Inilah Bentuk Pluralisme dan Toleransi Muhammadiyah

0
66
Para Ketua Umum PP Muhammadiyah dari masa ke masa. (Ilustrasi istimewa)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Carl Whyterington, seorang peneliti senior Amerika, menyebut bahwa Muhammadiyah adalah “organisasi yang diberkati”. Sebab itu, tak usahlah baper jika aset Muhammadiyah terus tumbuh hingga ratusan triliun—111 tahun bukan kurun yang pendek untuk bukan hanya tetap survive, tapi juga terus tumbuh berkembang.

Muhammadiyah tak hanya menyoal tentang seberapa tinggi celana di atas mata kaki atau sibuk tentang cara membikin istri rela dimadu atau seberapa keras tahdzir “dihadiahkan” buat sesama mukmin yang berbeda pendapat.

Perguruan tinggi Muhammadiyah hadir memberi solusi ketika UKT mahal, pun dengan ratusan amal usaha lain yang semisal.

Muhammadiyah menganjurkan warganya belajar Al-Quran atau sunah untuk diamalkan, bukan dijadikan bahan untuk mencela atau men-tahdzir yang tidak semanhaj. Warga Muhammadiyah merelakan rumahnya tanahnya dan harta lainnya diwakafkan untuk Muhammadiyah sebagai bukti iman.

Saya katakan sekali lagi, puritanisme etik yang diperankan Muhammadiyah bukan puritan ofensif, yang menyerang, yang mengambil alih, yang merebut tempat ibadah, yang mencela yasinan, tahlilan, manakiban karena dianggap tidak sehaluan, yang takbir keras dengan menutup restoran, depot, atau bar di bulan Ramadhan dengan pentungan atas nama nahi munkar atau lainnya. Bukan pula yang suka men-tahdzir karena berbeda pendapat, tapi puritan produktif, yang santun, ramah tetap jaga adab dan solutif.

Kesantunan Muhammadiyah sudahlah teruji. Purifikasi atau pemurnian yang dilakukan tetap menjaga adab, teguh memegang prinsip kembali kepada Al-Quran dan as-sunah, tapi tetap santun dan adaptif dalam aplikasi.

Bukan dengan revolusi, apalagi ofensif menyerang status quo, tapi mengedepankan uswah atau keteladanan. Muhammadiyah adalah contoh baik, meski kerap menjadi antitesis terhadap kemapanan atau status quo. Muhammadiyah bukan sekadar beda, tapi memberi solusi yang efisien lagi efektif. Muhammadiyah terbuka terhadap pluralitas dan adaptif terhadap perubahan dan bukan sekadar kata.

Muhammadiyah berpendapat bahwa merayakan Natal atau ikutan memperingati perayaan agama lain bagi umat Islam hukumnya haram, tapi tidak harus menjaga gereja, sebab warga Muhammadiyah tak ada yang mengganggu ritual agama lain.

Muhammadiyah melakukan purifikasi dengan jargon kembali kepada Al-Quran dan as-sunah, memberantas bidah, takhayul, atau khurafat, tapi tidak dilakukan dengan cara merebut mushala atau masjid atau mengganti imam shalat atau menyerobot menjadi khatib di masjid yang bukan haknya.

Muhammadiyah berpendapat bahwa perdukunan atau ramalan nasib dan semacamnya atau lainnya adalah salah satu bentuk kemusyrikan, tapi tidak di lakukan dengan cara mengusir dukun atau sweeping mengusir pergi.

Bagi Muhammadiyah membangun masjid dan mushala adalah jihad melawan bidah, mendirikan klinik hingga rumah sakit bertaraf internasional adalah jihad melawan perdukunan, membangun sekolah dari PAUD hingga perguruan tinggi terbaik di dunia adalah jihad melawan kebodohan dan jumud pikir. Panti asuhan, MDMC, Lazismu adalah jihad menolong kesengsaraan oemoem. Inilah nahi mungkar dan jihad yang dipahami Muhammadiyah secara kolektif hingga akar rumput.

Diksi-diksi teologis (kalam Allah) dijadikan sandaran etik:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

Tidak dinafikan, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang berpikiran maju, terbuka, dan toleran. Hal tersebut membuat dokter Soetomo, seorang elite priyayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo, kepincut dengan Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu. Beliau juga sering berdialog pemuka agama Kristen.

Di antaranya ialah Pastur van Lith, Pastur van Driesse dan Domine Bekker. Keterbukaan beliau memang luar biasa, namun perlu dicatat secara adil sikap tegas KH Ahmad Dahlan dalam beraqidah.

Pada 1969, tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Azhar Basyir MA menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Secara tulus tanpa mencela Kiai Azhar Basyir menyampaikan ucapan terima kasih, bahkan merasa mendapat kehormatan dengan undangan dari Institusi Katolik tersebut.

Ketika itu, Kiai Azhar Basyir menyampaikan ceramah dengan judul: “Mengapa Muhammadiyah berjuang menegakkan tauhid yang murni?”. Kata Sang Kiai, “Karena Muhammadiyah yakin benar-benar dan ini adalah keyakinan seluruh umat Islam, bahwa tauhid yang murni adalah ajaran Allah sendiri”.

Muhammadiyah tidak pernah men-tahdzir, mencela, memaki, menolak yang tidak semanhaj atau nahi mungkar dengan cara sweeping dengan pentungan kepada yang tidak sepemahaman, sebab itu bukan karakter Islam maju—yang teguh memegang prinsip aqidah tapi toleran, lapang hati dan terbuka berpikir dalam aplikasi. Pendek kata, bisa dibilang: eksklusif dalam iman inklusif dalam muamalah.

Dr Nurbani Yusuf MSi
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini