Kemunduran Muhammadiyah (III): Dari Gratifikasi hingga Yatim Politik

0
659
Qosdus Sabil (Penasihat Pimpinan Ranting Legoso-Ciputat Timur) Design By Tim KLIKMU.CO

KLIKMU.CO – Usai berpamitan dari Gedung Expotorium Universitas Muhammadiyah Ponorogo, tempat diselenggarakannya Musywil ke-13 PWM Jawa Timur 24-25 Desember 2022 yang lalu, penulis menyempatkan bergabung bersama para santri alumni Ponpes Muhammadiyah Karangasem Paciran Lamongan. Para sejawat Karangasem memilih depot sate ayam Ponorogo Haji Toekri Samiun yang terkenal sangat makyuss sebagai lokasi perjumpaan.

Berbagai topik diskusi mengemuka, sembari menunggu antrean panjang pesanan sate untuk dibawa pulang. Di tengah diskusi gayeng tersebut, sesekali terlontar ledekan dan cemoohan atas kenangan konyol masa lalu saat masih aktif menjadi santri Yi Man (Kyai Abdurrahman Syamsuri/Pengasuh Ponpes Karangasem).

Pesantren Karangasem sejak dulu kala sudah menjadi rujukan untuk santri-santri dari berbagai pelosok negeri yang ingin menghafalkan Al-Qur’an. Jauh sebelum era ponpes Tanfizh menjadi bisnis pesantren yang sangat mengagumkan.

Ironisnya, hari ini tidak sedikit tokoh-tokoh Muhammadiyah/Aisyiyah yang justru memasukkan anak-anaknya ke Ponpes berbiaya tinggi. Lebih gilanya lagi, bahkan sejak anak masih menginjak kelas IV SD, mereka dengan enteng sudah membayar lunas puluhan juta rupiah biaya sumbangan pembangunan sebagai inden pendaftaran anaknya.

Sekitar tahun 2014, penulis ikut menerima audiensi DPP KAMMI ke kantor PP Muhammadiyah di Menteng Raya Jakarta. Salah satu poin yang ingin mereka sampaikan adalah meminta ketegasan sikap PP Muhammadiyah atas beberapa isu aktual di tanah air.

Namun, ada satu hal yang mengejutkan bagi penulis. Para aktivis KAMMI ini secara jujur dan terbuka memuji kehebatan sistem pendidikan Muhammadiyah. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang mereka kelola. Seperti sekolah-sekolah Islam Terpadu, atau Pondok Pesantren berkelas dan luar biasa mahalnya yang mereka miliki.

“Kami sebagai aktivis muda KAMMI, hari ini sangat menggantungkan pendidikan anak-anak kami kepada Muhammadiyah. Pendidikan dengan kualitas dan mutu terjamin dengan harga yang sangat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara di Lembaga Pendidikan milik kami sendiri, kami belum memiliki kemampuan finansial untuk membiayai anak-anak kami.”

Justru para aktivis KAMMI ini heran dengan banyaknya tokoh-tokoh penting Muhammadiyah yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah IT milik mereka. Bahkan tidak sedikit warga persyarikatan yang juga menitipkan anak-anaknya di Ponpes mahal milik mereka. Sungguh sangat ironis.

Padahal, jika ditelisik lebih jauh keberadaan Ponpes dengan fasilitas lengkap “keduniaan” tersebut hanya memberikan kenyamanan secara jasmani. Makanan sangat bergizi, kamar full ac, hingga santri dapat membawa gadget atau laptop. Ini tentu berbeda dengan disiplin tinggi dan hidup bersahaja yang diajarkan di Ponpes milik Muhammadiyah.

Meningkatnya standar hidup masyarakat kelas menengah atas Muslim perkotaan, telah membuka peluang besar bisnis pendidikan dan pesantren. Satu hal yang secara diametral pasti akan bertabrakan dengan misi pesantren mencetak kader-kader pemimpin bangsa yang zuhud, penuh kesederhaan, dan selalu berempati dengan kalangan mustadh’afiin.

Gratifikasi

Muhammadiyah telah lama menjadi sebuah organisasi masyarakat dengan amal usaha terbesar di dunia. Pertumbuhan kampus-kampus dan rumah sakit Muhammadiyah/Aisyiyah begitu mengagumkan.

Prof Achmad Jainuri dalam sebuah kesempatan menuturkan kepada penulis tentang kegalauannya melihat fenomena adanya pimpinan persyarikatan yang masih pilih-pilih daerah kunjungan dakwah. Ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Mereka akan ringan kakinya, jika daerah yang mengundangnya adalah daerah “basah”. Namun, mendadak banyak alasan bersamaan dengan agenda lain, saat daerah yang mengundangnya adalah daerah “kering” dan berada di pelosok desa. Atau dalam terminologi Amal Usaha Muhammadiyah sering dikategorisasikan sebagai AUM mata air, atau AUM air mata.

Dalam sistem modern administrasi Muhammadiyah, seorang Pemimpin yang bertugas ke daerah selayaknya difasilitasi oleh organisasi. Baik untuk keperluan tiket dan akomodasinya. Tidak jarang telah mentradisi bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut akan merogoh dana dari koceknya sendiri. Sehingga, sangat lumrah kita dapatkan keteladanan Kyai Ahmad Dahlan dan generasi awal Pimpinan Muhammadiyah dan melakukan kegiatan dakwah dan berdagang. Selain menciptakan kohesi sosial yang bagus akibat meningkatnya taraf kesejahteraan ekonomi para aktivisnya, perdagangan menjadi sarana dakwah ekonomi yang sangat strategis.

AUM atau Pimpinan Muhammadiyah di daerah yang mengundang Pimpinan level diatasnya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya–biaya tersebut. Namun, bisa dipastikan tradisi memberikan gratifikasi kepada Pimpinan Persyarikatan acapkali masih terus terjadi.

Inilah awal mula munculnya bibit konflik kepentingan di tubuh persyarikatan rutin terjadi sepanjang waktu. Lebih-lebih saat menjelang perhelatan permusyawaratan pimpinan, mulai dari Muktamar, Musywil, hingga Musyda. Hubungan saling ketergantungan antara pimpinan AUM terhadap Pimpinan Persyarikatan berwenang yang menandatangani SK akan saling berkait.

Terkadang, dalam penunjukan dan penetapan Pimpinan amal usaha lebih dikarenakan faktor like or dislike, bukan atas pertimbangan profesional keahlian manajerial. Timbal balik terjadi saat pemimpin persyarikatan membutuhkan dukungan. Maka kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa pimpinan AUM hingga mengerahkan segenap sumberdaya untuk mendukung pemimpin yang menandatangani SK penetapannya sebagai pimpinan AUM. Na’udzubillahi min dzaalik

Sengaja penulis tidak menyebut Cabang dan Ranting. Karena justru di Cabang dan Rantinglah penulis menemukan betapa suburnya jiwa-jiwa Ahmad Dahlan yang ikhlas Lillahi Ta’ala, sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak ada pamrih atas apa yang dikerjakan/diamalkan, dan selalu bersemangat bekerja bersinergi menebar manfaat bagi ummat).

Apakah sedemikian membahayakannya gratifikasi itu di tubuh Muhammadiyah? Jawabnya ada pada obyektifitas kejujuran kita bersama.

Banyaknya rangkap jabatan antara pimpinan AUM dan Persyarikatan menjadi fenomena yang banyak terjadi. Padahal kita semuanya memahami hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap qaidah organisasi yang kita susun sendiri.

Maka, tidak bisa lagi kita memberikan permakluman adanya rangkap jabatan tersebut tetap terjadi. Karena akan menimbulkan potensi perilaku korupsi di tubuh Muhammadiyah, akibat minimnya pengawasan dan kontrol organisasi terhadap sebuah sistem kerja yang efektif.

Wabil khusus, adanya rangkap jabatan pimpinan AUM dan pimpinan persyarikatan jelas secara terang benderang menunjukkan bahwa misi kaderisasi pimpinan telah mengalami kegagalan.

Yatim Politik

Anjuran Kyai Ahmad Dahlan: “jadilah dokter, insinyur, saudagar, guru, hakim, dan apa saja yang kalian inginkan, namun jangan lupa untuk selalu kembali kepada Muhammadiyah”, agaknya tidak berlaku bagi para politisi.

Para aktivis persyarikatan yang bergeser ke ranah politik, biasanya akan serta merta dianggap say goodbye terhadap Muhammadiyah.

Muhammadiyah akan serta merta menutup pintu bagi aktivisnya yang bergeser menjadi politisi sebuah partai. Haram hukumnya politisi partai dicalonkan sebagai pimpinan, hingga merangkap jabatan di tubuh persyarikatan.

Namun, tragisnya ketika perjuangan sang kader politisi tadi menuai hasil. Segera datang puja puji, hingga deretan proposal yang antri meminta sumbangan!!!

Tajdid terbesar harus segera dilakukan oleh Muhammadiyah. Mengutip statemen Buya Syafii Maarif, kenapa Muhammadiyah tidak menjadi rumah besar saja. Saat para dokter lelah praktik, para saudagar lelah menghitung uang, para guru besar capek mengajar, para pejabat lelah rapat, agar politisi tidak tak lagi yatim di rumah sendiri, rehat sebentar di persyarikatan, melepas lelah kembali mencharge pikiran agar kembali bening dan segar.

Sepanjang pengamatan penulis, LHKP PP Muhammadiyah pada periode awal kepemimpinan Prof. Din Syamsuddin masih menampung para politisi lintas partai yang memiliki latar belakang ideologis pengkaderan Muhammadiyah. Namun, selepas Muktamar Makassar 2015 hal itu sudah tidak berlaku lagi.

Dalam kurun 2010-2015, LHKP bersama Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah secara rutin menggelar serial diskusi membahas perkembangan Pembahasan Rancangan Undang-undang yang sedang digodog di Senayan.

Din Syamsuddin, menegaskan pentingnya sebuah “Jihad konstitusi” sebagai bagian tidak terpisahkan dari gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah memandang strategis upaya memberikan pencerahan atas persoalan-persoalan kebangsaan, terutama yang terkait dengan implementasi sebuah UU yang mengatur hajat hidup orang banyak.

Seperti diketahui, PP Muhammadiyah mengajukan uji materi sejumlah UU, termasuk UU Minerba, yang dianggap merugikan kepentingan nasional. Bahkan, selanjutnya PP Muhammadiyah juga melakukan judicial review terhadap UU lain sebagai tindak lanjut dari amanat Muktamar Muhammadiyah 2010 di Yogyakarta, seperti UU Minerba, investasi, geothermal, Privatisasi air, Penanaman Modal Asing, dan lain-lain, yang ditengarai melanggar kepentingan rakyat dan negara.

Dalam catatan penulis sebagai Wakil Sekretaris Bidang Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, PP Muhammadiyah lima kali berperkara di Mahkamah Konstitusi, semuanya dimenangkan oleh Muhammadiyah.

Momentum reformasi 1998 telah mendorong dilakukannya reformulasi sistem ketatanegaraan melalui amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002. Dalam proses amandemen tersebut, salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah upaya diberikannya kewenangan lembaga yudisial untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan setingkat UU terhadap UUD.

Puncak euforia gugatan judicial review atas produk UU ke Mahkamah Konstitusi terjadi pada periode 2011-2017. Pada periode ini, keterlibatan berbagai pihak pemangku kepentingan terkait UU yang dipersoalkan, hingga peran serta beberapa organisasi kemasyarakatan besar di tanah air seperti Muhammadiyah, menjadi bahan kajian yang sangat menarik.

Namun, kali ini penulis hanya bisa menghela nafas panjang, ketika berkali-kali inisiatif judicial review oleh LHKP dan Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah ke MK justru macet di meja Ketua Umum. Bukankah sebagai Ketua Umum, seharusnya Prof. Haedar Nashir memasang badan memberikan dukungan untuk tegaknya amanat reformasi, MK sebagai garda terakhir pencari keadilan di negeri ini.

Tidak tega rasanya, penulis menyaksikan Jenderal Besar Busyro Muqoddas, dan Mas Trisno Raharjo hanya bertindak sebagai penggugat atas nama pribadinya sendiri.

Atas berbagai kemunduran ini, mari kita beristighfar dan kembali meneguhkan komitmen perjuangan kita bersama Muhammadiyah tercinta.
Nashrun min Allah wa fat’hun qariib

Oleh: Qosdus Sabil
Penasihat Pimpinan Ranting Legoso-Ciputat Timur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini