Kemunduran Muhammadiyah (I)

1
1473
Qosdus Sabil (Penasihat Pimpinan Ranting Legoso-Ciputat Timur) Design By Tim KLIKMU.CO

KLIKMU.CO – Muktamar Ke-48 Muhammadiyah yang berlangsung pada 18-21 November 2022 di Kota Surakarta dinilai sebagai sebuah perhelatan akbar yang luar biasa. Jutaan penggembira bersukacita menghadiri muktamar. Suasana Kota Surakarta tetap kondusif dan damai. Tidak ada sedikitpun keributan di sana. Berbeda dengan hajatan ormas atau orpol yang kerap ribut dan baku hantam demi memenangkan jagoannya menjadi pimpinan.

Namun, ada kegelisahan yang mulai dirasakan oleh para pengamat, baik dalam maupun luar negeri, bahwa gerakan dakwah Muhammadiyah tampak semakin monoton dalam ragam ekspansinya. Lazimnya pengamat yang sejatinya selalu menantikan ada dinamisasi sebuah gerakan, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin elan vital perjuangan Muhammadiyah.

Setidaknya ada dua hal strategis yang hilang dalam pelaksanaan muktamar ini. Pertama, adanya fakta ketiadaan sosok saudagar dalam daftar 92 calon tetap. Sehingga, ketika data calon baru dibuka saat tanwir, keterkejutan baru terjadi. Seleksi dalam proses tanwir menjadi 39 nama, hingga hasil akhir muktamar yang memilih 13 nama pimpinan, tidak ada satu pun saudagar!!!

Padahal, Rasulullah SAW beserta segenap sahabat utama adalah para saudagar dahsyat di masanya. Begitu pun Kiai Dahlan beserta murid-muridnya adalah perpaduan antara keulamaan-saudagar. Inilah keresahan panjang seorang Kiai Nurbani Yusuf, Ketua PDM Kota Batu Jawa Timur, yang menyoroti dominasi para dosen dan birokrat di jajaran elite Muhammadiyah di berbagai levelnya. Berharap akan tampilnya sosok saudagar besar menjadi pemimpin aktif Muhammadiyah, ibarat menunggu kemunculan seekor semut hitam di ujung kegelapan malam.

Kedua, adanya keterlambatan panitia pemilihan merilis data calon tetap banyak menimbulkan pertanyaan muktamirin. Hal ini tentu sangat manusiawi, karena mayoritas pemegang hak suara tentu menginginkan adanya keterbukaan data calon tersebut. Dengan mengetahui data calon lebih awal, tentu akan semakin memudahkan delegasi wilayah/daerah/cabang untuk menimbang dan mencari formula paket pimpinan yang akan dipilih.

Namun, data calon justru baru dibuka saat tanwir berlangsung. Situasi itu tentu menimbulkan kesulitan tersendiri, karena tidak ada lagi ruang dialog antara delegasi pemilik hak pilih dengan para calon tetap.

Penulis mencoba menelusuri mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dari beberapa sumber A1, penulis mendapatkan info bahwa sebenarnya panitia pemilihan sudah bersiap mengumumkan daftar calon tetap jauh hari sebelum pelaksanaan muktamar. Namun, pleno Pimpinan Pusat melarang panlih mengumumkan data calon tetap tersebut.

Satu hal yang menjadi alasan pleno Pimpinan Pusat melarang pengumuman data calon adalah supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Sebuah alasan yang dalam konteks “berkemajuan” tentu sangat tidak bisa diterima.

Dilema Evaluasi Kinerja Pimpinan
Daftar calon tetap yang tidak dibuka secara transparan menimbulkan berbagai spekulasi muktamirin. Tak ayal, sebagian menduga bahwa pasti ada agenda tersembunyi di balik keputusan menutup rapat-rapat informasi data calon tetap. Hak peserta dan muktamirin untuk mengetahui siapa calon-calon pimpinan mereka seperti telah dikebiri.

Di tengah era transparansi, Muhammadiyah justru terlihat menutup diri pada momen penting reformasi pimpinan pusat. Hal mana kini diikuti oleh hampir setiap pimpinan wilayah yang akan melaksanakan musyawarah wilayah. Jawa Timur dan Kalimantan Timur tercatat sebagai PWM yang akan segera menggelar musywil pekan ketiga Desember di pengujung tahun 2022.

Keterangan yang penulis dapatkan sumber A1 –di mana sumber A1 ini juga terpilih kembali dalam komposisi 13 PP Muhammadiyah–, menyatakan jika pleno PP Muhammadiyah khawatir bahwa calon-calon yang ketahuan tidak bekerja selama periode yang lalu akan diadili oleh muktamirin. Sementara, seharusnya sebagai organisasi berkemajuan, Muhammadiyah penting menjadikan aspek kinerja untuk menilai indikator majelis dan lembaga itu telah secara efektif bekerja melaksanakan tugas pokoknya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari amanat muktamar.

Ironisnya, mereka yang justru rajin turun dan terlibat aktif ikut menyelesaikan persoalan manajemen amal usaha Muhammadiyah, atau menyelesaikan berbagai konflik antarpimpinan, justru tidak terpilih. Berkurangnya suara mereka sebagai akibat imbas adanya konflik kepentingan sebagai wujud masih adanya ketidakpuasan atas solusi yang ditawarkan dan diputuskan oleh pimpinan pusat.

Sebaliknya, mereka yang duduk manis, tidak banyak terlibat dalam penyelesaian konflik, dan cenderung pasif dengan tidak mengkritik pimpinan justru banyak yang terpilih kembali. Inilah dilema yang menyertai perjalanan muktamar, atau perhelatan setiap musywil, musyda, musycab hingga musyran.

Penting kiranya, model permusyawaratan Muhammadiyah didesain dengan lebih cerdas. Hajatan utama memilih pimpinan bisa berlangsung secara damai dan mencerminkan kemajuan Muhammadiyah sebagai Persyarikatan tertua di negeri ini yang masih eksis bertahan di tengah gempuran zaman.

Bias Simbolik
Dengan derap Muhammadiyah yang secara material sangat besar, terpilihnya kembali Prof Haedar Nashir mengisyaratkan masih akan bertahannya nuansa kepemimpinan akan ajeg apolitik. Diklaim seperti main bola, tetapi dalam kenyataannya kadang tidak seperti teamwork, lebih seperti main bola sendiri-sendiri. Umpan lambung Ketum atau Sekum sering tidak membuahkan gol apa-apa bagi Muhammadiyah, karena tidak ada aktor yang diperankan untuk eksekusi di kotak penalti. Seperti yang kita ketahui, selama periode 2015-2022 nyaris tidak ada gerakan khusus untuk menempatkan kader-kader Muhammadiyah di jejaring pemerintahan.

Di sisi yang lain, tampak jelas bahwa tidak ada strategi pemerataan akses kesejahteraan, khususnya bagi warga Muhammadiyah, khususnya mereka yang bekerja di amal usaha-amal usaha Muhammadiyah. Masih sangat lazim terjadi, honor guru atau karyawan Muhammadiyah yang masih dibawah standar UMR.

Selanjutnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlihat belum maksimal dalam mendayagunakan aset-aset produktif Muhammadiyah. Belanja uang lebih untuk simbolik seperti pendirian Kampus Universitas Muhammadiyah Malaysia, atau Muhammadiyah College di Australia, ketimbang memikirkan pemerataan kesejahteraan anggotanya sendiri.

Penulis khawatir pola ini akan mewarnai sampai PWM. Terbukti PWM Jawa Timur baru-baru ini berniat untuk membeli gereja di Spanyol. Sementara, persoalan terkait kesejahteraan guru dan karyawan amal usaha Muhammadiyah masih saja menjadi ganjalan yang selalu menghantui.
Wallahu a’lam bish-showaab. (*)

Oleh: Qosdus Sabil
Penasihat Pimpinan Ranting Legoso-Ciputat Timur

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini