KEKERASAN MENODAI PERSATUAN

0
2461

Kemana keramahan penduduk negeri ini ?  Sehingga berbagai aksi kekerasan semakin kuat terasakan. Dan mengapa begitu mudah terjadinya kekerasan ?  Ketika bangsa ini sedang membutuhkan penguatan persaudaraan dan persatuan. Sepertinya berbagai aksi kekerasan di negeri yang pernah tersohor keramahan, kesantunan, dan familier di dunia itu ternyata mulai tergerus oleh keangkuhan, egoisme dan keserakahan, serta berbagai macam tindak kekerasan lainnya.
Kekerasan telah begitu mudah menjadi bagian dari pengambilan keputusan oleh mereka yang berwatak arogan. Demi mendapat pengakuan, merasa lebih unggul, sehingga menghalalkan segala cara, demi tujuan yang diperjuangkan. Hal itu dkarenakan, akal sehatnya sudah tidak jalan, dimana hati nuraninya dikotori doktrin-doktrin kekerasan yang diberi label kebenaran, sehingga menjadi suatu keyakinan yang harus dimenangkan meski beresiko membawa korban.

Sejarah bangsa Indonesia dengan berbagai keragaman yang ada, terkadang ada konflik hingga berdarah-darah dan selanjutnya bisa berdamai membangun persaudaraan demi persatuan. Sejatinya merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi terwujudnya kehidupan yang kondusif, dimana kerukunan, kedamaian dan keharmonisan bisa terwujudkan dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Problem-problem sosial selalu ada menyertai kehidupan kita, namun seharusnya bisa disikapi secara bijak tanpa konflik dan kekerasan karena akan semakin memperparah permasalahan yang ada.

Keprihatinan kita semakin sempurna, ketika berbagai aksi kekerasan sering mewarnai saat pemilihan kepala daerah, arena lomba olahraga, hingga konflik dalam hubungan keluarga. Adanya kecenderungan kekerasan diwilayah konflik horizontal dan vertical, sehingga membuat wajah negeri ini terlihat mengerikan, dimana berbagai bentuk pengrusakan dan pembunuhan seakan leluasa dilakukan. Dan tragisnya ada kebanggan ketika ditangannya ada senjata dengan darah-darah segar dari Korban yang dibantainya, padahal kita semua ini hakekatnya adalah satu saudara sendiri, yang terlahir dari rahim ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seharusnya kita ingat akan ucapan Bung Karno, bahwa revolusi belum selesai ?. Kita telah mampu mengusir para penjajah dari negeri ini, tetapi dalam perkembangannya kita tidak mampu mengusir keangkuhan, arogansi dan emosi dari dalam diri kita sendiri, bahkan semakin dipupuk untuk menjadi amunisi ketika dibutuhkan sewaktu-waktu, sesuai kebutuhan dan pesanan.

Upaya penyelamatan kehidupan berbangsa belumlah selesai, bahkan semakin menunjukkan kekacauan yang berakibat disintegrasi bangsa. Untuk itulah perlu adanya kesadaran diri yang tidak mudah sakit hati yang berujung emosi. Kesadaran yang mampu menguatkan persaudaraan untuk menyingkirkan permusuhan; kesadaran yang mampu menatap masa depan bangsa yang lebih baik, sehingga mampu membuang segala dendam; kesadaran untuk rela berkurban demi kedaulatan dan kejayaan bangsa,sehingga mampu memadamkan segala amarah; kesadaran untuk terus berkarya agar kesejahteraan terwujudkan, sehingga mampu membuang segala keserakahan. Kemerdekaan bangsa ini didukung oleh adanya kesadaran berbangsa, dari para pemimpin hingga rakyatnya, yang dengan penuh kerelaan untuk mengorbankan jiwa dan hartanya. Namun sayangnya, saat ini kita sering menyaksikan perilaku yang kehilangan kesadaran, merasa benar, merasa lebih baik, meski dilalui dengan kekerasan, dan sering dalam kondisi pembiaran oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban. Apakah memang sudah ada kesalahan atau salah urus, dalam mengantisipasi terjadinya kekerasan yang semakin memanas, dan ataukah memang telah menjadi bagian dari kebijakan ?.
Cakupan kekerasan bisa terjadi karena adanya sentimen pribadi hingga dalam suatu keluarga yang terus menyebar pada kehidupan masyarakat yang lebih luas, sehingga jika kita tidak jeli kekerasan ini terus membawa dendam yang berkepanjangan. Jika dilihat dari latarbelakang terjadinya kekerasan, sering kali didominasi permasalahan sosial, baik yang menyangkut kesejahteraan, keadilan dan perlindungan keamanan, sehingga jika tidak ada upaya percepatan dalam perbaikan kebijakan yang signifikan dan pembangunan yang berkelanjutan, kekerasan akan terus bergejolak untuk terus menuntut kesejahteraan, keadilan dan keamanan. Jika dilihat dari prespektif keagamaan, seringkali mengatasnamakan nilai keagamaan untuk menjadi pembenar perjuangan “sucinya”, sehingga jika tidak ada upaya dialog untuk mencairkan permasalahan akan semakin membaranya kekerasan yang sangat tidak kita inginkan. Misi keagamaan senantiasa menekankan pada prinsip kedamaian, harmoni dan keselamatan, sehingga upaya ini sangat serius untuk terus digetarkan dalam hati yang sehat nuraninya, yang mampu menebar nilai kemanusiaan, bukan kekerasan karena dapat merusak tatanan kehidupan yang penuh keragaman, dan keragaman itu merupakan mozaik keindahan dalam kehidupan.
Keragaman budaya, bangsa, bahasa, dan agama yang selama ini sudah menyatu dalam kehidupan bermasyarakat, seharusnya ditumbuhkan kembali, untuk bisa menghormati dan menghargai atas perbedaan yang ada, sehingga kesejahteraan dan kondusifitas dimasyarakat tetap terpelihara. Naisbitt (1994) sebagai seorang futuris terkemuka, telah memprediksikan, bahwa masalah suku bangsa atau etnis dapat menjadi bumereng bagi bangsa yang kurang arif dalam melakukan kebijakan politiknya. Analisa ini sepertinya ada korelasi antara suku bangsa atau etnis dengan strategi kebijakan politik suatu Negara, jika sudah ada keadilan, transparansi dan keteladan, bumerang yang dikhawatirkan tidak akan terwujudkan, dan jika sebaliknya bisa dimungkinkan tindak kekerasan menjadi hiasan kehidupan yang menakutkan. Keberadaan suku bangsa di Indonesia ada 662 yang menyebar dan mendiami diberbagai pulau besar dan kecil yang memiliki keanekaragaman budaya dan etika, jika hanya menekankan pada yang dominan dan memiliki kepentingan saja dan menelantarkan yang lainnya, bahkan cenderung diskriminatif, akan semakin memuluskan jalannya kekerasan untuk pemenuhan haknya, dan jika didekati dengan cara-cara represif, bukannya obyektif akan semakin memanaskan amarahnya.

Arah kebijakan Negara sangat menentukan, agar bumereng yang diprediksikan tidak terwujudkan, mengingat keragaman budaya dan bangsa di Indonesia bisa jadi berpotensi menimbulkan konflik, sehingga dengan ikatan Bhineka Tunggal Ika dan dasar Pancasila yang selama ini mampu menguatkan NKRI, seharusnya terus digali untuk diimplementasikan dalam suatu kebijakan, sehingga kesejahteraan terwujudkan; keamanan, kedamaian dan keadilan selalu ditegakkan; pengamalan nilai-nilai relegi yang mencerahkan. Kebijakan Negara seharusnya mampu membangun kesadaran untuk berpartisipasi menguatkan kedaulatan bangsa, bukannya memanfaatkan berbagai fasilitas Negara untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, sehingga Negara tidak berdaya atas ulah para elite yang sama-sama melakukan kekerasan structural dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan.

Kekerasan sosial yang melibatkan jumlah massa besar dengan melakukan pengrusakan dan pembunuhan, sejatinya ada kesamaan dengan kekerasan structural, bahkan lebih mengerikan ketika adanya beberapa gelintir orang yang terpandang dan elite, bahkan hidupnya dalam kemakmuran dan kemewahan, tetapi melakukan kekerasan dengan jubah kekuasaan sehingga bebas melakukan penggelapan, mark up anggaran, hingga korupsi, dan akibatnya adalah kemiskinan dan kematian masal, anehnya yang demikian ini diperlakukan istimewa, sedang yang lainnya disiksa. Perlakuan yang diskriminatif, berkecenderungan timbulnya dendam berkepanjangan, sehingga kekerasan semakin memanas, maka kebijakan haruslah bijak, dan bukan lainnya.

Ekskalasi kekerasan, dengan berbagai motif kepentingan baik dari aspek sosial dan politik, ekonomi dan keadilan, serta keagamaan dan kemanusiaan, dan jika kita mau bercermin seakan wajah bangsa ini menyeramkan, penuh dendam permusuhan, nafsu liar yang bersemangat untuk merusak dan membunuh. Kondisi ini semakin menunjukkan betapa tidak berfungsinya Negara dalam memberikan rasa aman dan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan. Berbagai sengketa dan konflik yang seharusnya divasilitasi untuk dicarikan solusi, dengan dialog dan musyawarah secara kekeluargaan, aktif melakukan pendekatan dari hati ke hati, dengan akal yang jernih untuk beradu argumentasi secara rasional dan procedural, dengan sikap kedewasaan dan luasnya cakrawala kebijakan, serta penuh kesantunan. Maraknya aksi kekerasan sesungguhnya bisa dicegah sedini mungkin agar tidak terjadi korban sia-sia dari saudara sendiri, jika cerdas mensikapinya, dengan melokalisir permasalahan yang ada, serta dicari akar permasalahan yang ada secara obyektif dan transparan, sehingga permasalahan itu akan terselesaikan.

Permasalahan kekerasan selama ini sepertinya tidaklah murni, karena ada banyak kepentingan yang bermain di dalamnya, serta ditunjang oleh semakin terbukanya peluang untuk melampiaskan kekerasan, lebih-lebih penegakan keadilan diperjual belikan, sehingga kekerasan semakin berkibar. Kita sejatinya tidak ingin kekerasan menjadi bagian kebijakan, karena akan menghancurkan sendi-sendi bangsa yang selama ini kita perjuangkan, tetapi kita berharap agar mereka yang terlibat dalam permasalahan yang menjurus kekerasan untuk bisa lebih bijak mencari solusi secara tepat tanpa mengedepankan kekerasan. Harga diri bangsa akan hina karena kekerasan merajalela, dan harga diri bangsa akan mulia karena adanya kearifan.

Seharusnya kita selalu belajar atas sejarah perjuangan bangsa, karena para pahlawan dengan penuh kesungguhan berjuang dan berkorban untuk bangsa dan Negara, dan hal ini adalah prestasi yang membanggakan untuk diteladani dalam kehidupan sekarang, ketika ada banyak penyimpangan dan kekerasan sehingga rakyat dan bangsa menjadi korban oleh mereka yang tidak memiliki sifat kenegarawanan. Sehingga kita ingat pesan Prof.Moch. Yamin, SH dalam kongres II Perkumpulan Pemuda dan Pelajar di Jakarta pada 27 – 28 Oktober 1928, beliau menyampaikkan, bahwa : “ Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri”. Persatuan yang terus diperjuangkan itu, ternyata dalam perjalanan kehidupan berbangsa pada saat ini mulai rapuh dengan maraknya aksi kekerasan (sosial dan Struktural). Bahkan kita diberi semangat lagi oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama Ir. Soekarno, dalam pidato HUT RI tahun 1963, dinyatakan, bahwa : “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Semakin jelas bahwa musuh-musuh kita saat ini ada disekitar kita sendiri, dan bisa jadi ada dalam diri ini karena telah melakukan penyelewengan, kesewenaangan dan kekerasan.

Saatnya kita kembali berbenah dan menata diri, sebelum berbagai tindak anarki menguasai dalam kehidupan ini. Persatuan hendaknya selalu dikedepankan, dan kesewenangan jangan diberi tempat untuk meracuni bangsa ini.

Oleh : Andi Hariyadi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini