8 November 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Umum

Kebebasan Beragama, Kekerasan Perempuan, dan Isu-Isu yang Membekas di Tahun 2021

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Alimatul Qibtiyah PhD saat menjadi salah satu pemateri. (Tangkapan layar El Ghifari/Klikmu.co)

KLIKMU.CO – Maarif Institute menyelenggarakan webinar bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2021: Tentang Kebebasan Beragama, Toleransi, dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia”. Webinar yang bertujuan untuk merefleksikan isu-isu aktual sekitar kebebasan beragama, toleransi, dan kekerasan seksual di tahun 2021 ini dilaksanakan pada Jumat akhir tahun lalu (31/12).

Berbagai narasumber hadir untuk memberikan perspektif sekaligus refleksi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di tahun 2021. Mulai Prof Alimatul Qibtiyah PhD (Guru Besar Kajian Gender Fakultas Dakwah Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Yulianti Muthmainah (Ketua PSIPP ITB AD Jakarta), Muhammad Isnur (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Usman Hamid SH MPhil (Yayasan Amnesty Internasional Indonesia), Halili Hasan (Direktur SETARA Institute), dan Prof Dr Musdah Mulia (Penulis Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis).

“Refleksi ini merupakan introspeksi kita. Kenapa? Karena Indonesia adalah kita. Jadi apapun yang terjadi baik-buruknya ataupun hitam-putih yang terjadi di Indonesia ini adalah mencerminkan bagian dari Indonesia. Jadi, kita tidak akan menimpakan kesalahan kepada siapapun atau orang lain, karena pada dasarnya saat kita menunjuk seseorang dengan empat jari yang lain, sesungguhnya menunjuk diri kita sendiri,” kata Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute, dalam sambutannya.

Prof Alimatul memaparkan berbagai data yang dipresentasikan untuk merefleksikan kasus-kasus isu kekerasan terhadap perempuan untuk refleksi.

Menurut dia, kekerasan terhadap perempuan naik hampir dua kali lipat dari tahun 2020. “Hal ini dikarenakan kesadaran untuk speak up meningkat dan realitas kasus yang ada memang membanyak,” papar Alimatul.

Senada, Yulianti menambahkan bahwa pada awal masa Covid-19, seruan-seruan untuk memakai masker memang ditujukan sebagai bagian dari tindakan preventif. Di sisi lain, jika hal ini dikaitkan dengan isu perempuan dan kebebasan beragama, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seolah-olah membuat tembok besar untuk diproyeksikan sebagai pembanding bahwa sejatinya perempuan itu memakai cadar. Toh, masker juga menyelamatkan dari Covid-19.

“Jadi narasi tersebut disengaja untuk dibenturkan, dan lagi-lagi yang paling mudah dilihat soal identitas adalah tubuh perempuan. Sehingga seolah-olah perempuan yang bercadar adalah orang yang berislam paling kaffah,” ujarnya.

Selajutnya, pada refleksi isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, Halili menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan berkaitan dengan demokrasi. “Pelanggaran KBB terus terjadi, in line (sejalan) dengan regresi demokrasi,” ujar Halili.

Direktur SETARA Institute Halili Hasan saat menyampaikan salah satu materi. (Tangkapan layar El Ghifari/Klikmu.co)

Selain itu, Usman berpendapat untuk merefleksikan tahun 2021 sebagai fenomena di mana penyelamatan kehidupan manusia dari wabah Covid-19 memuluskan bagi sejumlah negara untuk memanfaatkan alasan pandemi dalam membatasi dan mengekang kebebasan, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beribadah.

“Karena mereka (pemerintah) berusaha menahan persebaran virus di dalam maupun di luar perbatasan di wilayah mereka, pemerintah kemudian merasa perlu untuk melakukan pembatasan dalam hal kebebasan bergerak” ungkap Usman.

Di sisi lain, Isnur menyoroti insiden ketika presiden datang untuk membuka mal di Bekasi. “Itu kan simbol yang sangat buruk gitu, bagaimana rumah ibadah temen-temen tetap didorong untuk dijalankan secara daring. Akan tetapi di sisi lain, para pengusaha dan pemerintah tidak memberikan simbol yang baik. Jadi inkonsisten terus terhadap kebijakannya. Jadi wajar, kalau warga bersikap untuk menyatakan tidak beres dengan kondisi ini. Pada akhirnya ada perlawanan (resistance) di situ” jelas Isnur.

Terakhir, Musdah menyatakan secara tegas bahwa temuan-temuan indeks demokrasi dari tahun 2007 sampai tahun 2020 mengalami penurunan drastis. Terutama jika berbicara demokrasi dan pemerataan, pemerintah itu sungguh melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi negara kita.

“Karena di dalam indeks demokrasi itu terlihat betul ya pemerintah tidak melakukan upaya-upaya yang signifikan di dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia yang merupakan bagian penting dari penegakan demokrasi” tegas Musdah.

“Refleksi ini diyakini sebagai upaya untuk mencerminkan masalah apa yang sudah terjadi di tahun lalu dan kemudian untuk memperbaiki keadaan dan introspeksi terkait isu-isu kebebasan beragama, toleransi, dan isu perempuan,” imbuhnya. (Muhammad Nauval El Ghifari/AS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *