Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi
KLIKMU.CO
Ini hari berkumpul sebab semua kita libur. Handai tolan sanak kerabat pulang kampung. Berjabat bermaafan penuh suka cita. Kenapa tidak hari biasa? Karena hari biasa kita tak cukup waktu.
Rasulullah menyebut hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum. Di hari itu kita diharamkan puasa. Hari bergembira dan bersuka cita. Bukan pesta pora. Tapi juga bukan seperti hari-hari biasa. Ini hari raya sebagai tanda syukur. Allah berikan dua hari raya kepada kita.
Konon Ibrahim as menyembelih 1000 ekor unta. Rasulullah pada haji wada’ berkurban 65 atau 90 ekor unta yang disembelih dengan tangan beliau sendiri kemudian dimasak dan diminum bersama kuahnya.
Bukan berlebihan apalagi disebut mubazir dengan 1000 unta dan 90 ekor unta yang disembelih. Karena tidak dilakukan setiap hari. Saya menyebutnya rehat setelah bekerja setahun penuh. Apa salahnya sehari setelah puasa sebulan penuh dan tiga hari tasyrik pada hari haji kita berlibur. Kita bakar petasan setelah bayar zakat. Buat ketupat dan potong ayam setelah slesai puasa nyawal. Kita sembelih kurban kambing atau sapi kemudian makan dan minum bersama keluarga dan handai taulan.
Belum bisa dipahami jika kemudian ada yang mencoba untuk mengingatkan agar tidak merayakan berlebihan dan takut mubazir. Belum lagi dicap bidah hanya karena tak adanya dalil dan uswah dari Nabi saw.
Takbir bersama disebut bidah apalagi keliling sambil bawa obor. Makan dan minum daging kurban juga tak boleh, takut salah makan daging kurban yang mana. Beli baju baru dibilang mubazir. Membuat kue dibilang lalai. Tidak boleh membakar kembang api karena mirip kebiasaan majusi.
Bakar mercon dibilang kafir karena menyerupai kebiasaan pagan. Menabuh bedhug dan kentongan dibilang churafat mirip kejawen. Halal bi halal juga tak boleh sebab tak ada dalam sunah. Galak-gampil ke rumah tetangga dan kerabat dibilang haram. Bahkan mudikpun dianggap mubazir karena menyusahkan. Lalu apa yang tersisa?
Hari raya menjadi sepi. Tak ada beda dengan hari-hari biasa. Hari raya baik iedul fitri dan iedul adha sepi alias ‘nyenyet”. Kehilangan marwah. Tidak punya greget karena kehilangan keistimewaan. Tak ada sesuatu yang bisa ditertawakan. Bahkan sekedar hadiah coklat atau ucapan selamat dari teman atau sahabat. Budaya weh-weh juga sudah tiada karena dianggap munkar.
Jangan salahkan bila sebagian kita mencari hari raya lain yang lebih familier dan humanis: valentine, tahun baru dan hallowen menjadi alternatif. Anak anak kita demikian familier dengan hari raya itu karena relevan dengan masa dan usia mereka. Sebab Ied berubah menjadi hari raya para orang tua, sepi dan membosankan, jangan salahkan kalau anak-anak dan remaja mulai tak suka dengan Id.
Hari raya idain menjadi hari raya penuh pantangan. Banyak larangan dengan berbagai alasan. Memang berlebihan (ghuluw) itu tak baik. Termasuk berlebihan melarang ini-itu. Jangan begini-jangan begitu. (*)
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar