Oleh: Nardi SThI MPd *)
KLIKMU.CO
Isu khilafah akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan setelah pemimpin tertinggi organisasi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja ditangkap pasca adanya konvoi yang mengampanyekan negara khilafah. Sebelumnya gagasan khilafah kerap digaungkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sekarang sudah dibubarkan oleh pemerintah.
Merujuk pada hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Jamil Wahab mengungkapkan bahwa ada tiga lembaga atau organisasi yang mengusung ideologi khilafah di Indonesia yaitu, yaitu Hizbut Tahrir, ISIS, dan Khilafatul Muslimin di Lampung. HTI sudah dibubarkan oleh pemerintah sementara pemimpin Khilafatul Muslimin sudah ditangkap dan dalam proses hukum. Menurut Abdul Jamil Ketiga-tiganya ini memang mempunyai satu gagasan bahwa dunia itu hanya dikuasasi oleh satu kekuasaan saja, yang pemimpinnya itu disebut khalifah.
Menurutnya, ide atau pandangan yang diusung ketiga organisasi tersebut bisa disebut sebagai global state, yaitu sebuah dunia yang hanya memiliki satu kekuasaan. Karena itu, menurut dia, hal itu bertentangan dengan nation state atau negara kebangsaan. Kedua pandangan ini tidak bisa disatukan, karena pada dasarnya dua entitas yang berbeda. (https://www.republika.co.id/berita/qhvnbn320/peneliti-kemenag-ada-3-pengusung-khilafah-di-indonesia)
Khilafah sebagai Sistem Negara, Benarkah?
Seringkali kita mendengar bahwa sistem negara khilafah merupakan solusi dalam mengatasi kemelut bernegara. Sistem pemerintahan diluar khilafah dianggap toghut dan bertentangan dengan ajaran Islam. Maka untuk menyelamatkan negara dan masyarakat mau tidak mau harus kembali ke sistem pemerintahan khilafah. Gagasan ini terus disuarakan dan menjadi doktrin wajib bagi setiap anggotanya. Pertanyaan seriusnya adalah benarkah dalam Islam ada bentuk pemerintahan yang definitif? Benarkah dalam Islam mengajarkan adanya bentuk pemerintahan tertentu?
Penganut sistem khilafah menggunakan dalil firman Allah QS. Al-Maidah ayat 48-49 dan An-Nisa’ ayat 59. Pandangan terhadap ayat tersebut cenderung skriptual an mengabaikan sisi tafsir lainnya. Selain didasarkan pada Al-Qur’an, mereka juga mendasarkan pendiriannya pada sejarah Islam bahwa sejak zaman Nabi Muhammad sampai pada zaman Daulah Utsmani daulah Islam telah menjadi fakta sejarah yang berhasil memajukan peradaban Islam.
Tentu saja, pandangan tersebut kontraproduktif dengan pandagan kritis soal institusi khilafah. Sebagai contoh seorang tokoh yang memiliki pandangan kritis terhadap institusi khilafah adalah Al-Maududi (1903-1979). Al-Maududi tidak menolak terhadap pandangan institusi khilafah sebagai fakta sejarah. Tetapi Al-Maududi membatasi fakta tersebut hanya sampai pada di era khalifah rashidah. Pada zaman berikutnya, sistem politik Islam menurutnya didominasi oleh sistem kerajaan (al-mulk), meskipun secara formal menggunakan nomenklatur khilafah.
Dalam analisis Al-Maududi, setelah melewati masa khalifah rashidah praktik politik Islam diwarnai oleh sejumlah anomali. Menurut Al- Maududi pada masa khalifah rashidah praktik politik Islam dibingkai pada tujuh prinsip fundamental, yaitu: pemulihan, musyawarah, amanat baitul mal, kekuasaan undang-undang, egaliter pemerintahan tidak didasarkan pada fanatisme kesukuan, dan jiwa demokrasi. Tetapi setelah lepas dari masa khalifah rashidah ketujuh prinsip tersebut mengalami pengikisan sehinga sistem politik Islam berubah menjadi sistem kerajaan.
Menurut Al-Maududi, jika pada masa khalifah rashidah posisi khalifah bisa ditempati oleh semua kalangan tanpa mempersoalkan asal usul keturunan dan kelompoknya. Pada zaman sesudahnya kekuasaan khalifah merupakan hak istimewa kalangan tertentu.
Selain terdapat pandangan kritis di atas yang membatasi riwayat khalifah hanya pada sampai masa khalifah rashidah, ada pandangan kritis lainnya yang menempatkan khalifah tidak lebih sebagai institusi sosia dan properti kesejarahan (historical property) masa silam, serta sebagai konsep yang tidak memiliki landasan tekstual yang konklusif dalam Islam. Dengan watakna yang demikian, institusi politik dalam Islam seperti khilafah akan terus mengalami perubahan mengikuti perubahan properti sosio-kultural pengisinya. Pendapat ini juga pada aspek lain ingin mematahkan argumen yang memposisikan institusi khilafah pada derajat yang lebih tinggi dengan institusi politik modern seperti kepresidenan.
Dari analisis di atas dapat dikatakan bahwa dalil keagamaan untuk membentuk sistem negara khilafah pada hakekatnya tidak memiliki aksioma yang definitif dalam konteks ajaran Islam, baik dalam nash Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Artinya agama memberikan keleluasaan untuk mencari format sendiri sistem bentuk pemerintahan yang relevan dengan kultur masyarakat setempat.
Pancasila sebagai Peranti Pemersatu Bangsa
Sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 fenomena keagamaan mengalami perubahan yang signifikan dalam masyarakat Indonesia. Perubahan yang cukup siginifikan dan banyak menyita perhatian publik adalah maraknya berbagai kelompok keagamaan yang mengusung ideologi radikal. Keberadaan kelompok ini tidak pernah statis, tetapi terus mengalami perkembangan sejalan dengan dinamika di dalam dan di luar negeri. Perkembangan ini mengundang kecemasan dan kekhawatiran publik. Karena tidak jarang organisasi Islam radikal menebar teror yang berakibat fatal bagi kemanusiaan.
Kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 perubahan fenomenal dalam konteks Indonesia kontemporer memberikan peluang munculnya berbagai gerakan kelompok keagamaan yang berhaluan keras (hardliners). Kelompok keagamaan yang awalnya bergerak di bawah tanah (underground), atau setidaknya berkembang di kalangan terbatas pada saat kejatuhan rezim Orde Baru muncul secara lebih terbuka untuk memperkuat basis massa dan memperluas jaringannya.
Salah satu kelompok keagamaan yang memanfaatkan kejatuhan rezim Orde Baru adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI sebenarnya bukan kelompok keagamaan lokal tetapi (home grown), tetapi merupakan bagian dari jejaring Hizbut Tahrir (HT) yang telah berkembang melintas batas-batas negara sehingga dikatakan sebagai gerakan islam transnasional. HTI hanyalah salah satu contoh kelompok keagamaan yang berkembang pesat setelah rezim Orde Baru jatuh.
Di luar HTI terdapat kelompok keagamaan yang berbasis lokal (home grown) yang memiliki daya tarik beberapa kalangan untuk bergabung. Kelompok keagamaan ini membentuk kelompok keagamaan baru mulai dar tataran level pemahaman keagamaan, sampai pada gerakan yang berimplikasi secara mendasar dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Kelompok keagamaan baru memiliki agenda yang tegas dalam dalam menerapkan syariat Islam yang tidak hanya terbatas pada aktivitas ritual atau ibadah mahdah, tetapi juga merambah sampai pada wilayah publik terutama bidang politik dimana mereka memiliki agenda mendirikan negara Islam (dawlah islamiyah) dalam sistem khilafah.
Perkembangan ini walaupun tidak akan segampang mengubah Indonesia menjadi negara Islam, juga terbukti HTI sudah dibubarkan, tetapi hal ini menjadi alarm terhadap kalangan yang menaruh perhatian terhadap masa depan demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Karena masih banyak kelompok-kelompok yang ingin mengusung sistem khilafah di negeri tercinta ini.
Khilafah Islamiyah sebagai gagasan dan diskursus keislaman sah-sah saja, tetapi implementasi dalam konteks bentuk negara di Indonsia yang heterogen baik suku, ras,budaya, dan agama tentu saja hal ini bukan pilihan yang tepat. Oleh sebab itu, para pendiri bangsa berijtihad untuk membangun bangsa ini dalam bingkai bersatu dalam keragaman. Maka lahirlah lima dasar negara yang disebut “Pancasila” sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi piranti untuk mengakomodir semua agama yang ada di Indonesia, menghargai perbedaan, dan ,menghormati kepercayaan agama lain. Inilah indahnya Indonesia. Berbeda-beda tetapi tetap dalam satu bingkai NKRI dan Pancasila.
Oleh karena itu, untuk membendung arus radikalisasi dan kelompok-kelompok pengusung khilafah perlu adanya pendekatan teologis humanis, dialogis, serta memberikan ruang-ruang diskusi tentang pemahaman diskursus keislaman yang benar. Pancasila sebagai dasar negara mulai sila pertama sampai sila kelima semuanya memiliki dasar yang diambi dari kitab suci. Artinya tidak ada satupun salam pancasila yang bertentangan dengan agama, justru pesan-pesan keagamaan tertuang dalam pancasila. Jadi, NKRI dan Pancasila adalah jalan tengah dalam membangun bangsa dan negara ditengah-tengah masyarakat yang heterogen, bukan khilafah. (*)
* Pemuda Muhammadiyah Kenjeran Kota Surabaya
2 Comments