Kata Siapa Manasik Haji dan Idul Adha Berbeda?

0
55
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Berseliweran informasi calon hewan kurban dan hal ihwal lainnnya menjelang Idul Adha 1444 Hijriyah. Belum lama dalam ingatan masyarakat muslim baru dua bulan yang lalu viral diperbincangkan mengenai Hari Raya Idul Fitri berbeda. Pasalnya, Muhammadiyah sudah memastikan waktu Hari Raya Idul Fitri, karena data saintifik wujud hilal yang ditunjukkan Muhammadiyah ternyata di bawah ketentuan Kementerian Agama.

Konsekuensinya, perkiraan yang hampir pasti tidak sama. Kemudian ada narasi yang beredar di masyarakat bahwa Muhamamdiyah tidak taat pemerintah dan lebih parahnya sampai ada peristiwa yang menyita perhatian dari preilaku oknum BRIN yang menghebohkan jagat raya. Peristiwa tersebut masuk ranah hukum publik dan akhirnya oknum tersebut mendapatkan konsekuensi hukum dari perbuatan yang dilakukannya.

Berpuluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya setiap shaum dan dua id di dunia yaitu Idul Fitri dan Idul Adha awal memulai pelaksanaannya tidak sama sesuatu yang biasa. Kenapa saat di era modern yang dianggap serbamaju, masih ada cendekiawan, ulama, dan tokoh yang menanggapi hal ihwal hari atau tanggal memulai beribadah.

Selama memiliki dalil dan argumentasi yang dipertanggungjawabkan secara syariyah berikanlah kewenangan sesuai keputusannya. Toh pada dasarnya, semua aktifitas ibadah ritualnya tidak terlalu jauh berbeda karena sumber rujukannya sama dari Al-Qur’an dan Assunnah.

Saat beberapa pemaknaan teks nash yang menjadi wilayah ijtihadiyah merupakan hal lumrah dan biasa, justru fenomena tersebut menjadi sebuah dinamika keilmuan yang akan membimbing dan mengarahkan kepada umat muslim lebih kreatif dalam berijtihad. Sehingga pada saat tertentu nalar intelektual akan menemukan rasionalitas dan objektifitas produk ilmu lebih praktis dan aplikatif.

Dinamika keilmuan salah satu bentuk wujud nyata hidayah yang diberikan Allah SWT, di mana posisi ilmu menjadi penting dalam menentukan sikap dan perilaku manusia dalam beragama, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Fakta hari ini masih muncul komentar dan tanggapan yang dianggap memancing emosi, maka arahkanlah emosi pada ranah dan ruang dialogis keilmuan difahami oleh masing-masing diri sebagai makhluk yang berakal sehat.

Andaikan masih tetap terus ada yang menanggapi dengan sentimen dan arogan, pada dasarnya itu juga sesuatu yang wajar karena orang tersebut baru memiliki kemampuan pada sikap dan perbuatannya yang merepresentasikan keilmuan yang dimiliki. Namun, perlu ditegaskan dalam jiwa dan raga kita sebagai mahluk yang berpikir dan beradab, akal sehat lebih dikedepankan untuk menghindari penyimpangan terhadap proses berpikir akal sehat.

Beberapa bulan yang lalu heboh dan viral, boleh dikatakan mencapai pada titik puncaknya, opini hal ihwal hisab dan rukyat. Masyarakat yang jauh dari nalar intelektual wacana hisab dan rukyat hanya bengong dan tidak peduli, sebagian kecil reaktif dengan ungkapan dan ucapan melalui berbagai cara dan media yang menjadi tempat bertutur kata. Tanpa disadari oleh para pihak yang terlibat safari argumentasi wacana dan dalil logika serta cocoklogi disiplin keilmuan masing-masing hingga dilegitimasi oleh nash-nash tekstual baik wahyu maupun hadits.

Benarkah bahwa selama ini shaum Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha hanya karena tidak sama meluluhlantakkan sikap-sikap humanisme kemanusiaan. Padahal sebenarnya sama, saat bershaum kaifiyatnya sahur di waktu tertentu kemudian menahan haus dan lapar dahaga selama seharian penuh hingga berbuka di saat maghrib tiba. Pun sama saat tiba akhir bulan Ramadhan menunaikan zakat fitrah dan shalat id dua rakaat.

Hal sama juga ketika Idul Adha, umat muslim yang berhaji di tanah suci Makkah al mukaromah pada saat 9 Dzulhijah menjalankan ibadah wukuf di padang arafah dan bagi umat muslim yang tidak ibadah wukuf di luar tanah suci menunaikan ibadah shalat Idul Adha dan setelahnya prosesi penyembelihan hewan kurban jika ada.

Selama ini hal itu yang dapat kita ketahui. Benar juga apa kata beberapa tokoh agama yang sempat menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan, semuanya sama-sama menjalankan ibadah shaum, zakat dan shalat dua id. Kalaupun hari dan tanggal berbeda saat ritual ibadah kembalikan kepada masing-masing individu jamaah sesuai keyakinan dan argumentasi keilmuan yang dimiliki.

Nanti pada saatnya, seiring waktu dan masa tertentu kondisi dan posisi rasionalitas, objektifitas dan kapasitas keilmuan masyarakat secara merata dan terbuka, pada waktunya akan bersikap lebih maju. Wajar saja hari ini masyarakat muslim Indonesia masih berisik dengan ketaklidannya, karena selain tingkat wawasan keilmuan masyarakat pada umumnya masih dibawah standar. Juga dipengaruhi pendapat dan opini serta wacana yang dikembangkan tidak pada penguatan wawasan keilmuan, melainkan mengedepankan keegoan diri, kelompok atau golongan entitas serta arogansi kecendikiawanan atau keulamaannya.

Alhamdulillah saat Idul Adha tahun ini, riak dan opini mempertajam perbedaan. Justru pemerintah mengeluarkan kebijakan tambahan hari cuti bersama bagi pegawai atau tenaga kerja di Indonesia. Semoga ini bukan pencitraan politik elit bangsa dengan mengambil hati umat muslim dengan sesaat. Pasalnya, sekarang tahun politik atau gegara biang kerok yang selalu mencari panggung kelilmuan tidak ada dan berhenti berwacana ria.

Terlepas dari itu semua, sangat bersyukur sekali dinamika hari berbeda saat melaksanakan Idul Adha tidak ada respon subjektif atas faham fiqhiyah berbeda. Kita umat muslim memiliki spirit sama yaitu menuju ketaqwaan hakiki bukan yang ketakwaan semu penuh sikap ananiyah yang belebihan yang meremehkan dan menganggap orang lain dibawah dari dirinya dalam segala hal. Jikalau masih ada sikap tersebut menempel pada jiwa dan raga semoga segera cepat terlepas. Tidak ada nilai apa-apa ibadah shaum,  shalat, dan amal kebaikan ketika wujud sikap yang ditampilkan mempertontonkan keakuan merasa paling beriman dan beramal sholeh lebih baik dibanding orang lain diluar dirinya.

Kalimat talbiyah di tanah suci menggema mengagungkan Allah SWT yang Maha Agung, suara takbir pun menggema di seantero dunia. Kita semua sama walaupun beda etnis dan ras, manakala Al-Qur’an dan As-Sunnah maqbullah menjadi sumber rujukan utama beragama Islam. Panggilan manasik haji ke baitullah musim haji ini patut disyukuri karena pasca covid-19. Kuota jumlah jamaah Indonesia bertambah satu kali lipat sehingga umat muslim yang sempat tertinggal selama 3 (tiga) tahun karena pandemi covid-19.

Hanya ada catatan yang memilukan jamaah. Pasalnya, pemerintah menaikan harga ongkos naik haji. Tidak sedikit yang menunda keberangkatan, namun juga cukup prihatin banyak jamaah memaksakan diri untuk melunasi walaupun dalam keadaan berat hati, berharap dan bermohon dengan keterpaksaan karena sistem dan kebijakan semoga dapat dimaafkan. Menjelang dan pelaksanan wukuf semoga umat muslim ditanah suci Makkah dalam keadaan sehat jasadiyah dan ruahniyah.

Kupanjatkan doa yang tulus, semoga jamaah haji Indonesia dan umat muslim dibelahan dunia menjadi haji mabrur dan mabrurah serta kembali kepangkuan keluarga masing-masing dengan selamat. Bagi kita umat muslim yang tidak bermanasik tetap sehat walafiat dan disegerakan dapat menunaikan ibadah haji ke baitullah Makkah al Mukaromah. Hanya kepada Allah SWT kita bersimpuh sujud dan menundukkan kepala tanda tunduk dan berserah diri untuk menyembah kepada-Nya. Wallahu’alam…

Bandung, Juni 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini