yang akan terjadi dimasa akan datang dan antisipasinya. 6) Memiliki leadership skill “out of the box”. 7) Memiliki buah karya inovasi dalam menggerakkan, memperbaharui, mencerahkan dan memberdayakan komunitas masyarakat.

Dari beberapa kriteria tersebut tidak mutlak, hanya sedikit dari sekian banyak kriteria yang seharusnya dimiliki pimpinan organisasi, termasuk persyarikatan Muhammadiyah. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *