Oleh: Thoat Stiawan
Benarkah politik itu buruk? Islam sangat mementingkan politik. Setidaknya ada dua alasan, yaitu hirashah al diin (menjaga agama) dan siyasah al dunya (mengatur bumi). Munculnya Islam merupakan kebaikan dan menjadi sebuah simbol kedamaian untuk seluruh alam semesta. Karena Islam sangat mengutamakan kedamaian dan keadilan.
Kepemimpinan dalam Islam (khilafah Islamiyah) tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keadilan. Kepemimpinan, dalam kacamata Islam, dipandang sangat penting adanya. Karena, dengan adanya seorang pemimpin, akan ada di antara manusia yang mengatur, memanajemen, atau memerintah seorang manusia yang lain. Dengan adanya pemimpin dari sebagian manusia, manusia akan lebih teratur. Untuk itu ketaatan kepada seorang pemimpin itu sangat penting.
Islam, sebagai agama samawa (yang datang dari Tuhan), tidak melulu selalu mengatur tentang kehidupan akhirat saja, tetapi memunculkan harmoni antara dunia dan akhirat. Pasalnya, Islam juga mengatur mengenai bagaimana memimpin di dunia, bagaimana menghormati pemimpin dan hal lain yang hubungannya lebih ke duniawi yang kemudian dapat dimengerti melalui fiqh muamalah. Serta hal lain yang termasuk di dalamnya juga diatur dalam Islam, yaitu berkenaan tentang politik.
Politik (siyasah) secara bahasa artinya adalah memimpin, mengatur, melatih dan memerintah. Kemudian juga disebut sebagai saasa al-qoum. Saasa al-qoum berarti seseorang itu memerintah, mengatur, melatih dan memerintah seorang kaum.
Imam Abul Wafa Ibnu’Aqil Al-Hambali berkata bahwa politik (siyasah) merupakan semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan. Politik (siyasah), sesungguhnya, mengindikasikan bahwa sebuah politik (siyasah) itu sangat baik tujuannya. Dengan adanya politik, akan ada dan tercipta sebuah kepemimpinan yang ideal, karena pengertian sebuah politik (siyasah) itu adalah memimpin, memerintah atau mengatur.
Ibnu Aqil Al Hanbali mengatakan bahwa politik (siyasah) adalah “maa kaana fi’lan yakunu ma’ahu al naasu aqraba ila al shalaah wa ab’ada an al fasaad, wa in lam yadha’hu al nabiyyi wa laa nazala bihi wahyun”. Politik (siyasah) adalah suatu upaya strategis untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, menjauhkan mereka dari kerusakan. Meski belum pernah diletakkan oleh Nabi dan tidak ada landasan wahyunya.
Kepemimpinan akan berjalan dengan baik jika ada sebuah siyasah. Menurut penulis, berdasarkan pengertian siyasah, dengan adanya siyasah, pemimpin akan
memiliki kekuatan untuk kemudian bisa mengatur, atau memerintah sebuah umat.
Maka penting bagi seorang pemimpin itu harus mengerti tentang syariah agar
kemudian yang dipimpinya benar-benar jauh dari keburukan.
Islam dan Politik
Islam dan politik merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan. Kedua hal ini merupakan senyawa yang harus menyatu, jika memang benar-benar Islam akan ditegakkan. Pembahasan diawal dijelaskan bahwa kepemimpinan itu penting, jadi, politik juga perlu.
Politik (siyasah), sebenarnya, bukanlah hal baru yang muncul baru-baru ini. Melainkan politik (siyasah) merupakan hal yang sudah ada sejak zaman nabi. Pasalnya,
pada waktu itu Rasulullah SAW memimpin, mengatur dan memerintah sebuah umat.
Sedangkan kegiatan memimpin, memerintah atau mengatur manusia itu adalah
politik (siyasah), agar kemudian yang dipimpinnya semakin dekat dengan kebaikan. Dalam sejarah tercatat bahwa Rasulullah, selain sebagai pemimpin agama, negara, juga sebagai ahli dalam berpolitik. Piagam Madinah adalah contoh politik Rasulullah yang amat hebat.
Politik adalah suatu hal baik dan mulia. Jika ada yang berpendapat bahwa politik itu hal yang tidak baik dan salah, sebenarnya yang berpendapat demikian itu secara tidak langsung juga menyalahkan para sahabat. Pasalnya, para sahib pun memutuskan untuk berpolitik, walaupun politik itu tidak tertulis jelas dalam Al-Qur’an. Namun yang jelas, politik (siyasah) merupakan hal yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dilihat dari sejarahnya, tidak pernah ada sejarah Islam yang memisah-misahkan antara urusan kepemimpinan (siyasah), ataupun kenegaraan dengan
Islam. Karena Nabi pun berperilaku politik, karena nabi juga memimpin
sebuah umat. Pemikiran kaum sekulerisme, yang tidak mau menyatukan antara
urusan agam dan politik, itu tidak pernah ada di dalam sejarah Islam. Pasalnya,
Islam dan politik adalah hal yang saling berkaitan.
Dalam Islam kita dianjurkan dan diwajibkan untuk mentaati seorang Ulil Amri di antara kita. Itu menggambarkan bahwa Islam juga menganjurkan adanya sebuah politik (siyasah), asalkan politik (siyasah) yang dijalankan, merupakan politik yang berdasarkan syariat dan tidak bertentangan dengannya. Karena tanpa adanya sebuah siyasah maka kepemimpinan tidak akan pernah terbentuk dengan baik.
Jika ada yang beranggapan bahwa politik Islam dirasa akan menghancurkan sebuah negara Indonesia, itu adalah pemikiran yang salah. Itu adalah anggapan yang tidak ilmiah, tidak ada bukti kebenarannya. Menurut penulis, utuhnya negara Indonesia itu menjadi simbol kekuatan Islam, karena memang mayoritas penduduk yang tinggal adalah beragama Islam. Jika politik Islam dirasa akan menghancurkan negara Indonesia, itu hal yang tidak logis. Karena tidak mungkin umat muslim menhancurkan symbol kekuatann agamanya sendiri.
Ulama Terjun Dunia Politik
Jika kemudian seorang ulama terjun ke dunia politik, itu adalah salah satu kebenaran yang harus saya akui. Jika ada yang bilang jika ulama berpolitik itu salah, berarti belum memahami sejarah Islam dan belum memahami apa pentingnya politik dalam menjaga sebuah keutuhan negara Indonesia dan menjaga tegaknya Khilafah Islamiyah. Memang sudah saatnya, seorang ulama menjadi pemimpin. Sebagaimana Islam terdahulu (masa khalufa’ur Rasydin).
Pada masa awal-awal Islam, para pemimpinnya adalah juga seorang ulama, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Keempat khalifah ini, selain menjadi seorang pemimpin (jika di Indonesia presiden), juga adalah seorang ulama. Sudah saatnya, politik itu dipegang oleh manusia-manusia yang bermoral baik serta faham tentang syariah Islam yang sesungguhnya. Dengan pemimpin yang memahami syariah Islam yang benar, dapat dijamin, negara Indonesia akan lebih bersemangat dalan keberagaman, dan dirasa akan semakin kuat persatuannya. Sebagaimana pada masa dipimpin oleh keempat ulama besar, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Jika pemikiran kaum sekuler berkembang di tengah-tengah masyarakat, yaitu beranggapan bahwa urusan agama untuk agama, dan negara untuk negara, yang tidak mau mencampurkan perkara agama dengan negara, ditakutkan akan semakin banyak kaum radikal yang semakin berkuasa di negara ini. Dan Islam akan semakin tertindas dengan politik yang dibangun kaum radikal. Untuk itu, Islam perlu juga berpolitik, untuk kemudian melawan bentuk politik yang dibangun oleh kaum radikal.
Ulama itu bukan melulu mengurusi masalah rohaniyah umat. Namun dinamakan ulama, juga harus mengurusi segala hal tentang umat, tidak terkecuali masalah politik dan kepimimpinan. Dengan jayanya ulama di dunia politik, Islam akan semakin kuat dan terjaga keutuhannya.
Jika kemudian didapati ada oknum-oknum yang dia itu mengaku sebagai tokoh muslim, lalu dalam berpolitik oknum tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak baik, itu bukan salah dari nilai-nilai politik (siyasah). Melainkan itu kesalahan yang murni berasal dari pribadi orang tersebut. Karena politik itu tujuannya sangat mulia, tidak ada ilmu politik (politik Islam) yang mengajarkan kearah perbuatan negatif.
Namun memang saat ini, keadaan politik itu sangat jauh dari syariat, tidak seperti politik yang terjadi pada zaman Nabi maupun khalufa’ur Rasydin. Kedaan politik saat ini memang berbahaya bagi kaum muslim. Pasalnya, jika seseorang tersebut tidak kuat iman menahan godaan setelah masuk politik, akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik juga.
Untuk itu, menurut penulis, dalam dunia politik, perlu adanya peran serta seorang ulama atau seorang tokoh muslim untuk mengatur dunia politik agar lebih baik. Gunakan politik sebagai alat untuk menjaga keutuhan dan menjaga tegaknya sebuah agama, terutama Islam. Jangan menyalahgunakan politik, gunakan kepemimpinan dan
pemerintahan untuk menjaga dan memperkokoh adanya rasa persaudaraan dan
memperkuat berdirinya agama. (*)
Thoat Stiawan
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya