KLIKMU.CO

Oleh Ustadz Drs. H. Nur Cholis Huda, M.Si.*)
Mas Mansur sejak kecil memang cerdas, ulet, pemberani, dan tidak mudah menyerah. Ketika berusia 12 tahun, Mansur belajar ke Makkah. Baru dua tahun di sana, tahun 1910 pemerintah Saudi mengumumkan semua orang asing harus meniggalkan Makkah agar tidak ikut terseret sengketa politik yang melanda Saudi saat itu. Maka ayahnya, KH Ahmad Marzuki memerintahkan Mas Mansur segera pulang.
Ayahnya kecewa setelah membaca surat Mas Mansur. Dia yang masih remaja ini tidak mau pulang, tetapi pergi ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ayahnya tidak setuju karena menganggap Kairo kota maksiat, bukan tempat yang tepat untuk memperdalam ilmu. Maka, ayahnya tidak mau mengirimi biaya hidup dan biaya sekolah.
Namun, Mansur tetap ke Al-Azhar. Dia rela hidup menderita demi menimba ilmu. Dia mau bekerja kasar untuk bisa bertahan hidup. Sedangkan, sebagai ganti biaya studi, setiap sore Mansur memberi satu ceret teh kepada syekh yang mengajarnya.


Setahun berikutnya, pamannya yang naik haji mampir menjenguknya. Pamannya kaget karena Mansur memang benar-benar belajar dan bersedia hidup menderita demi ilmu. Mansur di Kairo tidak sedang bersenang-senang. Ayahnya luluh setelah mendengar penjelasan paman Mansur. Akhirnya, ayahnya bersedia mengirimi biaya hidup dan biaya sekolah.
Mansur yang cerdas, tekun, keras kemauan, dan digembleng oleh berbagai kesulitan hidup menyebabkan dia menjadi ulama yang berlimu dan bermental tangguh. Tak heran jika KH Ahmad Dahlan “mengincarnya.”
Akhirnya, Mansur menjadi kader KH Ahmad Dahlan dan mengembangkan Muhammadiyah di Surabaya. Dahlan menyebut Mansur sebagai “Sapu Kawat” Jawa Timur. Sebutan “Sapu Kawat” menggambarkan sebuah alat yang bisa memberesi dan menuntaskan banyak persoalan.
Ilmu agamanya yang mendalam dan pengetahuannya yang luas, menyebabkan Mansur punya rasa percaya diri tinggi. Dia bergaul dengan banyak kalangan. Termasuk bersahabat baik dengan tokoh pergerakan Dr. Soetomo. Ketika Muhamamdiyah membuat rumah sakit, Dr. Soetomo sangat banyak membantu karena tersentuh semangat kemanusiaan yang dilakukan Muhamamadiyah.
Suatu hari, Mansur berbincang dengan Soetomo tentang tasawuf dan filsafat dalam Islam. Mansur menjelaskan panjang lebar tentang ketuhanan yang rumit sampai jauh malam. Tentang teori Emanasi, yaitu makhluk sebagai pancarian Tuhan. Tentang Al-Hallaj dengan paham Hululnya, Ibnu Araby dengan Wihdatul Wujudnya. Sampai tentang Pantheisme atau menunggaling kawula lan gusti.
Soetomo kagum atas luasnya pengetahuan Mansur yang rendah hati itu. “Baru sekarang saya bertemu sahabat yang bisa diajak berunding soal-soal penting,” kata Soetomo. Dia menangis bahagia mendengar penjelasan Mansur. “Tuan Mansur, itulah benar keyakinan saya. Itulah kepercayaan yang mengalir bersama darah dalam urat nadi saya,” katanya haru.
Tetapi, dengan lembut dan sopan, Mansur selanjutnya mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan semua paham yang diuraikan tadi. Mendengar pengakuan Mansur, Sotomo terbelalak dan tercengang karena kaget. “Mengapa tuan Mansur tidak setuju?,” tanyanya heran.
Mansur menjelaskan yang intinya Tuhan Dzat pencipta berbeda jauh dengan alam yang diciptakan. Juga tidak setuju paham menunggaling kawula lan gusti. Begitulah yang sesuai dengan Alquran dan as-Sunnah, kata Mansur. Meskipun keduanya punya pandangan beda, namun tetap bersahabat akrab dan tetap sering mengadakan dialog sampai malam. Keduanya saling menaruh hormat. [*]
Jumat depan: “Mansur Minta didoakan 4 hal kepada Nyai Ahmad Dahlan”
=========
*) Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur.
