Kang Yoto: Muhammadiyah Politik didekati atau dijauhi?

0
140
Foto Film The Last Samurai diambil dari egaawd.blogspot.com

KLIKMU.CO
Oleh: Kang Yoto*

Selalu ada kecenderungan yang berulang ulang setiap kali mau muktamar, muswil, musda, muscab bahkan musran. Yaitu peringatan agar hati hati dengan aktifis atau pengurus dan warga Muhammadiyah yang telah aktif di politik terutama yang menjadi Pengurus partai politik. Peringatan ini biasanya berlanjut hingga kepengurusan lembaga pembantu pimpinan. Kecenderungan yang sama terjadi saat menjelang pergantian Pimpinan Amal Usaha.

Boleh dibilang inilah keberhasilan penanaman khittah Muhammadiyah yang menegaskan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah. Karena itu sekalipun diskusi, seminar dan tulisan yang menggungat perlunya revitalisasi khittah tersebut berulang disuarakan, termasuk Majalah Matan PwM Jatim. Namun selalu saja ‘keharaman” muhammadiyah politik dalam even suksesi Muhammadiyah masih sangat kuat.


Tentu saja sikap “mengharamkan’ orang politik ini adalah bagian dari politik internal, sebagaimana khittah dan kembali ke khittah Muhammadiyah adalah bagian dari politik dakwah Muhammadiyah ke eksternal. Pengharaman Muhammadiyah politik dalam suksesi Pesyarikatan dan amal usaha berdampak positif karena mengurangi jumlah mereka yang bersaing.

Di sisi lain mendorong kader Muhammadiyah Politik serius berpolitik, sekali melangkah ke politik luaskanlah jejaring dan jangan pensiun politik. Kecuali bila benar benar taubatan nasuha, tidak ada lagi ada tanda tanda akan berpolitik praktis.

Mereka yang aktif sebagai Muhammadiyah politik memiliki ujian keihklasan yang tidak kalah dengan mereka yang di persyarikatan dan amal usaha. Muhammadiyah Politik harus berjuang mendapatkan posisi politik, bila perlu sendirian, dan dengan menjauhi atau dijauhkan dari persyarikatan dan amal usaha. Bila yang di peryarikatan harus aktif tanpa gaji bulanan, muhammadiyah politik harus aktif merebut posisi dan pengakuan publik dengan keringat dan biaya. Umumnya bila berhasil mereka akan dinilai dari seberapa besar kontribusinya pada persyarikatan. Mereka bukan hanya diakui, diingat, tapi juga dimintai. Itulah sebabnya mereka harus kuat lahir batin dan dengan tingkat keihklasan yang tinggi.

Apakah relasi antara kelompok dalam Muhammadiyah yang demikian itu ideal? Bila ukuran netralitas politik itu ditandai dengan meniadakan Muhammadiyah Politik dalam Pengurus Persyarikatan, dengan demikian Muhammadiyah akan dikesankan adil dan berjarak yang sama dengan partai politik manapun. Mengapa tidak juga dicoba dengan memasukkan Muhammadiyah Politik dari partai apapun menjadi bagian dari persyarikatan dan amal usaha, tentu dalam porsi yang dimungkinkan.

Meniadakan Muhammadiyah Politik atau membiarkan adanya didalam kepengurusan persyarikatan atau amal usaha, sama sama bisa disebut netral dan adil. Apalagi kultur kolektif kolegial dalam persyarikatan sendiri sudah sangat kuat. Begitu juga kultur akuntabilitas di amal usaha. Bukankah Peryarikatan sudah kebal dan kuat menghadapi godaan kepentingan pribadi pengurusnya!

Muhammadiyah Politik dari partai apapun menjadi bagian dari persyarikatan dan amal usaha, tentu dalam porsi yang dimungkinkan. Meniadakan Muhammadiyah Politik atau membiarkan adanya didalam kepengurusan persyarikatan atau amal usaha, sama sama bisa disebut netral dan adil. Apalagi kultur kolektif kolegial dalam persyarikatan sendiri sudah sangat kuat. Begitu juga kultur akuntabilitas di amal usaha.

Bukankah Peryarikatan sudah kebal dan kuat menghadapi godaan kepentingan pribadi pengurusnya! Kecuali jika pernyataan terakhir ini salah, dan benar adanya bahwa menolak politik itu juga politik, dan bahwa kultur dan sibghoh Muhammadiyah lemah !


*Muhammadiyah Kultural, dan Muhammadiyah Politik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini