6 Desember 2025
Surabaya, Indonesia
Opini

Jejak Kepemimpinan Diponegoro dan Relevansinya bagi Pendidikan Islam Masa Kini

Lukisan Raden Saleh: Penangkapan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock

Oleh: Dwi Ramadhani
Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Wiyung, Anggota Bidang Tabligh Pimpinan Ranting Muhammadiyah Balas Klumprik

Pangeran Diponegoro merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah Indonesia yang dikenal karena keberaniannya memimpin Perang Jawa (1825–1830), sebuah perlawanan besar terhadap penjajah Belanda yang menghabiskan tenaga, materi, dan kekuatan politik kolonial. Dalam banyak buku sejarah, ia ditampilkan sebagai panglima perang yang tegas dan simbol perlawanan nasional. Namun sesungguhnya, sisi terpenting dari Diponegoro bukan hanya aspek militernya, tetapi nilai spiritual, moral, dan kepemimpinan etis yang menjadi landasan perjuangannya.

Nilai-nilai tersebut terekam dalam karya autobiografisnya yang berjudul Babad Diponegoro, ditulis sendiri ketika ia berada dalam pencahayaan di Manado dan Makassar. Tidak seperti naskah babad lain yang ditulis abdi dalem atau pujangga keraton, Babad Diponegoro adalah refleksi pribadi yang sangat jujur, menggambarkan pandangan hidup, perjalanan spiritual, kritik sosial, serta prinsip kepemimpinan yang ia pegang teguh hingga akhir hayat.

Dalam konteks pendidikan Islam masa kini, nilai perjuangan Diponegoro menjadi sangat relevan. Saat dunia pendidikan menghadapi tantangan serius mulai dari krisis karakter, degradasi moral, kekerasan pelajar, pemahaman teknologi, hingga hilangnya keteladanan, figur Diponegoro menunjukkan bahwa kekuatan bangsa dibangun bukan hanya melalui kecerdasan intelektual, tetapi melalui karakter spiritual yang kuat, moralitas yang lurus, dan kepemimpinan yang beradab.

Oleh karena itu, mengkaji kembali Babad Diponegoro bukan sekadar menyelami masa lalu, tetapi sebuah upaya menemukan inspirasi untuk memperkuat model pendidikan karakter dan kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan budaya Nusantara.

Pendidikan Karakter dalam Laku Spiritual Diponegoro

Sejak kecil, Diponegoro tumbuh di lingkungan keraton Yogyakarta, tetapi ia memilih meninggalkan kemewahan dan intrik politik bangsawan. Ia menetap di Tegalrejo, hidup dekat dengan rakyat kecil, para ulama, dan lingkungan pedesaan yang sederhana. Di sana ia menjalani laku keprihatinan: puasa, tirakat, membatasi tidur, memperbanyak ibadah, serta belajar agama secara intensif—mulai dari fiqih, tasawuf, tafsir, sejarah, hingga praktik hidup sederhana.

Bagi Diponegoro, pendidikan sejati bukan sekadar proses kognitif memperbanyak pengetahuan, tetapi pembentukan jiwa melalui disiplin spiritual. Kesederhanaan dipahami sebagai latihan melawan hawa nafsu. Ia menyaksikan bagaimana banyak bangsawan keraton terjebak dalam ambisi politik dan gaya hidup hedonis, situasi yang ia gambarkan sebagai “zaman edan”.

Kritik tajam Diponegoro menunjukkan konsep pendidikan moral yang sangat mendalam: akhlak adalah pilar peradaban, dan runtuhnya moral adalah tanda kegagalan kepemimpinan. Pesan ini sangat relevan bagi pendidikan Islam hari ini yang sering terjebak pada orientasi nilai akademik, tetapi mengesampingkan pembentukan karakter.

Diponegoro mengajarkan bahwa karakter autentik hanya dapat dibentuk melalui keteladanan dan pengalaman hidup. Karena itu, sekolah dan pesantren perlu menciptakan lingkungan yang membangun kesadaran moral, empati, dan kemampuan mengendalikan diri.

Ilustrasi Pangeran Diponegoro dalam Logo Kongres ke-20 Muhammadiyah

Keteguhan Moral dan Etika Kepemimpinan

Nilai kepemimpinan Diponegoro yang paling menonjol adalah keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah amanah Ilahi, bukan alat mengejar popularitas. Saat memimpin perlawanan terhadap Belanda, ia menegaskan bahwa perjuangannya adalah panggilan moral untuk membela keadilan dan melindungi rakyat dari ketidakadilan pajak dan eksploitasi kolonial.

Diponegoro menetapkan etika perang yang sangat ketat: melarang merusak kampung, menyakiti petani, menjarah, atau menyerang warga nonkombatan. Prinsip ini menunjukkan bahwa keadilan dan kesejahteraan adalah nilai tertinggi, dan bahkan perang pun harus berjalan dalam batas etika.

Etika tersebut merupakan bentuk kepemimpinan profetik: amanah, empati, kejujuran, keberanian moral, dan keteladanan—nilai inti dalam pendidikan Islam. Ketegasan moral ini menjadi model yang relevan untuk membangun kepemimpinan etis di sekolah, kampus, dan organisasi.

Keteguhan Mental sebagai Warisan Kepemimpinan

Keteladanan terbesar Diponegoro tampak saat ia dikhianati dan ditangkap Belanda. Meski diasingkan ke luar Jawa, ia menegaskan bahwa dirinya tetap merdeka secara spiritual. Dari pengalaman pahit itu justru lahir karya monumentalnya, Babad Diponegoro.

Sikap ini memberi pesan bahwa ketangguhan mental adalah kompetensi penting bagi generasi muda hari ini. Di tengah tekanan akademik, krisis identitas, dan tantangan global, siswa harus belajar bahwa kegagalan bukan akhir, tetapi proses mematangkan karakter.

Pendidikan Islam harus mencetak individu yang tidak hanya pintar, tetapi memiliki daya juang, optimisme, dan ketahanan spiritual dalam menghadapi persoalan hidup.

Babad Diponegoro adalah warisan spiritual dan intelektual yang kaya. Melalui catatan hidupnya, Diponegoro mengajarkan tiga prinsip besar: kekuatan spiritual, integritas moral, dan kepemimpinan etis. Ketiganya adalah fondasi penting bagi pembangunan pendidikan Islam.

Jika nilai-nilai perjuangan Diponegoro diintegrasikan ke dalam kurikulum, akan tumbuh generasi Muslim Indonesia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa pemimpin, tangguh, berakhlak mulia, serta siap berkontribusi bagi umat dan bangsa.

Semoga semangat Diponegoro menjadi inspirasi untuk membangun pendidikan Islam yang berkarakter transformatif, berakar pada budaya sendiri, dan memberi arah bagi masa depan yang lebih berdaya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *