Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
[Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005]
Sebenarnya dari segi jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat bahwa jumlah umat Islam di negeri ini berada pada angka 88,22%, sebuah presentase yang tinggi sekali. Begitu juga orang lain tidak perlu cemas membaca angka statistik itu, karena dua sayap besar umat Islam, NU dan Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban umat manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun sudah banyak tertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan penafsiran agama atau ideologi.
Dalam sejarah Islam pun, kelompok yang merasa paling sahih dalam keimanannya juga tidak sulit untuk dilacak. Jika sekadar merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Bahaya akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, lalu menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda. Dalam bacaan saya, dalam banyak kasus, al-Qur’an jauh lebih toleran dibandingkan dengan sikap segelintir Muslim yang intoleran terhadap perbedaan. Fenomena semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara yang belum berkembang, tidak saja di dunia Islam. Apa yang biasa dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen yang di era Presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim neo-imperealis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme.
Ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan umat Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika seadar “menghibur”, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah larut dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak selalu berhasil.
Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun peta penderitaan umat di kawasan konflik itu sering sudah tak tertahankan lagi. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang relatif amman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai ke kutub yang paling ekstrem (terorisme), sesungguhnya berada di luar penalaran. Kita ambil misal praktik bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus Bali, Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa dipahami. Indonesia bukan Palestina, bukan Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, tetapi mengapa praktik biadab itu dilakukan disini?
Teori ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya fundamentaslisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih mengggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan: mlekasanakan syari’at Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syari’ah ini, Tuhan akan meridhai Indonesia. Anehnya, semua kelompok fundamentasli ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal: bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca disini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi diharamkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.
Akhirnya, saya menyertai keprihatinan kelompok-kelompok fundamentalis tentang kondisi Indonesia yang jauh dari keadilan, tetapi cara-cara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negiri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu ditengah jalan. Masalah Indonesia, bangsa Muslim terbesar dimuka bumi, tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan. Saya sadar bahwa demokrasi yang sedang dikjalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.
Jogjakarta, 18 Pebruari 2009
[Prolog buku ‘Ilusi Negara Islam’, LibForAll Foundation, 2009]