Kaidah Persyarikatan Muhammadiyah, Masihkah Digunakan?

0
310
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Jalan panjang yang terjal dan penuh liku menelusuri jalannya roda organisasi yang sudah malang melintang di waktu yang sangat panjang hingga makan asam garam. Dari generasi ke generasi silih berganti, mulai KH A. Dahlan hingga kini KH Haedar Nashir tetap berdiri tegak. Gelombang pasang dinamika organisasi pun senantiasa menerpa bak badai laut yang rutin menggoyangkan samudra lautan luas.

Suka dan duka para pimpinan Muhammadiyah dari tingkat ranting hingga pusat dilalui penuh khidmat. Sekalipun banyak tanya dan heran, manakala masih terjadi penampakan sikap dan perilaku di antara sahabat handai tolan penggerak persyarikatan sekadar ada dalam catatan surat keputusan struktural saja, sementara fungsi dan kinerjanya jauh dari kata maksimal, apalagi optimal. Ada apa di balik itu semua? Semoga segera sadar dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah dalam pembukaan sangat tegas dan jelas akan maksud dan tujuan Muhammadiyah sangat hebat nan mulia. Sering terungkap dalam berbagai pengkaderan, menegakkan ajaran Islam dan mewujudkan masyarakat utama yang sebenar-benarnya. Sebuah visi besar persyarikatan, sangat perlu semua kader inti dan anggota memahaminya penuh semangat.

Bermacam ragam konsep dan rumusan bersyarikat yang baik sesuai tuntunan yang disepakati, baik itu khittah dan kepribadian Muhammadiyah, buku Tarjih sebagai rujukan nash ta’abudi Muhammadiyah,  Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM)  dan pedoman Islami warga Muhammadiyah (PHIWM) serta kaidah-kaidah lainnya yang dijadikan rujukan dan referensi bagi kader dan anggota persyarikatan untuk berkhidmat meraih ridha-Nya.

Sekian banyak rumusan-rumusan yang dibuat dan disepakati, namun faktanya jauh dilaksanakan oleh anggota persyarikatan dan simpatisan Muhammadiyah. Pimpinan pun masih banyak yang tidak mengindahkan kaidah atau rumusan tersebut diatas. Hal itu terjadi banyak dilihat oleh anggotanya, bahkan sempat beberapa kali terlontar pertanyaan, kenapa dia tidak memberikan teladan seperti yang tercantum dalan PHIWM, padahal dia pimpinan?

Ada juga yang bertanya apakah ketika pimpinan Muhammadiyah melanggar kaidah ada sanksi atau punishment? Dan kenapa memberi sanksi hanya kepada pegawai Muhammadiyah, sementara ketika ada salah satu pimpinan melanggar cenderung dibiarkan. Kenapa itu semua terjadi, padahal ini adalah organisasi Islam ini didirikan dan dipelihara penuh dedikasi yang sangat baik dari para pejuang persyarikatan.

Memang tidak mudah menjalankan kaidah, tapi bukan tidak bisa manakala ada komitmen baik yang direncanakan sedini mungkin, agar proses dinamisasi pergerakan meningkatkan mutu atau kualitas kinerja gerakan. Pun ketika saatnya regenerasi pimpinan persyarikatan maupun pimpinan amal usaha tidak mengalami stagnasi, apabila terjadi ketersumbatan dan statgnasi kepemimpinan, tanpa terasa dalam waktu tertentu tiba-tiba muncul dampak dan akibat buruk yang datang pada institusi persyarikatan. Jangan hanya mengklaim berkemajuan, fakta dan data hanya terlihat simbol dan kemasan maju, sementara isi dan substansinya kropos sangat minim nilai.

Sederhana saja, alat ukur dan indikatornya mudah, yaitu 1) Produktivitas program kegiatan hanya seremonial semata yang cenderung menghamburkan anggaran pembiayaan, 2) Dampak terhadap peningkatan gerak laju persyarikatan terjadi pelemahan tak ubahnya wujuduhu kaadamihi diakar rumput paling bawah, 3) Kualitas amal usaha tidak mengalami kemajuan, yang ada selalu minus tidak mensejahterakan, 4) Nilai positioning sosial politik di pemerintahan dan publik di bawah standar, 5) Tergerusnya militansi kader lebih berorientasi pada oragmatisme politik sesaat, 6) Mengalami kesulitan meregenerasi kader pimpinan yang unggul, 7) Mengalami kesulitan akselerasi pendanaan organisasi, 8) Organisasi hanya menjadi simbol eksistensi status individu seseorang bahwa dirinya sebagai aktifis ormas Islam.

Beberapa indikator tersebut di atas tidak menjadi ukuran mutlak, melainkan dapat menjadi renungan bersama bahwa kemajuan dan kemunduran ada pada kader dan anggota persyarikatan. Bahwa untuk mengukur kemajuan harus ada kesepakatan bersama sebuah kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan, baik laju pertumbuhan kader dan anggota militan hingga geliat dakwah amar ma’ruf nahyi munkar dapat dirasakan oleh masyarakat Islam.

Jadi, peran kolektif kolegial bukan hanya sistem yang dianut dan berhenti sekadar slogan. Faktanya terindikasi lebih dominan dengan superioritas dan intervensi pucuk pimpinan. Sehingga atmosfer kepemimpinan kolektif kolegial sebatas tameng untuk menjadi alat melegitimasi.

Kaidah-kaidah yang dibuat persyarikatan untuk ditaati, bukan untuk menjadi alat legitimasi dan memukul kader yang dianggap bersebarangan dengan status quo anti-perubahan. Di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting ada beberapa data yang menunjukan rangkap jabatan politis baik itu di eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dengan alasan untuk melancarkan kebutuhan komunikasi dengan kekuasaan baik untuk kepentingan taktis ataupun strategis dan alasan lain kerap kali muncul dilevel tertentu katanya, tidak ada kader lain yang peduli akan persyarikatan. Semoga dalil itu menjadi alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya untuk memanfaatkan demi keuntungan pribadi sesaat. Hal itu sangat mungkin terjadi, manakala tidak ada yang selalu mengingatkan.

Kalaupun rangkap jabatan tidak melanggar secara konstitusional persyarikatan, sejauhmana komitmen kerja dan berkhidmat di persyarikatan apabila merangkap menjadi abdi negara yang juga harus menjalankan tugasnya. Sangat yakin, akan menjadi perioritas pekerjaan di pemerintah daripada pekerjaan di persyarikatan. Hal itu dikarenakan akan ada dampak konsekuensi hukum yang mengikat.

Beda ketika di persyarikatan, ketika tidak menjalankan program hal yang lumrah karena tidak mendapatkan sanksi hukum, paling dipertanggungjwabkan ketika musyawarah pergantian periode. Sependek yang diketahui, setiap pertanggungjawaban pimpinan hampir dipastikan substansinya diterima sekalipun dengan catatan.

Begitulah adanya, malah bagi seseorang abdi negara yang berposisi pimpinan persyarikatan ada peluang untuk dijadikan momentum menjadikan positioning untuk kenaikan jabatan pribadinya dalam instansi tempat mengabdi. Hal itu bukan tidak mustahil terjadi, secara formal dan terbuka tidak terlihat dengan kasat mata, namun dalam kacamata politis sangat terasa auranya. Sah dan boleh saja bagi Muhammadiyah selama untuk kebaikan dan cepat lajunya dakwah persyarikatan, apabila sebaliknya itu sangat menyakitkan dan memilukan pada tubuh persyarikatan.

Benar kata Pak Busyro Muqoddas dalam muktamar di Solo yang mengungkapkan, bagi pimpinan pusat yang terpilih untuk memilih antara jabatan politis di pemerintahan dengan anggota pimpinan, namun sayang sekali ungkapan tersebut tidak direspons baik, cenderung diabaikan. Semoga semua yang terjadi dengan cara disengaja atau tiba-tiba tanpa disengaja akan menjadi ibroh bagi siapapun yang mengalaminya. Wallahu’alam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini