9 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Jabatan Bukan Kehormatan, melainkan Musibah

M. Alfian Hidayatullah, Sekretaris Majelis Pustaka Informatika dan Digitalisasi PDM Surabaya. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: M. Alfian Hidayatullah

Untuk kali pertama sebagai khalifah, Umar bin Khatab menyampaikan pidato yang sangat menggetarkan. Beberapa bagian dari pidatonya adalah sebagai berikut:

“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Sayyidina Abu Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini. Allahumma ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah saya sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Allahumma ya Allah saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan bermurah hati.” Tiba-tiba Sayyidina Umar berhenti sejenak. Setelah orang-orang lebih tenang, dia melanjutkan pidatonya. “Allah telah menguji kalian dengan saya dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabat-sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tidak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka.”

Para sahabat nabi memaknai jabatan dan beban amanah kepemimpinan bukan sebagai kemuliaan diri, bukan pula sebagai kehormatan. Mereka memaknai jabatan dan posisi kepemimpinan sebagai musibah yang sangat berat tugas dan tanggung jawabnya. Menjadi pemimpin tanggung jawabnya bukan hanya didunia semata, tetapi juga diakhirat, dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Maka dari itu mereka sangat hati-hati kalau berkaitan dengan amanah kepemimpinan. Kebanyakan para sahabat tidak memaksa untuk meminta jabatan. Tidak ambisius untuk meraih jabatan. Bahkan saling menghindar untuk menolaknya.

Bimbingan nabi soal jabatan dan kepemimpinan memang sangat jelas, yaitu agar umat Islam tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang meminta (ambisius) suatu jabatan tertentu.

Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, kamu akan diberi pertolongan.” (HR Muslim)

Betapa pentingnya perihal kepemimpinan, Rasulullah SAW mengingatkan tentang kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Hanya orang-orang yang terpercaya dan dipercaya serta dinilai punya kemampuan yang layak diangkat menjadi seorang pemimpin. Orang-orang yang dinilai lemah dan tidak cakap tidak boleh dipaksakan menduduki suatu jabatan.

Dahulu Abu Dzar pernah menyampaikan maksud dirinya untuk diangkat dalam suatu jabatan, sebagaimana dialognya dengan Rasulullah: Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat). Abu Dzar berkata, “Kemudian Beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan,” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR Muslim)

Begitulah tuntunan Rasulullah SAW mengenai kepemimpinan dalam Islam. Perspektif Islam mengenai kepemimpinan menempatkannya dalam bingkai nilai-nilai kezuhudan yang merupakan ruh dalam ajaran Islam. Memandang kepemimpinan sebagai bagian dari pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang menuntunkan dalam persoalan jabatan dan kepemimpinan harus diperoleh semata-mata untuk menggapai keridhaan Allah SWT. Bukan diniatkan untuk kehormatan diri apalagi keluarga atau kelompoknya, apalagi untuk tujuan-tujuan pragmatis lainnya seperti kekuasaan, materi, dan kebanggaan status sosial.

Biasanya, menjelang pergantian kepengurusan di Muhammadiyah baik mulai ranting hingga pusat banyak yang bertanya siapa calon terkuat ketua Muhammadiyah? Pertanyaan ini wajar karena umumnya kalau ada ormas besar akan melaksanakan perhelatan pergantian pimpinan, dinamika suksesi calon pimpinan selalu menghangat. Muncul bursa calon mana yang kuat dan mana yang tidak kuat, mana yang didukung pemerintah mana yang tidak. Terkadang ada yang bikin kelompok dukungan dan kasak kusuk ke sana kemari. Dan segala macamnya.

Namun bagi yang memahami kultur kepemimpinan di Muhammadiyah yang mengedepankan kolektif kolegial, dalam beberapa pergantian kepemimpinan persyarikatan di banyak tingkatan terkadang malah semua tidak mau menjabat sebagai ketua umum. Justru saling mengedepankan orang lain yang sekiranya lebih pantas untuk mempimpin.

Tradisi yang dibangun dan telah menjadi kesadaran kolektif di internal Muhammadiyah adalah jangan meminta-minta jabatan, namun ketika diberi amanah jabatan seseorang tidak boleh menolak. Model kepemimpinan seperti inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang kuat, mandiri , dan bebas dari intervensi mana pun. (*)

M. Alfian Hidayatullah, Sekretaris Majelis Pustaka Informatika dan Digitalisasi PDM Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *