KLIKMU.CO
DPR kembali menjadi paduan suara. Khas paduan suara seperti era demokrasi terpimpin di akhir era Bung Karno, atau DPR era Orde Baru berkuasa. Apa yang menjadi kemauan istana serta merta akan didukung dengan membabibuta.
Lihatlah, betapa amburadulnya proses legislasi itu dilakukan di Senayan. Nyaris tidak ada lagi korelasi positif antara kajian naskah akademik yang dibuat, dengan bagaimana hasil akhir pembahasan draft RUU ditetapkan. Betapapun kajian naskah akademik RUU tersebut telah melibatkan para pakar dan akademisi berbagai kampus terkemuka. Draft ideal secara akademik seringkali dikalahkan oleh kemauan istana.
Berbagai Undang-undang yang disahkan di DPR selalu menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Protes dan keberatan dari segenap pemangku kepentingan yang terkait dianggap hanya sebagai angin lalu. Sudah begitu, para politisi Senayan biasanya akan berkilah jika masyarakat keberatan dengan UU yang telah disahkan, silakan untuk menggugatnya ke MK.
Anehnya, ketika dinyatakan kalah oleh MK, pemerintah tanpa malu kemudian segera menerbitkan Perpu. Sebuah rekayasa dan pembenaran atas apa yang sudah dikehendaki istana.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dalam kasus UU Cipta Kerja DPR kemudian mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. Ini kemudian banyak dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja, sebuah UU yang dijuluki Omnibus Law yang telah dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika demikian, buat apa repot-repot menggelar rapat dengar pendapat bersama masyarakat dan berbagai kalangan pemangku kepentingan. Toh hasil akhir pembahasan RUU sudah ditentukan arahnya.
Rapat dengar pendapat, studi banding ke berbagai negara, hingga kunjungan untuk menyerap aspirasi masyarakat praktis sekedar sebuah seremonial belaka. Aneka rupa kegiatan tersebut, menjadi sarana untuk melegalkan proses pembahasan Rancangan Undang-undang. Lebih menyesakkan lagi, jika ternyata aneka kegiatan tersebut sengaja dirancang untuk mencairkan anggaran semata.
Maka kita bisa melihat betapa borosnya anggaran DPR hari ini. Anggaran begitu besar, namun produktifitas legislasinya sangat rendah. Target legislasi yang ditetapkan di awal masa sidang, nyaris tidak pernah tercapai.
Pada periode 2014-2019, dari target Prolegnas sebanyak 189 RUU, DPR hanya mampu menghasilkan 80 UU, di mana 40 persen di antaranya UU di luar Prolegnas.
Kemudian selama rentang 2020-2024 ini, dengan target 219 RUU, sejauh ini DPR hanya sanggup menyelesaikan 20 UU saja. Di mana 13 RUU lainnya masih dalam tahap pembahasan, 9 RUU dalam tahap penyusunan, dan 5 RUU dalam proses harmonisasi.
Di sisi yang lain, pengesahan UU Kesehatan yang baru saja diputuskan oleh DPR jelas mengindikasikan adanya kepentingan industri kapitalisme global. Bukan pancasila. Apakah UU yang dihasilkan mencerminkan ditegakkannya amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan seluruh rakyat, dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia?
Secara khusus, UU Kesehatan juga menyiratkan bahaya besar buat kelangsungan amal usaha Muhammadiyah di bidang kesehatan. Hal mana, tidak kurang Pak Busyro Muqoddas sebagai Koordinator Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah juga telah sedemikian keras mengkritik pembahasan RUU Kesehatan yang mengandung banyak kerawanan.
Kemudian, kita bisa melihat betapa pembangunan rencana Ibukota Negara (IKN) digenjot sedemikian rupa. Dalam kapasitas penulis sebagai seorang perencana wilayah, gagasan besar IKN memang layak diacungi jempol. Sebagai gagasan, IKN memang menjadi kebutuhan strategis jangka panjang secara nasional. Namun, tidak selayaknya nilai strategis IKN tersebut mesti dipertaruhkan dengan sedemikian gegabah. Grusa grusu membuat keputusan. Sejak penyusunan UU IKN, hingga tahapan realisasinya.
Langkah rezim mengobral murah investasi IKN, dengan pemberian hak selama ratusan tahun, menunjukkan bahwa rezim ini terlalu naif. Nampak sebuah kesembronoan disana. Terlalu banyak celah yang bisa diterabas. Sama sekali tidak mencerminkan adanya semangat ketahanan nasional yang tangguh, dengan mental berdikari.
IKN, dengan posisi strategisnya, membawa konsekuensi adanya unsur Pertahanan dan Keamanan Nasional. Di dalamnya ada aspek kerahasiaan negara yang harus dijaga dan dikontrol langsung oleh negara. Tidak bisa begitu saja melibatkan pihak-pihak asing, sekalipun atas nama investasi.
Negara, dalam hal ini rezim yang berkuasa, jelas memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi seluruh warga negaranya. Bukan malah memberikan jaminan yang kelewat besar kepada bangsa lain, melalui skema investasi ratusan tahun. Tidak ada bedanya itu dengan pola kolonialisasi zaman dahulu. Bahkan, sekarang lebih ugal-ugalan dilakukan, atas nama percepatan pembangunan nasional.
Di sinilah, pentingnya menjaga peran Muhammadiyah sebagai salah satu soko guru bangsa. Kontrol dan keteladanan politik Muhammadiyah menjadi pertaruhan bagi keselamatan bangsa ke depan. Apalagi, parlemen tidak berfungsi sebagai kontrol atas apa yang dijalankan oleh eksekutif. Selain fungsi parlemen yang lain, seperti fungsi legislasi dan budgeting.
Kini, Parlemen hanya menjadi stempel penguasa. Sehingga, pengkritik atas berbagai kebijakan rezim justru dilakukan oleh kalangan di luar parlemen. Tidak terkecuali Muhammadiyah.
Dukungan Politik Primitif
Muhammadiyah sebagai sebuah state of mind seharusnya melakukan apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai bagian dari sebuah gerakan kebudayaan. Sehingga, kita jangan terjebak dengan persoalan struktural semata.
Negara semakin memperhitungkan untuk selalu menyertakan Muhammadiyah, beserta NU, dalam setiap masalah kebangsaan. Kendatipun, imbalan atas dukungan tersebut Muhammadiyah seringkali cuma mendapatkan remah-remah kecil kekuasaan yang bahkan terkadang hanya di pinggiran dan sangat tidak signifikan.
Dimasukkannya nama Muhadjir Effendy sebagai Bakal Calon Wakil Presiden oleh PDIP seharusnya adalah hal yang biasa saja. Sama sekali tidak ada yang istimewa. Apalagi hingga menimbulkan euforia.
Secara politik, langkah PDIP memasukkan nama Muhadjir adalah langkah yang sangat cerdas bagi mereka. Hal itu menunjukkan betapa sebagai sebuah partai pemenang pemilu, PDIP mau menjaring nama-nama tokoh bangsa dari berbagai kalangan. PDIP dinilai sebagai sebuah partai yang sangat demokratis dan mau menampung semua kalangan.
Namun, bagi Muhammadiyah hal itu sama sekali tidak memberikan efek elektoral positif. Beberapa kalangan internal Muhammadiyah yang gembira atas masuknya nama Muhadjir Effendy sebagai bacawapres sesungguhnya hanya bermakna sebagai pelepas rindu semata. Sudah lama tidak ada capres/cawapres yang menyebutkan dirinya sebagai kader ideologis maupun biologis asli Muhammadiyah.
Tercatat hanya Bung Karno yang tegas dicatat sejarah sebagai Presiden pertama republik ini yang merupakan kader ideologis otentik Muhammadiyah. Bung Karno bahkan pernah menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah saat masa pengasingannya di Bengkulu. Bung Karno juga berwasiat agar kelak ketika Beliau wafat agar kerandanya ditutup dengan bendera Muhammadiyah.
Kemudian Pak Harto, Presiden kedua Republik Indonesia. Pak Harto-lah satu-satunya presiden yang bangga menyebutkan dirinya sebagai bibit unggul yang dibesarkan oleh Muhammadiyah. Beliau pernah menjadi siswa sekolah Muhammadiyah.
Selanjutnya, hingga kini tidak ada lagi Presiden atau Wakil Presiden yang bangga menyatakan diri sebagai bagian keluarga besar Muhammadiyah.
Megawati sendiri terlihat malah menjauh dari Muhammadiyah. Justru Almarhum Taufik Kiemas-lah yang menjalin hubungan baik dengan Muhammadiyah. Itu tentu tidak bisa dilepaskan dari masih adanya keterkaitan ideologis keluarga besar Taufik Kiemas yang cukup dekat dengan Masyumi. Taufik Kiemas mengambil peran-peran strategis yang tidak mampu diperankan oleh Megawati.
Di sisi yang lain, penulis sampai pada kesimpulan bahwa elit PDIP sebenarnya sudah memiliki pengalaman bahwa mereka telah memastikan nyaris tidak ada warga Muhammadiyah yang mau memilih PDIP. Terlepas selalu ada kader-kader aktivis Muhammadiyah yang maju mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif maupun Eksekutif melalui PDIP.
Masuknya beberapa nama kader Muhammadiyah dalam penjaringan Bacaleg PDIP tetap mereka perlukan untuk lagi-lagi sebagai legitimasi bahwa mereka adalah sebuah partai terbuka dan demokratis.
Namun, kita patut cerdas mengamati betapa PDIP-lah satu-satunya partai yang memberikan otoritas begitu besar kepada Ketua Umumnya. Hal mana kemudian dicontoh dan diikuti oleh partai-partai yang lain. Sehingga, tidak terhindarkan lagi bahwa proses demokrasi berubah menjadi sekedar seremonial semata. Keputusan mutlak di tangan seorang Ketua Umum. Bahkan, Ketua Umum-nya nyaris tidak tergantikan.
Padahal, dari sisi kaderisasi politik jelas hal tersebut merupakan sebuah kegagalan. Dipertahankannya nama Megawati sebagai Ketua Umum adalah perpaduan antara dominasi kekuatan status quo dan masuknya oligarki di tubuh partai.
Kelompok status quo di internal PDIP masih belum siap melepaskan Megawati sebagai sosok sentral yang mudah dikendalikan.
Kompromi atas ditetapkannya nama Ganjar Pranowo tidak terlepas dari fenomena tersebut. Padahal dari awal proses penjaringan nampak terlihat betapa Ganjar yang disokong penuh oleh Joko Widodo tidak juga mampu melunakkan sikap elit PDIP, tidak terkecuali Megawati.
Apalagi, Megawati sejatinya terlihat masih sangat berambisi menjadikan Puan Maharani yang tampil menjadi Capres/Cawapres dari PDIP. Namun apadaya, hasil survey tidak ada yang bisa dijadikan dasar untuk memaksakan nama Puan masuk bursa capres/cawapres.
Hingga, tekanan kalangan oligarki-lah yang mampu menjinakkan Megawati untuk memberikan tiket pencapresan kepada Ganjar. Sebuah langkah untuk mengamankan dan memastikan ada estafet program Widodo bisa dilanjutkan.
Politik Pencerahan
Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Negeri ini sedang mengalami sebuah periode yang teramat mengkhawatirkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja menjadi penyakit kronis bangsa ini.
Hilangnya rasa malu telah begitu nampak di wajah-wajah para elit negeri ini. Hampir semuanya, tanpa tedeng aling-aling menunjukkan ambisi untuk berkuasa yang begitu besar. Semua jalan untuk mencapainya dihalalkan dengan segala cara.
Akibatnya, ketika mereka memegang tampuk kekuasaan, yang terjadi hanyalah perwujudan pesta pora bagi-bagi kekuasaan bersama seluruh team suksesnya. Asas “kekeluargaan” dipersempit maknanya menjadi hanya berlaku untuk semua pendukung dan kroninya sendiri.
Untuk para pesaing dan mereka yang sebelumnya menjadi rival politik, hanya akan mendapat bagian kekuasaan jika mereka mau menurunkan derajatnya dengan menjadi kaki tangan rezim yang sedang berkuasa. Sejalan dengan itu semua, kita sebagai rakyat hanya bisa gigit jari melihat kenyataan pahit yang melanda negeri ini.
Muhammadiyah sebagai sebuah kekuatan civil society, seharusnya menampilkan diri secara elegan. Politik Muhammadiyah haruslah politik yang mencerahkan. Politik yang menjadi guidance dan penuntun moral bangsa.
Ketika, Muhammadiyah lalai menjalankan peran sebagai guru bangsa. Maka, Muhammadiyah akan serta merta berubah fungsi sebagai sebuah gerakan seperti umumnya berbagai kelompok kepentingan menjalankan misinya.
Diam-diam harus kita akui, kadangkala kerinduan akan hadirnya sosok politisi-politisi Muslim yang handal dan memiliki integritas terasa begitu menyiksa. Kadangkala diam-diam itu pula sebagian diantara para aktivis politik Muhammadiyah sudah mulai larut untuk ikut-ikutan mencari siasat menghalalkan jalan politik yang ditempuhnya.
Politik “halal” menjadi urusan yang seringkali menyulitkan pergerakan para politisi kita di lapangan. Tidak perlu kita perdebatkan, apakah politik itu hanya masuk ranah muamalah, atau sebagiannya merupakan bagian dari ibadah.
Para aktivis politik Muhammadiyah harus percaya diri dan selalu yakin dengan landasan ideologis yang ditetapkan Muhammadiyah.
Para aktivis politik Muhammadiyah tidak perlu lagi merengek-rengek menyatakan dirinya yatim secara politik, hanya karena sebagai sebuah institusi Muhammadiyah lebih sering mengabaikan perjuangan kader-kadernya.
Siklus politik akan segera berubah. Itu adalah sebuah Sunnatullah yang berlaku sepanjang masa. Silih bergantinya kekuasaan itu dipergilirkan agar menjadi teladan bagi kemanusiaan.
Siapa yang menjalankan amanah dengan benar, dan siapa-siapa yang mengkhianati amanah, pada waktunya akan dinampakkan oleh sejarah.
Muhammadiyah harus mengawal dan memimpin kader-kader politiknya untuk selalu teguh menjunjung prinsip-prinsip politik berlandaskan tauhid.
Karena, itulah prasyarat mutlak yang kita perlukan dalam menyongsong kebangkitan Muhammadiyah di abad kedua ini. Politik Muhammadiyah, harus mencerahkan!!!
Oleh: Qosdus Sabil
Penggembala Kambing Muhammadiyah, Tenaga Ahli Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI 2019-2022