8 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Jebakan Bernama Israel

Suporter sepak bola di Liga Israel. (Times)

Oleh Kardono Setyorakhmadi

KLIKMU.CO

Pelaksanaan putaran final Piala Dunia U-20 tampaknya terancam batal di Indonesia. Anggaran dan energi yang telah dihabiskan selama bertahun-tahun bakal sia-sia gara-gara satu hal kecil: lolosnya timnas Israel ke putaran final tersebut.

Indonesia tak punya hubungan diplomatik, dan lepas dari segala sentimen agama, Israel adalah salah satu dari sedikit negara di dunia ini yang masih melakukan praktik apartheid terhadap warga Palestina yang terus mereka caplok. Jadi secara politik, Indonesia masih tak mengakui Israel.

Tapi, masalah yang sebenarnya tak terlalu sulit diurai itu kini menjadi spin arena pertarungan politik yang luar biasa besar di negeri ini. Lebih merupakan kontestasi politik dengan dibungkus jargon, yang akan kita buktikan kontraargumennya.

Yang pertama, sudah beberapa tahun terakhir ini banyak atlet Israel yang telah bertanding di Indonesia dalam sejumlah event olahraga internasional. Juga dalam rencana beberapa event olahraga ke depan. Jadi ya omong kosong menolak satu event kemudian menerima secara diam-diam event lainnya.

Yang kedua, argumentasi bahwa “olahraga harus steril dari politik.” Ini juga sungguh omong kosong. Simak saja bagaimana FIFA dengan brutal mengeliminasi Rusia dalam playoff PD 2022 Qatar. Jadi, nonsense jika FIFA steril dari politik.

Yang menarik perhatian bagaimana dua gubernur PDIP, I Wayan Koster dan Ganjar Pranowo, secara terbuka melakukan penolakan timnas Israel. Wayan Koster mengejutkan karena Bali adalah harapan terakhir toleransi berada, dan Ganjar karena dia seharusnya (jika merunut ideologi dan garis toleransi) menyatakan penerimaan, dan Anies Baswedan-lah yang seharusnya menyatakan penolakan. Maka, banyak yang menafsirkan bahwa ini adalah sikap PDIP.

Tentu saja alasan keduanya terlihat sangat bombastis dan mudah dipatahkan: “ini adalah sesuai dengan amanat UUD 1945, bahwa penjajahan di dunia harus dihapuskan. Lagip ula Soekarno dulu pernah melakukan boikot ke kontingen olahraga Israel”.

Jika memang mau konsekuen dengan amanat dan sosialisme yang tinggi, lalu di mana pernyataan orang-orang ini terkait kondisi Papua, perjuangan masyarakat adat mempertahankan tanah adatnya dari pengambilalihan tambang, lalu bagaimana soal Wadas dulu, dan sejumlah ketidakadilan lain di bumi Indonesia sendiri? Ibarat T-Rex di depan mata tak tampak, tapi kutu selangkangan yang jauh malah tampak.

Jelas dua orang ini, dan PDIP, mempunyai motif politis. Yakni mendulang manfaat elektoral dari segmen yang mereka selama ini lemah: kaum sayap kanan. Juga menjadi salah satu bargaining politik dengan kubu Istana, yang sampai saat ini tampaknya negosiasi politik kubu PDIP-KIB yang dimotori Istana belum menemui titik temu.

Lalu bagaimana dengan Anies yang diam saja soal Israel meski dua parpol pendukungnya, yakni Demokrat dan PKS, menyatakan penolakan? Sama saja motifnya. Selain berupaya mendulang manfaat elektoral dari sayap kiri dan kaum liberal, politisi yang pernah berpose dengan syal Palestina dan membaca koran yang berheadline “Perjuangan Palestina” itu juga berjuang ”mengurangi” citra dirinya sebagai politisi intoleran.

Apalagi, kabarnya Anies harus menjaga dukungan dari salah satu stakeholder besar: Amerika Serikat dan Barat. Ada kabar, kubu Amerika sangat berkepentingan dengan politisi yang bisa membawa kepentingan AS untuk membendung pengaruh Tiongkok dalam politik regional. Dan tampaknya Anies Baswedan akan menjadi salah satu opsi terbesar mereka.

Yang paling terjepit tentu saja kubu pemerintahan. Khususnya Erick Thohir. Setelah menggelar perayaan satu abad NU dan bersusah payah mengeluarkan energi untuk menjadi ketua PSSI, Erick Thohir justru terancam kehilangan hadiah puncaknya: gelaran putaran final Piala Dunia U-20.

Ibarat makanan politik yang sangat bergizi sudah tersaji di depan mata, eh pas mau dimakan disikat kocheng rembes. Kasihan? Ya jangan. Yang perlu dikasihani itu ya rakyat kebanyakan seperti kita. Erick Thohir sudah kaya dan mempunyai kewenangan untuk membuat banyak orang menjadi makin kaya. Sudah seharusnya ET mulai berpikir tidak lagi untuk sebuah kepentingan tertentu, tapi berpikir untuk kepentingan masyarakat luas. Karena kalau terus seperti ini model pergerakannya, ya hanya akan segini-segini pula pencapaiannya di bidang politik.

Jadi, bagi anda yang kemudian menyatakan penolakan atau bersetujuan dengan alasan yang murni (entah karena agama, entah karena sayang dengan persepakbolaan nasional), kalian hanya akan dijadikan ombak yang akan ditunggangi kepentingan politik saja. Tak peduli pendapat anda seperti apa.

Sementara isu-isu tata kelola pemerintahan yang buruk masih saja terjadi. MK diragukan kredibilitasnya, Bea Cukai yang layanannya masih membuat jengkel banyak anggota masyarakat, layanan pajak yang masih saja sulit (ngisi SPT saja masih harus meluangkan waktu dan energi) dan para pejabatnya kaya luar biasa sementara beban pajak semakin besar, dan sebentar lagi banyak orang tua yang harus berhadapan dengan biaya kuliah yang inflasinya jauh lebih tinggi ketimbang inflasi pendapatan sebagian rakyat Indonesia.

Belum lagi DPR yang sudah makin jauh dari wakil rakyat, melainkan hanya wakil parpol. Dan kita tahu parpol adalah entitas politik yang mendaku diri elemen penting dari demokrasi, namun watak dan perilakunya kini lebih dimotivasi oleh kepentingan elitnya saja yang jauh dari menyejahterakan rakyat.

Jadi, rakyat kebanyakan, sebaiknya jalani Ramadan ini dengan baik sembari memikirkan bagaimana caranya menghukum para politisi dan pejabat jahat ini.

*Wartawan senior tinggal di Sidoarjo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *