Islam Kiri

0
64
Kiai Nurbani Yusuf, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (Foto Klikmu.co)

Oleh: Nurbani Yusuf

Islam berpihak kepada dhuafa atau proletar. Dhuafa atau proletar dalam terminologi sosiologi menempati posisi kuat, meski kerap dilemahkan. Setidaknya kajian-kajian tentang kesejahteraan dan keadilan menjadi bahan bincang paling menarik, Sebut saja Robert Owen, Saint Simon, Charles Fourier, Karl Marx, dan Friedrich Engels.

Islam wasath karena ada Islam kanan dan Islam kiri.

Berbagai upaya diikhtiarkan untuk menghilangkan kemiskinan, dari sejak nabi Adam as hingga hari ini, berhasilkah? Tidak saya bilang. Karl Marx telah bersusah paya membikin konsep sosiologis untuk mengentaskan kemiskinan dari berbagai sisi, meski kemudian banyak mendapat perlawanan dan cemooh.

Teologi Al-Maun yang digagas Kyai Dahlan di awal berdiri adalah gagasan “kiri”— yang berpihak kepada orang miskin yang lapar dan anak yatim yang kehilangan perlindungan. Empat majelis di awal berdiri adalah Majelis Tabligh, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem, Majelis Pendidikan, dan Majelis Poestaka menyimbolkan keberpihakan pada rakyat yang tertindas.

Firaun, Hamman, Qarun, dan Bal’am adalah representasi penguasa zalim, cendekiawan lacur, orang kaya serakah, dan agamawan korup. Mereka adalah musuh bersama yang hendak diruntuhkan Karl Marx dalam gerakan revolusi rakyat.

Bukankah Islam sangat berpihak kepada orang faqir yang dilemahkan, dimiskinkan, dizalimi, tidak diberikan hak-haknya karena keserakahan para borju, yang kemudian disebut oligarki, konglomerasi, dan segala turunannya. Hubermas menjelaskan dalam dialektika dan struktur penindasan.

Dalam berbagai pemisalan, Allah pun kerap merepresentasikan Dirinya sebagai orang miskin. Allah berkata: “Aku lapar kenapa tak kau beri Aku makan. Aku kedinginan kenapa tak kau beri Aku selimut. Aku haus kenapa Aku tak kau beri minum”.

Rasulullah saw bersabda dalam doanya: “Ya Allah, wahai Rabbku, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikan aku dalam keadaan miskin serta kumpulkan aku dalam keadaan miskin.”

Tapi jujur saya belum paham apa ada kaitan antara kolektif kolegial dengan paham sosialisme Islam (komunal). Jadi apakah benar Muhammadiyah itu menganut paham sosialisme Islam? Yang dicirikan dengan kolektif kolegial dalam semua urusan, bukankah gagasan pembaharuan Kyai Dahlan juga berawal dari teologi Al-Ma’un, dengan fokus pada pengentasan kemiskinan, kesengsaraan oemoem, dan pendidikan rakyat jelata.

Jadi sejak awal berdiri memang berpihak pada kaum proletar, buruh, dan orang-orang tertindas lainnya sebagai medan atau washilah berdakwah, bukan berpihak pada penguasa atau politik kekuasan dalam arti leterlek.

Apakah bisa dibilang bahwa pertemuan Kyai Dahlan dengan bapak sosialisme Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto begitu dalam membekas mewarnai pergerakan Muhammadiyah?

Wallahu ta’ala a’lm bis-shawwab. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini