Karena Muhammadiyah Terlalu Rigid Mendefinisikan Agama

0
40
Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Nurbani Yusuf

KLIKMU.CO

Inikah biang kenapa Muhammadiyah menjadi susut? Ibarat saringan, Muhammadiyah terlalu lembut hingga banyak yang tidak ‘katut’.

Awalnya kirim pahala itu sampai, sebelum difatwa tak sampai. Rokok awalnya juga boleh, sebelum kemudian difatwa haram sepuluh tahun silam.

Pengirim dan penerima hadiah pahala tak bisa disebut Muhammadiyah. Penggiat yasin, tahlil, dhiba pupus harapan menjadi warga Muhammadiyah. Pun dengan para perokok. Jika boleh saya bilang: makin ke sini paham keberagamaan kita makin menyempit.

Dalam beberapa kasus, ada fatwa-fatwa yang berpotensi asosial. Tidak guyub. Tidak memasyarakat. Mungkin itu yang disebut tidak membumi. Media-media sillaturahmi buat ketemu tetangga dipangkas habis, karena dianggap tidak ada dalil dan uswah dari Nabi saw—bahkan sekadar salaman bada shalat pun tiada. Ibadah ghairu mahdhah di-mahdhahkan ini pangkal soalnya.

Dan entah apalagi—yang awalnya boleh menjadi tak boleh, yang awalnya makruh dan mubah menjadi haram dengan berbagai alasan.

Ini memang soal selera. Bukan pyur ijtihad, tapi lebih pada selera para pemberi fatwa. Lama-kelamaan Muhammadiyah menjadi kian susut karena seleksi yang amat ketat.

Banyak kader dan simpatisan yang tidak masuk hitungan karena definisi yang rigid. Kader pun banyak berguguran karena fatwa-fatwa yang eksklusif—revisi waktu shalat Subuh misalnya yang sudah ratusan tahun dilaksanakan menambah deret perbedaan.

Teringat fatwa Poetoesan Tardjih se-abad lampau: Putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar.

Penerangan tentang Hal Tarjih yang dikeluarkan tahun 1936, paragraf ke-6 sungguh memesona: menabalkan bahwa Tardjih pada awalnya sangat toleran, terbuka, dan tidak gampang menyalahkan:

“Kepoetoesan Majelis Tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang ataoe menjatoehkan segala yang tidak dipilih oleh tardjih itoe.”

Jadi, silakan shalat Subuh tidak pakai qunut, tapi jangan salahkan yang pakai. Silakan tidak berkirim pahala, tapi jangan larang tetangga kanan kiri rumah yang rajin kirim pahala bacaan Al Fatihah atau lainnya. Silakan tidak muludan, tidak shalawatan, tidak zikir keras, tidak baca usholi atau sayidina, tapi jangan salahkan pada yang rajin amalkan.

Kita punya hujjah, mereka juga punya hujjah. Mungkin ada yang merasa hujjahnya lebih benar atau lebih rajih, tapi tarjih tak bolehkan melawan, tidak bolehkan menentang atau mendjatoehkan segala yang tidak dipilih oleh tardjih itoe …. karena merasa hujjahnya yang paling benar yang lain salah. Ini bukan manhaj tardjih.

Sebaliknya, mengedepankan sikap terbuka dan berlapang dada terhadap perbedaan. Inilah sikap tasamuh yang ditanamkan para oelema foundhing father persyarikatan di awal berdiri.
Jadi, kurang jelas apa?

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar,
Aktivis Pergerakan Muhammadiyah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini