Mahasiswa Menggugat: Mengembalikan Politik Berkeadaban di Indonesia

0
25
Mahasiswa Menggugat: Mengembalikan Politik Berkeadaban di Indonesia. (Foto Ilustrasi)

Oleh: Nashrul Mu’minin, Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

Sebagai mahasiswa, saya merasa prihatin dengan kondisi politik di Indonesia yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban. Artikel “Kembalikan Politik yang Berkeadaban” di Kompas.id ini menyoroti beberapa peristiwa politik yang terjadi pada Agustus 2024, yang mencerminkan makin menjauhnya politik dari kepentingan rakyat.

Pertama, pengunduran diri Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Partai Golkar dan pergantian menteri di kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Peristiwa ini menimbulkan gereget publik karena seolah-olah memperlihatkan perpecahan di internal partai dan kabinet.

Publik seharusnya bisa menikmati semarak perayaan HUT Kemerdekaan RI. Namun, perhatian mereka teralihkan oleh dinamika politik tersebut.

Kedua, keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang “superkilat” untuk mengembalikan putusan MK tersebut pada aturan sebelumnya.

Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan, karena seharusnya putusan MK diterima dan dijalankan, bukan malah dikembalikan ke aturan lama. Ini mencerminkan praktik politik yang mengesampingkan prinsip check and balances antara lembaga-lembaga negara.

Ketiga, masalah Pilkada Jakarta yang mencuat. Setelah deklarasi dukungan partai-partai besar kepada pasangan Ridwan Kamil-Suswono, tiba-tiba muncul calon independen yang lolos verifikasi KPU Jakarta. Publik menganggap ini sebagai “rekayasa” agar Ridwan-Suswono tidak mendapat lawan yang seimbang.

Alih-alih membatalkan pencalonan tersebut, KPU Jakarta justru menyatakan data dukungan calon independen tersebut tetap valid. Ini menimbulkan kekhawatiran publik akan kualitas proses Pilkada.

Keempat, isu perpanjangan masa jabatan presiden yang diembuskan Bahlil Lahadalia, tapi ditolak PDIP. Namun, melalui Putusan MK, batas umur calon presiden dan wakil presiden diubah.

Akibatnya, Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi, menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto dan diprediksi akan menang. Fenomena ini menunjukkan adanya upaya penguasaan kekuasaan oleh elite politik melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan hubungan kekerabatan.

Menurut saya, fenomena-fenomena politik tersebut mencerminkan praktik politik yang jauh dari nilai-nilai keadaban. Partai politik yang memperoleh dukungan rakyat dalam pemilu justru menciptakan jarak komunikasi dengan pemilihnya. Mereka lebih memilih menjadi “parasit demokrasi” ketimbang menjadi representasi aspirasi rakyat.

Fenomena ini juga menunjukkan adanya upaya penguasaan kekuasaan oleh segelintir elite politik. Mereka seolah “tersandera” dalam genggaman Presiden Jokowi, yang terus menelikung mereka untuk mendukung agenda-agendanya, termasuk mewariskan kekuasaan kepada anaknya. Ini mencerminkan praktik politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, bukan kepentingan rakyat.

Sebagai mahasiswa, saya sangat prihatin dengan kondisi ini. Politik yang semestinya menjadi sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat justru dimanfaatkan oleh elite politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka. Padahal, cita-cita reformasi adalah untuk membangun politik yang lebih beradab, bukan malah menyiapkan ruang bagi para elite untuk menelikung pemilihnya.

Saya berpendapat, untuk mengembalikan politik yang berkeadaban, perlu adanya upaya-upaya sebagai berikut.

Pertama, penguatan sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara. Lembaga-lembaga negara harus berfungsi secara independen dan profesional, tanpa intervensi atau penguasaan oleh kelompok tertentu. Putusan-putusan lembaga negara, seperti MK, harus dihormati dan dijalankan dengan baik.

Kedua, partai politik harus membangun komunikasi yang lebih dekat dengan konstituennya. Mereka harus menjadi representasi yang sesungguhnya dari aspirasi rakyat, bukan malah menjadi “parasit demokrasi” yang mengkhianati pemilihnya. Partai politik juga harus memiliki kader-kader yang berintegritas dan memiliki visi yang jelas untuk kemajuan bangsa.

Ketiga, proses demokrasi, termasuk Pilkada, harus dijalankan dengan jujur, adil, dan transparan. Penyelenggara pemilu harus independen dan bekerja sesuai aturan main yang disepakati bersama. Praktik-praktik “rekayasa” atau intervensi dalam proses demokrasi harus dihindari.

Keempat, kekuasaan politik harus dijalankan dengan integritas dan tanggung jawab. Elite politik harus menyadari bahwa mereka diberi amanah untuk melayani rakyat, bukan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka sendiri. Praktik politik dinasti atau pewarisan kekuasaan harus dihindari.

Jika upaya-upaya di atas dapat dilakukan, maka saya yakin politik di Indonesia akan kembali pada nilai-nilai keadaban. Rakyat akan kembali merasakan semangat kemerdekaan dan dapat terlibat secara aktif dalam proses demokrasi. Inilah cita-cita yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa, termasuk kalangan mahasiswa seperti saya.

Kelima, perlunya penguatan pendidikan politik bagi masyarakat. Selama ini, politik seringkali dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang kotor, penuh dengan intrik, dan jauh dari kepentingan rakyat.

Hal ini perlu diubah melalui upaya-upaya edukasi dan sosialisasi agar masyarakat memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam proses politik. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat dapat berpartisipasi secara cerdas dan kritis dalam setiap proses politik.

Keenam, meningkatkan peran media massa yang independen dan profesional. Media massa memiliki peran penting dalam mengawal dan mengkritisi dinamika politik. Namun, kerapkali media juga terjebak dalam kepentingan-kepentingan tertentu dan menjadi bagian dari permainan politik.

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperkuat integritas dan independensi media, sehingga mereka dapat menjadi watchdog yang efektif bagi praktik politik yang menyimpang.

Ketujuh,membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil yang kritis dan konstruktif. Selama ini, masyarakat sipil kerap dituding sebagai pihak yang “mengganggu” dan “menghambat” jalannya pemerintahan.

Padahal, masyarakat sipil memiliki peran penting sebagai kekuatan penyeimbang dan pengawas bagi praktik-praktik politik yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat sipil.

Kedelapan,memperkuat peran pemuda dan mahasiswa sebagai agen perubahan. Sebagai generasi penerus, pemuda dan mahasiswa memiliki posisi strategis untuk menjadi penggerak bagi perubahan politik yang lebih beradab. Mereka harus didorong untuk terlibat aktif dalam proses-proses politik, menyuarakan aspirasi, dan menjadi teladan bagi praktik politik yang bersih dan bertanggung jawab.

Dengan delapan upaya di atas, saya yakin politik di Indonesia dapat kembali pada nilai-nilai keadaban. Rakyat akan kembali menaruh kepercayaan pada para pemimpinnya, dan demokrasi dapat berjalan sesuai dengan cita-cita reformasi.

Sebagai mahasiswa, saya berharap dapat turut serta dalam mewujudkan cita-cita tersebut demi masa depan Indonesia yang lebih baik. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini