Inilah Negara-negara Penghasil Konten Islamofobia Terbesar

0
10
Salah satu demo anti Islamofobia di Amerika Serikat. (Foto:dok.aboutislam)

Jakarta, KLIKMU.CO – Sejak 2017, setiap bulan November, di Inggris diperingati sebagai Islamophobia Awareness Month (IAM) atau Bulan Kesadaran Islamofobia, yang diperingati akibat banyaknya kasus kebencian anti-Muslim di Inggris, hingga mencapai angka 7.000 kasus kriminal yang dipicu oleh adanya kebencian anti-Muslim.
Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baru pada tahun 2022 mengeluarkan resolusi yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Internasional Melawan Islamofobia”atau the International Day to Combat Islamophobia.
Dipilihnya tanggal 15 Maret terkait dengan peristiwa serangan teroris Islamophobic kepada jamaah salat Jumat di Masjid Al-Noor di Christchurch, New Zealand tahun 2019 yang menewaskan 51 orang.
Resolusi tersebut diadopsi melalui konsensus oleh 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Penetapan itu menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan mengingatkan kembali pada resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.
Realisasi dari resolusi tersebut, PBB mendorong masyarakat internasional memerangi diskriminasi terhadap Muslim, termasuk mengambil semua tindakan yang diperlukan guna mendukung hal tersebut.
Tidak hanya itu, mereka juga melarang advokasi kebencian agama apa pun, yang merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan. Sebuah peringatan juga disampaikan perihal kebencian anti-Muslim yang dinilai telah mencapai proporsi epidemik.
Hingga saat ini, seruan tersebut sebagian besar diabaikan, terutama di ruang rapat eksekutif perusahaan media sosial. Terlihat hanya sedikit upaya, bahkan kebanyakan tidak melakukan apa pun, untuk menghapus konten anti-Muslim dari platform mereka.
Kelambanan ini memiliki dampak yang menghancurkan bagi komunitas minoritas Muslim di seluruh dunia. Situs microblogging X, yang dulu dikenal sebagai Twitter, menjadi sumber utama pembiaran kebencian anti-Muslim di media sosial yang kian berkembang dan membesar.
Menurut jurnalis asal Australia, CJ Werleman, saat ini perusahaan media sosial harus memusatkan perhatiannya pada perilaku pengguna di tiga negara, yaitu AS, Inggris dan India, demikian dikutip dari theprint.
Sementara itu Islamic Council of Victoria (ICV) , sebuah badan Muslim yang mewakili 270.000 anggota komunitas muslim di Victoria, Australia, mengungkapkan bahwa mereka menemukan hampir empat juta postingan anti-Muslim yang dibuat selama periode 2 tahun saja, antara 2017 dan 2019, dimana 86% dari seluruh postingan berasal dari AS, Inggris dan India.
ICV juga menandai adanya lingkaran setan kebencian yang terwujud dalam serangan daring dan luring, terhadap komunitas global. Pengguna di India, di sisi lain, menghasilkan lebih separuh postingan dari negara tersebut, yang mengkampanyekan kebencian terhadap Islam.
Di antara pengguna tweet X yang berbasis di India, para peneliti menyalahkan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di negara tersebut, atas penyebaran dan penguatan kebencian anti-Muslim. “(BJP) secara aktif menormalkan kebencian terhadap Muslim sehingga 55,12 persen tulisan kebencian Muslim sekarang berasal dari India,” kata mereka dalam laporannya, dikutip di TRT World, Rabu (23/8/2023).
ICV juga menunjuk pada undang-undang diskriminatif yang menyangkal kewarganegaraan Muslim dan hak-hak sipil lainnya, yang kian mendorong munculnya kebencian anti-Muslim secara daring di antara akun media sosial India itu.
Adapun di Amerika Serikat, pembiaran kebencian terhadap Muslim di media tweet X hampir tidak dapat dipisahkan dari retorika dan kebijakan penuh kebencian mantan presiden Donald Trump. Sosok ini menempati peringkat ketiga, sebagai pengguna yang paling sering disebut dalam postingan anti-Muslim.
Menurut para peneliti, banyak tulisan yang terkait dengan pembelaannya terhadap larangan imigrasi Muslim dan teori konspirasi anti-Muslim. Termasuk salah satunya menempatkan Demokrat yang disebut berkolaborasi dengan “Islamis” untuk mengambil alih Barat.
Sedangkan di Inggris, para peneliti mengaitkan prevalensi tweet anti-Muslim dengan banyak faktor. Di antaranya adalah jangkauan global permusuhan anti-Muslim Trump, sentimen anti-imigrasi yang dipicu oleh krisis pengungsi, wacana seputar Brexit, serta rasisme yang dilakukan mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Sekretaris jenderal Dewan Muslim Inggris, Zara Mohammed mengungkapkan bahwa selama Boris Johnson memimpin, tidak ada langkah konkret yang diambil untuk menangani Islamofobia di Partai Tory. Mohammed mengatakan kepada Metro.co.uk bahwa MCB (Muslim Council British) telah mencatat lebih dari 300 contoh Islamofobia di partai tersebut sejak 2019.
Dengan menganalisis konten anti-Muslim yang diproduksi oleh ketiga negara tersebut, para peneliti mengidentifikasi beberapa tema utama yang biasa dibahas. Salah satunya adalah asosiasi Islam dengan terorisme, penggambaran Muslim sebagai pelaku kekerasan seksual dan keinginan Muslim untuk memaksakan Syariah pada orang lain.
Selain itu, muncul konspirasi yang menuduh imigran Muslim menggantikan kulit putih di Barat dan Hindu di India, serta karakterisasi halal sebagai praktik tidak manusiawi yang melambangkan apa yang disebut “kebiadaban” Islam.
“Namun, yang lebih memprihatinkan adalah penemuan hanya 14,83 persen cuitan anti-Muslim yang akhirnya dihapus,” kata para peneliti. Kondisi ini dinilai terus mendorong peningkatan kejahatan rasial terhadap komunitas minoritas Muslim, bahkan lebih parah lagi dengan ujaran kebencian anti-Muslim secara daring.
Di sisi lain, serangan Masjid Christchurch 2019 disebut menggambarkan lingkaran setan ini. Pelaku pria bersenjata itu diradikalisasi oleh konten online anti-Muslim, yang mana dalam seminggu setelah dia membunuh 52 jamaah Muslim.
Akibatnya, insiden pelecehan anti-Muslim melonjak hingga 1.300 persen di Selandia Baru dan 600 persen di Inggris. Hal ini juga memicu atau menginspirasi gelombang kekerasan anti-Muslim di Inggris dan Skotlandia, termasuk serangan terhadap masjid di Stanwel, dan penikaman seorang remaja Muslim di Surrei.
Sebuah laporan juga mendokumentasikan lebih dari 800 serangan terhadap masjid oleh ekstremis sayap kanan di Jerman sejak 2014. Terjadi pula serangan yang dilakukan oleh migran Hindu sayap kanan India terhadap komunitas Muslim di Anaheim, AS, dan Leicester, Inggris.
Serangan-serangan ini tidak hanya menimbulkan dampak psikologis yang besar terhadap umat Islam, tetapi juga masyarakat luas. Peneliti menilai sangat tidak masuk akal tweet X hanya melakukan sedikit atau tidak melakukan apa pun, untuk menghapus sebagian besar konten anti-Muslim di platformnya.
Sebuah studi tahun 2020 berjudul “From Hashtag to Hate: Twitter and anti-Minority Sentiment” sama-sama mengutuk raksasa media sosial tersebut. Mereka menemukan korelasi langsung antara kebencian anti-Muslim di Tweet X dan kekerasan terhadap Muslim di depan umum.
Berfokus pada akun Tweet di X dengan jumlah pengikut yang tinggi, termasuk AS, penulis studi tersebut menemukan bahwa peningkatan kejahatan rasial anti-Muslim sejak kampanye presiden Donald Trump tahun 2016 telah terkonsentrasi di negara-negara Amerika, dengan tingkat penggunaan yang sangat tinggi.
“Konsisten dengan peran media sosial, kicauan Trump tentang topik terkait Islam sangat berkorelasi dengan kejahatan rasial anti-Muslim setelahnya, tetapi tidak sebelum dimulainya kampanye kepresidenannya dan tidak berkorelasi dengan jenis kejahatan rasial lainnya,” tulis mereka dalam kesimpulannya.
Meski demikian, tidak satu pun dari informasi ini yang baru atau mengungkapkan ke Tweet X. Pada 2020, perusahaan ini mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan anggota independen dari Anti-Muslim Hatred Working Group (AMHWG), sebuah Kelompok Kerja Lintas Pemerintah untuk memerangi Kebencian Anti-Muslim.
Hal ini disebut sebagai bagian dari komitmen bersama untuk melawan perilaku kebencian secara daring. Mereka juga menyebut ingin mengatasi kebencian anti-Muslim bersama-sama, sambil bekerja sama dengan kelompok lain yang memiliki komitmen yang sama.
Media sosial Tweet X, bersama dengan Google dan Meta, pada 2019 juga telah berjanji untuk menghapus konten anti-Muslim dari platformnya, setelah serangan teroris masjid Christchurch. Tapi janji-janji ini gagal direalisasikan, seperti yang disoroti oleh Center for Countering Digital Hate (CCDH), kelompok advokasi di London yang berupaya memerangi kampanye kebencian dan kebohongan di media sosial. Menurut mereka, perusahaan media sosial telah meremehkan hak asasi manusia dengan menyebarkan kebencian dan kebohongan. Kami menghentikan penyebaran kebencian dan disinformasi online melalui penelitian, kampanye publik, dan advokasi kebijakan.
Saat ini ditemukan bahwa perusahaan media sosial, termasuk Tweet X, telah gagal menindak 89 persen postingan berisi kebencian anti-Muslim yang dilaporkan kepada mereka.
Sederhananya, jika perusahaan media sosial terus menolak seruan untuk menghilangkan kebencian anti-Muslim dari platformnya, maka anggota kelompok minoritas Muslim akan terus diancam, disakiti, atau dibunuh. Muslim di seluruh Barat akan mengalami serangan yang sama seperti yang terlihat di masjid-masjid di Selandia Baru, Kanada, Inggris, Jerman dan AS dalam beberapa tahun terakhir.
Kondisi berbeda terjadi bilamana Muslim menjadi mayoritas seperti di Indonesia.
“Di Indonesia 90% Muslim, Hindu 2% dan Candi ada 11 ribu. Pernahkah Anda mendengar tentang kerusuhan di sana? Tidak, karena tidak ada organisasi komunal. Ada gambar Ganapathi di uang Indonesia. Agama tidak mengajarkan hal-hal yang buruk. Manusia menjadi jahat demi keuntungan mereka sendiri,” kata CJ Werleman, jurnalis Australia yang sangat aktif bersuara di media sosial melawan Islamofobia dan ketidakadilan terhadap komunitas Muslim di seluruh dunia.(mhd)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini