21 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Kabinet 100 Menteri: Kabinet Ijo Royo-Royo atau Ijo Loyo-Loyo?

Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Kabinet 100 Menteri adalah nama untuk kabinet yang dipimpin Soekarno dalam merespons krisis sosial, ekonomi, dan keamanan akibat perlawanan terhadap kepemimpinannya pasca-Gerakan 30 September 1965.

Pendulum politik Soeharto berubah haluan menjelang lengser. TNI pun demikian: TNI merah putih yang digawangi Murdani dkk mulai mengalami reduksi. Faisal Tanjung, Hartono, Kivlan Zein, Ahmat Tirtosudiro, Prabowo, dan Syafri Syamsuddin menjadi kekuatan baru yang signifikan mengubah arah politik nasional mendekat ke sayap Islam, sementara barisan nasional agak loyo atau dalam posisi diam menunggu.

Berdirinya ICMI pada 7 Desember 1990 di Malang seakan menjadi penanda ke mana arah politik Soeharto mendekat. Banyak spekulasi politik, bahkan tak sedikit yang menghalangi ICMI berdiri.

R Hartono pernah mendapat tekanan dari panglima untuk menghalangi berdirinya ICMI, tapi diabaikan dengan berbagai dalih. ICMI berkibar memberi warna dan haluan politik nasional, termasuk susunan kabinet yang terkesan ijo royo-royo sebagai manifestasi politik Islam yang tengah bergelora.

Banyaknya menteri sebagai ikhtiar rekonsiliasi nasional adalah niscaya meski harus dibayar mahal dengan birokrasi yang ribet, boros, dan tidak efisien.

Bandingkan dengan Amerika, ada sekitar 15 menteri, Inggris 22 menteri, dan Prancis 16 menteri –negara-negara yang mengedepankan efisiensi dan profesionalitas.

Di negara-negara di mana politik menjadi yang utama, pertimbangan profesionalitas dan efisiensi kerap diabaikan. Artinya, tidak menggunakan kabinet zaken. Tapi lebih pada bagi-bagi kekuasaan dengan tujuan menjaga stabilitas keamanan dan politik.

Dengan pertimbangan stabilitas nasional sebagai yang utama, jangan harap kesejahteraan rakyat menjadi yang utama, sebab belanja birokrasi akan lebih mahal dibanding belanja sosial. Taruhlah ada, pasti sangat sedikit dan tidak berimbang. Politik sebagai panglima atau ekonomi sebagai panglima sebagaimana terminologi Mochtar Mas’ud agaknya masih relevan dibincang ulang dengan skema yang berbeda. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *