KLIKMU.CO – JISRA (Joint Initiative for Strategic Religious Action) Muhammadiyah bekerja sama dengan Nasyiatul Aisyiyah (NA) mengadakan peningkatan keterampilan (capacity building) untuk fasilitator daerah Banyuwangi dan Solo, Sabtu-Ahad (5-6/3/2022) di The Alana Hotel Surabaya. Acara tersebut bertujuan untuk menyamakan persepsi pelaksanaan program JISRA dan meningkatkan kapasitas staf dalam penerapan kegiatan JISRA di daerah.
Acara yang digelar dua hari satu malam tersebut melibatkan fasilitator daerah Banyuwangi, fasilitator daerah Solo, regional manager, regional staff, program manager, dan monitoring and evaluation consultant.
Sementara itu, materi yang dibahas meliputi pengantar dan pemahaman isu JISRA Muhammadiyah, peran perempuan dalam pendekatan perdamaian, strategi implementasi, dan kapasitas analisis sosial. Ada pula pengorganisasian masyarakat, peran perempuan dalam perdamaian, detail implementation plan JISRA NA, management finance dan program, serta diskusi rencana tindak lanjut.
Pembukaan Capacity Building JISRA Nasyiatul Aisyiyah kali ini dihadiri langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) Diyah Puspitarini dan Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur Aini Syukriyah.
Dalam sambutannya, Diyah berpesan agar kegiatan tersebut dapat menyambungkan rasa dan visi para fasilitator untuk bersama menyukseskan program JISRA Muhammadiyah-NA lima tahun ke depan. Ia pun berpesan agar program JISRA dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas.
“Isu yang dibawa JISRA Muhammadiyah ini pas sekali dengan isu Nasyiah, yakni internasionalisasi Nasyiatul Aisyiyah dengan cara bekerja sama dengan beberapa pihak di dalam dan luar negeri. Jangan hanya puas jadi jago di kandang sendiri. Nasyiah akan betul-betul bermanfaat bagi masyarakat ketika kehadirannya bisa dirasakan oleh semua kalangan,” terang dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu.
Ia juga menegaskan bahwa isu perdamaian dan ekologi ini pun sejalan dengan 10 pilar Nasyiatul Aisyiah. Salah satunya adalah misi perdamaian.
“Meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif, perbedaan adalah sunnatullah. Maka dibutuhkan rasa saling menghormati dan menerima perbedaan. Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pun mengajar di sekolah Belanda dan tidak pernah memaksa muridnya mengikuti aqidahnya,” jelas Diyah.
Diyah pun memberi contoh tentang Kiai Dahlan yang saling membantu dengan dokter-dokter Belanda dalam pembangunan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Hal itu mencerminkan bahwa bermuamalat dengan umat antaragama itu diperbolehkan. Sampai saat ini pun, universitas dan beberapa sekolah Muhammadiyah menerima siswa-siswi lintas agama.
“Saya berharap fasilitator daerah JISRA NA ini dapat menjadi pionir untuk menyebarluaskan nilai-nilai toleransi antaragama dan lingkungan,” tandasnya. (Erfin Walida/AS)