22 Mei 2025
Surabaya, Indonesia
Opini

Jangan Gagap Digital! Saatnya Melek Literasi di Era Serba Online

Jangan Gagap Digital! Saatnya Melek Literasi di Era Serba Online. (Ilustrasi)

Oleh: Nashrul Mu’minin
Content writer asal Yogyakarta

Era digital bukan lagi masa depan, melainkan realitas yang sudah menyentuh seluruh aspek kehidupan kita. Dari bangun tidur hingga kembali beristirahat, gawai dan internet hampir tak pernah lepas dari tangan. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, belanja, hiburan, hingga interaksi sosial, semuanya telah bermigrasi ke dunia digital.

Sayangnya, tidak semua lapisan masyarakat—terutama remaja, mahasiswa, dan masyarakat umum—memiliki literasi digital yang memadai. Ini menjadi ancaman serius karena tanpa literasi yang baik, masyarakat rentan menjadi korban disinformasi, penipuan daring, dan kecanduan konten tidak mendidik.

Literasi digital berarti kemampuan memahami, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi berbasis teknologi secara bijak. Bukan hanya soal mengoperasikan aplikasi atau menonton video, tapi juga kesadaran kritis terhadap konten yang dikonsumsi dan disebarkan.

Ironisnya, banyak pengguna media sosial aktif sehari-hari belum mampu memilah informasi valid dan menyesatkan. Remaja menjadi korban hoaks, mahasiswa terjebak plagiarisme akibat copy-paste internet, dan masyarakat umum terprovokasi karena tidak memverifikasi sumber. Akses saja tidak cukup—kemampuan memanfaatkan akses itu dengan benar jauh lebih penting.

Remaja dan mahasiswa seharusnya menjadi pelopor literasi digital, bukan korban arus informasi deras. Sebagai generasi digital native, mereka punya tanggung jawab moral sebagai agen perubahan.

Namun kenyataannya, banyak yang terjebak budaya konsumtif digital—habis waktu hanya untuk main gim daring, scrolling media sosial tanpa arah, atau menyebar konten tidak sehat. Padahal, jika digunakan bijak, dunia digital menyimpan potensi besar untuk belajar, berkarya, dan memberi dampak positif bagi masyarakat.

Masyarakat luas pun tak boleh tertinggal. Literasi digital bukan hanya untuk kalangan akademisi atau generasi muda, tapi juga orang tua, pekerja, pelaku usaha kecil, dan komunitas lokal.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat harus mengedukasi dan menyediakan pelatihan literasi digital secara merata. Tanpa itu, kesenjangan digital makin melebar, menciptakan ketimpangan akses dan peluang antara yang ‘melek digital’ dan yang tidak.

Kita tak boleh menunda urgensi ini. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan formal dan informal. Diperlukan sinergi antara sekolah, kampus, komunitas, dan pemerintah untuk menciptakan ruang edukasi digital inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.

Di sisi lain, individu perlu kesadaran untuk belajar mandiri melalui platform belajar gratis, webinar, podcast edukatif, dan konten positif yang mudah diakses. Yang diperlukan hanyalah kemauan.

Melek digital bukan berarti mengikuti tren tanpa kritis. Melek digital adalah berpikir kritis, bersikap bijak, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Ini adalah adaptasi sekaligus perlawanan terhadap arus informasi liar. Ketika semua lapisan masyarakat—remaja, mahasiswa, dan masyarakat umum—bersinergi meningkatkan literasi digital, kita tidak hanya siap menghadapi masa depan, tetapi juga menciptakannya.

Jadi, jangan sampai gagap digital. Jangan hanya jadi penonton di tengah kemajuan zaman. Mari bangkit, belajar, dan jadi generasi cakap digital. Saatnya kita semua melek literasi di era serba online ini. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *