Makna dan Praksis Jamaah untuk (Warga) Muhammadiyah

0
46
Budi Nurastowo Bintriman. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Budi Nurastowo Bintriman

(Disarikan dari Pengajian Ustadz Adi Hidayat, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

KLIKMU.CO

Peristiwa hijrah adalah peristiwa besar dalam Islam. Banyak hikmah di balik peristiwa tersebut. Dan peristiwanya itu sendiri banyak mengandung nilai-nilai dan kisah-kisah utama. Oleh karena itu, peristiwa hijrah dijadikan momentum awal hitungan kalender Islam.

Rasulullah SAW berhijrah adalah karena adanya perintah dari Allah SWT. Perintah hijrah tujuannya ke suatu daerah yang bernama Yatsrib. Daerah yang didiami pertama oleh keturunan Nabi Nuh AS, dari proses diaspora para keturunan Nabi Nuh AS pascabanjir besar.

Meskipun demikian, Yatsrib daerah yang sudah terbilang heterogen. Saat Rasulullah SAW dan beberapa pengikutnya hijrah, Yatsrib banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Yahudi. Karena mereka punya keyakinan, bahwa di daerah itulah akan munculnya manusia agung sebagai nabi akhir zaman.

Namun, kondisi sosial di Yatsrib banyak diwarnai oleh perpecahan yang dilatari faktor-faktor perbedaan. Perpecahan yang paling legendaris adalah perpecahan antara kaum Bani Aus dengan kaum Bani Khazraj. Dan perintah utama Allah SWT kepada kaum Muhajirin adalah agar menjadi kaum pemersatu, jangan menjadi kaum yang berposisi sebagai bagian dari perpecahan.

Itu dilaksanakan dengan sangat baik oleh Rasulullah SAW. Maka di kemudian hari, kaum Bani Aus dan kaum Bani Khazraj bisa hidup damai berdampingan di Yatsrib. Di mana sebelumnya, kaum Muhajirin telah bersatu dengan kaum Anshar dalam ikatan berjamaah.

Istilah anshar itu sendiri mengandung makna orang atau kaum yang menolong sesuai kebutuhan orang yang ditolong dengan dilandasi ikhlas tanpa pamrih lillahi ta’ala. Kala itu kaum Anshar ada di posisi orang-orang penduduk Yatsrib. Dan orang-orang yang butuh pertolongan kala itu adalah orang-orang Mekah yang berhijrah, dengan sebutan kaum Muhajirin.

Tentu saja kaum Muhajirin sangat-sangat banyak membutuhkan pertolongan dalam banyak hal, kecuali perkara akidah. Semua kebutuhan kaum Muhajirin akan dipenuhi oleh kaum Anshar, apapun rupa kebutuhan yang diinginkan. Ditawarkan siapa yang membutuhkan harta (bergerak), siapa yang membutuhkan istri, siapa yang membutuhkan tanah, dan lain sebagainya.

Persatuan dan (kemudian) persaudaraan mereka benar-benar bersifat transendental. Bisa jadi, kondisi itu merupakan fakta sosiologis satu-satunya yang pernah tercipta di muka bumi ini. Itulah makna hakiki jamaah dalam wujud yang sebenarnya. Yang kemudian hari mampu melahirkan Madinah (kota yang berkeadaban tak hanya fisiknya saja, tapi juga ruhaniahnya).

Ada kisah utama di Madinah (sebagai nama pengganti Yatsrib). Bahwa ketika kaum Anshar menawarkan “kenikmatan-kenikmatan” kepada kaum Muhajirin, namun ternyata mereka menerimanya hanya dengan takaran secukupnya saja. Mereka tidak memanfaatkan kesempatan dengan modus aji mumpung.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah  SAW, keberadaani masjid Madinah tak hanya menjadi pusat pelaksanaan ritual belaka. Namun masjid benar-benar merupakan sekumpulan jamaah yang menjadi problem solver terhadap segala permasalahan orang atau masyarakat sekitar.

Permasalahan apapun akan terpecahkan di masjid. Persoalan dalam segala aspek kehidupan akan terselesaikan oleh jamaah yang aktif melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Seideal itulah makna jamaah yang nyata dan konkret mengejawantah.

Kisah utama yang lain, ada orang asing atau musafir yang “mampir” shalat di masjid Madinah. Rasulullah SAW menawarkan kepada para jamaah (para sahabatnya) untuk menjamunya. Ternyata hampir semua jamaah angkat telunjuk menyatakan bersedia. Dan Rasulullah SAW menentukan pilihan kepada jamaah (sahabat) yang paling cepat dalam mengangkat telunjuknya.

Padahal ternyata persediaan makan hari itu hanya tersedia satu porsi. Namun sang isteri dan anak merelakan makanan satu porsi itu untuk sang musafir. Maka ketika hendak makan (malam) bersama, sahabat meredupkan lampu hingga agak gelap. Dalam kondisi gelap itu, sang musafir makan. Sementara sahabat, isteri, dan anak hanya melakukan adegan makan. Karena sejatinya piring mereka kosong tak ada apa-apa.

Itulah makanya dahulunya Yatsrib yang carut-marut berubah menjadi kota yang tertata rapi dan berkeadaban. Kondisi-kondisi positif kota yang kemudian memancar hingga keluar kawasan (Madinatul Munawwarah). Itulah makanya Islam memancar ke seluruh dunia hingga detik ini. Dan akan terus memancar. Betapa dahsyatnya kekuatan jamaah.

Itulah mentalitas jamaah yang terbangun kuat di masjid, kemudian mengejawantah di rumah-tangga mereka masing-masing. Sudah terbentukkah jamaah di masjid-masjid kita? Sudah terwujudkah mentalitas jamaah pada kita yang aktif berjamaah di masjid? Sudahkah individu-individu dalam rumah-tangga kita memiliki mentalitas jamaah?

Inti dari semua kajian Ustadz Adi Hidayat adalah cintai masjid, bangun jamaah haqiqi, transformasikan mentalitas jamaah substansial ke dalam rumah-tangga sendiri! Di era digital seperti sekarang ini, tentu hal itu akan sangat memudahkan kita untuk mewujudkannya. Baik masjidnya, atau jamaahnya, maupun mentalitas jamaah di dalam rumah-tangga masing-masing.

Karena hanya dengan bangunan jamaah haqiqi itulah Islam akan berjaya. Karena hanya dengan mentalitas jamaah itulah Muhammadiyah akan hebat yang bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya saja dan jumlah kuantitasnya saja. Kita tak perlu mengarahkan telunjuk kita kepada pihak lain. Sekarang arahkan saja telunjuk kita kepada diri kita sendiri. Wahai warga Muhammadiyah  yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW, sudahkah…? Sudahkah…?? Sudahkah…???

Wallahu a’lam bishshawwab (*)

Budi Nurastowo Bintriman
Penulis adalah mubaligh akar rumput, pengasuh anak yatim, anak duafa, dan anak telantar (Panti Asuhan Yatim Aisyiyah 03 Banyudono Boyolali)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini