Kritik Orientalisme dalam Konstruksi Hukum

0
49
Faturahman Adjan Djaguna, Mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Kader IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Faturahman Adjan Djaguna, Mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Kader IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta

Akar bahasa dari orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Orient mempunyai arti Timur dan isme artinya paham.

Adapun lawan dari terma ini adalah oksidentalisme, yang terdiri dari kata occident yang berarti Barat dan isme berarti paham. Dalam Kamus Webster, orientalisme adalah study of eastern culture yang berarti tentang kajian tentang budaya Timur.

Orientalisme, sebagaimana dikemukakan Edward Said dalam bukunya Orientalisme, merupakan kerangka berpikir dan pandangan dari dunia Barat terhadap Timur sebagai (yang lain) sebagai sesuatu yang terbelakang, dan menghegomni peradaban timur atau penguasaan oleh Barat.

Begitupun jika kita melacak dalan sejarah hukum, orientalisme sering kali menghegomoni bahwa di mana hukum Barat sebagai hukum modern, rasional, dan jauh lebih baik dibandingkan dengan dunia Timur. Sementara hukum Timur dianggap tertinggal atau terlalu primitif dan kurang rasional.

Tulisan ini saya buat sebagai kritik terhadap pendekatan orientalis dalam konstruksi hukum. Saya mencoba membuka wacana tentang bagaimana hukum dipergunakan sebagai instrumen kekuasaan kolonial untuk mengkolonialisasi dan bagaimana dampak dalam memengaruhi sistem hukum di bekas negara jajahan hingga saat ini, salah satunya adalah Indonesia.

Sering kali para orentalis menghegomoni bahwa hukum Timur sebagai sesuatu yang tidak rasional, primitif, atau terbelakang dibandingkan dengan hukum dunia Barat yang dianggap rasional, modern, dan beradab. Konstruksi ini tidak hanya menciptakan stereotip terhadap masyarakat Timur namun juga melegitimasi intervensi kolonial dalam sistem hukum mereka. (Edward Said, Orentalisme: 1978)

Saya mencoba mengontekskan bahwa kolonial memengaruhi hukum yang sering digunakan sebagai instrumen mereka dalam menegaskan dominasi kolonial dan menundukkan penduduk asli. Sistem hukum kolonial sering kali memasukkan hukum Barat ke dalam wilayah bekas jajahan kolonial, sambil memengaruhi hukum adat setempat atau bahkan menghilangkan hukum adat yang ada.

Salah satu contoh adalah nusantara yang hari ini kita lihat mulai pudarnya hukum adat dalam dunia moderen saat ini. Oleh sebab itu, hal ini bukan sekedar penggantian sistem hukum kolonial, tetapi juga upaya untuk menghegomoni kembali identitas dan struktur sosial masyarakat kolonial sesuai dengan norma dan nilai-nilai Barat.

Hukum sebagai Alat Dominasi Orientalisme

Hukum dalam bayang-bayang orientalisme sering kali difungsikan sebagai instrumen kekuasaan yang digunakan oleh penjajah dalam menghegomoni masyarakat jajahan kolonial. Begitu banyak peristiwa, hukum kolonial tidak hanya mengatur hubungan antara penjajah dan terjajah, namun juga menentukan struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat sebagai tuntutan budaya Barat terhadap dunia Timur.

Begitu banyaknya negara kolonial, undang-undang pertanahan yang diperkenalkan oleh negara kolonial dirancang untuk memfasilitasi eksploitasi ekonomi oleh penjajah, sering kali dengan mengorbankan hak masyarakat adat atas tanah.

Saat ini hal itu masih digunakan Indonesia, di mana UU dibuat dengan alasan kepentingan orang banyak dan dilindungi hak-hak masyarakat hanya mimpi belaka. Pada kenyataan yang sama negara berbagai macam cara untuk mengeksploitasi alam demi keuntungan penguasa semata. Misalnya UU Omnibus Law yang mengatur banyak kepentingan oligarki, teruntuk masyarakat adat menanggung dampak dari eksploitasi kekuasaan.

Banyak regulasi/UU di Indonesia yang masih memakai watak kolonial dalam mengisi kekosongan hukum untuk menyelamatkan kepentingan elit tertentu.

Mulai UU Omnibus Law sampai pada peraturan perundang-undangan lainya, yang mencoba mempraktikkan watak kolonial di bumi pertiwi. Ini tidak terlepas dari bagaimana pengaruh watak kolonial terhadap penguasa kita di negara sembilan naga.

Selain itu, undang-undang kolonial sering kali diterapkan dengan keras terhadap penduduk asli, di mana orang-orang tetua kita dahulu dikerja paksa. Hal itu memperkuat stereotip orientalis yang menganggap masyarakat Timur sebagai orang yang biadab atau berbahaya sehingga memerlukan pengawasan dan kontrol yang ketat.

Sanksi hukum yang keras dan praktik penegakan hukum yang diskriminatif menciptakan ketidakadilan yang mendalam dan memperkuat hierarki kekuasaan kolonial.

Dampak dari orientalisme terhadap hukum di Indonesia pascakolonialsetelah kemerdekaan, banyak negara di Asia, Indonesia, Afrika, dan Timur Tengah mewarisi sistem hukum kolonial yang dipengaruhi oleh orientalisme.

Padahal jika kita menganalisis sistem hukum di Indonesia sering kali tidak sepenuhnya selaras dengan nilai, norma, atau kebutuhan masyarakat nusantara. Akibatnya, Indonesia pascakolonial menghadapi tantangan besar dalam mereformasi sistem hukum agar lebih sesuai dengan konteks kultural manusia nusantara.

Selain itu, juga menghadapi tekanan untuk mematuhi standar hukum internasional yang sering kali masih dipengaruhi oleh paradigma Barat. Orientalisme dalam bayang-bayang hukum juga mempunyai pengaruh besar di dunia internasional.

Di satu sisi, negara-negara Barat sering kali menganggap undang-undang mereka sebagai standar yang harus dipatuhi oleh negara lain. Di sisi lain, hukum internasional yang berkembang sering kali mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai Barat sehingga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara yang memiliki tradisi hukum berbeda.

Kritik, Dekonstruksi Orientalisme dalam Hukum dan Warisannya

Menanggapi pengaruh orientalisme dalam hukum, banyak pemikir dan praktisi hukum dari dunia Asiaisme mulai mengkritik dan mendekonstruksikan narasi orientalis yang masih ada dalam tubuh kekuasan pembuat hukum.

Seperti Edward Said dan Hasan Hanafi yang menantang hegemoni paham barat terhadap dunia timur dan meningkatkan pemahaman hukum dan multikulturalisme.

Gerakan hukum seperti pluralisme, yang mengakui keberadaan dan pentingnya berbagai sistem hukum yang hidup berdampingan dalam masyarakat, berupaya menanggapi warisan orientalisme dalam hukum dan kemenangan.

Oleh karena itu, pemerintah pascakolonial berupaya menciptakan sistem hukum yang peka terhadap nilai-nilai lokal, sambil tetap memberikan kontribusi kepada komunitas hukum internasional. Hukum pusaran oriental menunjukkan bagaimana pengetahuan dan kekuasaan hukum dapat digunakan untuk menciptakan, mengendalikan, dan mengatur masyarakat oriental melalui kekuasaan Laut Barat.

Meskipun negara-negara pascakolonial telah merdeka, warisan hukum orientalisme masih menjadi tantangan. Melalui kritik dan eliminasi, dilakukan upaya untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil berdasarkan norma-norma sosial dan budaya setempat, dan pada akhirnya dapat mengatasi ketidakadilan yang diwarisi oleh daerah jajahan. (The Hague: Kluwer Law International, 1999, hlm 5)

Warisan orientalisme dalam hukum tidak hilang begitu saja setelah berakhirnya kolonialisme. Banyak negara pascakolonial masih mempertahankan sistem hukum yang diwariskan oleh penjajah, meskipun dalam beberapa kasus telah dilakukan modifikasi.

Sistem hukum ini sering kali masih mencerminkan pandangan orientalis yang merendahkan hukum adat atau tradisional. Di beberapa negara, hukum adat atau tradisional masih dipinggirkan dan dianggap kurang memadai dibandingkan dengan hukum negara yang berakar pada tradisi hukum Barat.

Hal ini menciptakan dualisme hukum di mana hukum modern yang dianggap lebih superior diberlakukan untuk masalah-masalah tertentu, sementara hukum adat hanya berlaku untuk hal-hal yang dianggap kurang penting atau “tradisional.”

Dualisme ini sering kali menyebabkan ketidakadilan dan ketegangan antara komunitas lokal dan negara, serta mempertahankan hierarki yang diwariskan dari kolonialisme.

Hukum dan Narasi Modernisasi

Narasi modernisasi yang didorong oleh orientalisme terus berlanjut setelah kemerdekaan. Dengan asumsi bahwa hukum Barat lebih “modern” dan lebih cocok untuk mendukung kemajuan dan pembangunan, hukum Indonesia terhegomoni untuk mengikuti contoh hukum Barat.

Ini sering kali terjadi mengabaikan atau merendahkan sistem hukum konvensional Indonesia. Misalnya, ketika undang-undang atau kebijakan nasional dibuat, hukum adat dan praktik hukum lokal lainnya sering kali di diabaikan. Ini justru mencerminkan keyakinan orientalis bahwa barat adalah contoh terbaik yang harus diikuti Indonesia.

Begitu juga bagaimana dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Kita, Mohammad Hatta mengkritik tentang demokrasi. Bagi Hatta demokrasi kita merupakan copy paste dari dunia Barat sehingga tidak selaras dengan manusia Indonesia.

Dalam sistem hukum juga demikian. Kita bisa lihat hari ini bagaimana masih banyak pengaruh hegomoni Barat terhadap pembuatan hukum serta kebijakan publik untuk dipaksakan modern, tetapi tidak mencermikan manusia Indonesia.

Dalam konteks ini, orientalisme berfungsi sebagai ideologi modernisasi yang menganggap hukum Barat sebagai standar kemajuan yang paling benar, sementara hukum lokal dipandang sebagai penghalang pembangunan.

Ini menyebabkan ketegangan antara tuntutan modernisasi dan prinsip tradisional, yang sering menyulitkan masyarakat adat. Ini bisa kita lihat berbagai macam konflik akibat kebijakan yang terus-menerus mengeksploitasi hak-hak masyarakat, demi melanggengkan paham Barat (orentalisme) dalam membentuk suatu kebijakan. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini