KLIKMU.CO
Oleh Drs. Nur Cholis Huda, M.Si.*)
Darah Hizbul Wathan (HW) mengalir pekat di urat nadi kehidupan Pak Dirman. Dia sudah jatuh hati pada HW ketika masih sekolah di Cilacap. Dia mendaftar menjadi anggota dan makin aktif setelah mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Pria kelahiran Purbalingga Jawa Tengah, 24 Januari 1916 ini karena kecakapan, kedisiplinan, rendah hati, sikap kepemimpinan, dan ketaatan beragama menyebabkan Soedirman menonjol dan makin sering dipercaya memimpin HW.
Dalam buku ‘Jendral Soedirman Pemimpin Pandu HW’ yang disusun HW Jawa Timur (2003) diceritakan, suatu hari Soedirman remaja yang belum berusia 20 tahun membawa anggota HW yang remaja (16-17 tahun) berkemah di Batur, Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Ketika malam turun udara dingin mulai terasa. Mereka lalu berdiri dekat api unggun.
”Adik-adik kelana, nanti jika api unggun padam udara di sini akan terasa sangat dingin,” kata Soedirman. “Tapi, di sini kita dapat melihat indahnya bintang bekerlipan pertanda kekuasaan Tuhan. Besok ketika kita mendaki bukit akan mendengar suara-suara burung berkicau juga melagukan kebesaran Tuhan,” ujarnya.
“Di kompleks ini terdapat mata air. Beberapa langkah ke atas ada kuburan. Mata air simbul awal kehidupan. Kuburan akhir kehidupan duniawi menuju kehidupan ukhrawi,” kata Soedirman mengingatkan hidup dan mati begitu dekat.
“Di sini, kita tidur di atas tikar belaka. Ini latihan hidup sederhana. Kita akan makan hasil masakan sendiri. Mencuci piring sendiri, mencari kayu sendiri, mengambil air sendiri dari mata air. Segala pekerjaan harus kita kerjakan bersama untuk latihan hidup bersama dalam tatanan saling menolong. Betapa pun kantuk menguasai diri, kita harus siap dibangunkan menerima giliran jaga. Nah, sekarang kalian boleh melepas lelah, kecuali yang kena giliran jaga,” lanjut Soedirman.
Di malam yang hening, di kaki bukit yang dingin, di bawah bintang yang berkelip, pesan-pesan Soedirman itu masuk jauh ke relung hati para pandu remaja itu. Malam semakin larut udara semakin dingin. Mereka yang tidak tugas jaga sudah masuk kemah menghindari dingin dan melepas lelah.
Seorang anggota HW di tengah malam itu mendatangi tenda Soedirman. “Mas Dirman, tidak tidur di tenda kami saja? Lebih hangat,” ajaknya. Tenda Soedirman memang lebih tipis dan sederhana. Pasti dingin. Yang tebal untuk yang lain. “Terima kasih, biar di sini saja. Selamat tidur,”jawab Soedirman.
Ia tidak tidur karena dingin. Lalu dibukanya ransel dan dikeluarkan Alquran. Ia melawan dingin dengan mengaji. Gerimis mulai turun menambah dingin. Sebagian pandu ada yang tak tahan lalu pindah ke rumah penduduk. Tenda Soedirman basah. Petugas jaga mendekati tenda Soedirman. Ia menunggu Soedirman selesai mengaji, lalu menawari pindah ke tenda yang hangat atau ke rumah penduduk.
“Biarlah aku tetap di sini. Ini latihan, Dik. Di belakang hari boleh jadi kita akan mengahadapi penderitaan yang lebih berat daripada rasa dingin ini. Selamat berjaga,” jawab Soedirman.
Setelah hujan reda, Soedirman menyelimutkan baju hangat di pundaknya, lalu ia bersiap-siap Shalat Tahajud. Selesai Tahajud, tanda-tanda pagi mulai nampak. Ia lalu membunyikan peluit, membangunkan yang tidur. Mereka segera berkumpul lalu mengambil air wudhu untuk siap-siap Shalat Subuh berjamaah. Setiap berkemah atau jambore, Soedirman sangat mengutamakan Shalat berjamaah.
Soedirman yang semula anggota biasa, akhirnya menjadi Ketua Kwartir Daerah HW Banyumas. Dipimpin Soedirman, HW Banyumas maju pesat, baik kuantitas maupun kualitas. Soedirman menggalakkan keterampilan, pengajian, dan pengabdian masyarakat bersama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat). Kadang juga latihan Bela Negara. Bakat itulah yang suatu saat kemudian mengatarkannya menjadi seorang Jenderal Besar di negeri ini. [*] (Bersambung Jumat depan)
*) Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur