Surabaya, KLIKMU.CO – Berita soal kecurangan penerimaan peserta didik baru (PPDB) belakangan semakin ramai. Modus kecurangan itu bermacam-macam.
Ada yang berupa pungutan liar (pungli), manipulasi kartu keluarga (KK), hingga jual beli kursi. Tapi, yang paling banyak terjadi adalah manipulasi KK agar siswa masuk zonasi.
Bahkan, di Jawa Barat, gubernur sampai membatalkan kelolosan ribuan siswa karena ditengarai memanipulasi domisili di KK untuk mengakali syarat zonasi.
Ketua Majelis Dikdasmen PDM Surabaya Dikky Syadqomullah ikut angkat suara terkait ramai-ramai polemik PPDB. Dikky memberikan sejumlah catatan terkait dengan permasalahan tersebut.
Pertama, transparansi. Menurut Dikky, pemerintah kota dan dinas pendidikan setempat harus menghitung betul jumlah siswa, jumlah pagu rombel, serta ketersediaan kelas. Hal itu harus betul-betul dilakukan secara transparan dan jelas agar semua pihak mengetahuinya.
“Misalnya, jumlah siswa SD yang lulus berapa, baik negeri maupun swasta? Kemudian, ketersediaan SMP negeri maupun swasta berapa? Selain itu, yang mondok berapa. Jangan lupakan juga sekarang ada home schooling,” kata eks Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur tersebut kepada KLIKMU.CO, Rabu (19/7).
Dikky juga mewanti-wanti SMP negeri jangan membuka program sekolah terbuka. Sebab, ada sekolah swasta yang juga perlu diperhatikan.
Yang kedua, berbagi peran. Dikky menyatakan, sudah saatnya sekolah negeri dan swasta itu berbagi peran. Apalagi, sekolah swasta lahir lebih dahulu daripada negeri.
“Kalau bisa bersinergi. Kalau memang di SMP swasta kurang bonafide misalnya, maka perlu tanggung jawab kita bersama untuk memperbaiki. Kalau memang (sekolah swasta, Red) dirasa sudah berat, maka tidak apa-apa, mungkin guru-guru bisa ditanggung di sekolah-sekolah yang bisa menerimanya,” tutur mantan Kepala SMP Muhammadiyah 6 Surabaya itu.
Ketiga, PPDB ini harus dikawal secara bersama-sama. Kalau ada yang kurang benar seperti terjadi kecurangan bekalangan ini, kata Dikky, para oknum pelaku harus ditindak secara tegas.
Dikky mencontohkan SMP maksimal ada 11 kelas, tidak boleh lebih dari itu. Kemudian isi per kelas maksimal 36 siswa, jangan sampai diisi sampai 40 atau 42 siswa. “Kita pantau bersama-sama. Sehingga harapan kita bisa tercapai dengan baik,” tegasnya.
Keempat, sinergi dan kolaborasi. Menurut Dikky, karena sekolah negeri itu sudah mendapat biaya dari pemerintah, siswa dari golongan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) jangan pula dibebankan kepada sekolah swasta.
Yang semestinya menanggung siswa MBR adalah sekolah negeri. Apalagi jika merujuk pada Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar diperlihara oleh negara. Pasal ini harus dijadikan pedoman agar sekolah-sekolah negeri mau menerima seluruh siswa MBR.
“Sehingga siswa yang mampu bisa sekolah ke swasta. Karena kan terjadi subsidi silang. Dalam hal ini negara atau pemerintah daerah bisa membayar anak yang tidak mampu. Kemudian yang mampu bayar sekolah biar sekolah di swasta. Karena banyak sekolah swasta yang baik seperti SMP Muhammadiyah, Al Hikmah, Al Azhar, Al Falah, SMP Petra, St Louis. Ini jadi alternatif-alternatif bagi orang-orang yang punya uang untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik. Ini saya kira solusi terbaik,” tandasnya. (AS)