Oleh: Haidir Fitra Siagian
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

Sebuah masjid yang sederhana berdiri tegak di jalan poros nasional Makassar–Mamuju. Tepatnya di Desa Totolisi Selatan, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, persis di depan Taman Makam Pahlawan Kecamatan Sendana. Sebelum pemekaran pertengahan tahun 2000-an, wilayah ini masih masuk dalam Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid ini berjarak kurang lebih 40 km dari Kota Majene atau 340 km dari Kota Makassar. Namanya Masjid Syuhada 45.
Walaupun usia masjid ini sudah tergolong tua, tetapi tampak masih terawat dengan baik. Terlihat bahwa masjid ini telah mengalami beberapa perbaikan di beberapa sisi. Arah kiblat pun sudah berubah, tidak lagi mengikuti arah bangunan ke depan sebagaimana saat pertama kali didirikan. Kini, karpet hijau tampak diserongkan sekitar 15 derajat. Pencahayaannya cukup bagus dan bersih, demikian pula dengan kamar kecil dan tempat wudhunya.
Saat saya datang tadi jelang salat Zuhur, tampak beberapa orang setengah baya sedang melakukan pembersihan. Di halaman, terlihat sebuah replika masjid yang kemungkinan akan diarak dalam acara takbiran jelang Idulfitri nanti malam. Meskipun tidak ada yang saya kenal di antara jamaah, mereka mendaulat saya sebagai imam. “Orang Makassar ini,” sayup-sayup saya dengar bisikan seseorang. Ini adalah kali kedua saya melaksanakan salat di sini dalam dua bulan terakhir.
Setelah bersalaman dan bersilaturahmi sejenak dengan jamaah, saya bersiap kembali ke rumah. Di dekat pintu, terpasang prasasti peresmian masjid yang bertuliskan:


“Atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa pada hari ini Senin tanggal 24 April 1995, saya resmikan Masjid Syuhada 45 wakaf ‘H. Andi Sose’ di Desa Cendana Dati II Majene. Gubernur Kepala Daerah Tk. I Provinsi Sulawesi Selatan, H.Z.B. Palaguna.”
Prasasti ini menjadi bukti sejarah bahwa H. Andi Sose menepati janjinya untuk membangun masjid pada era 1990-an. Saya tidak tahu pasti apakah Pak Palaguna datang langsung ke desa ini untuk meresmikan masjid atau diresmikan sekaligus di satu tempat. Sebab, di Kota Majene sendiri—persis di samping rumah keluarga kami—juga terdapat Masjid Syuhada 45. Demikian pula di berbagai wilayah lainnya di Sulawesi Selatan, termasuk di tempat saya KKN dulu di Mandalle, Pangkep.
Kita ketahui bahwa dalam Islam, mendirikan masjid merupakan amal jariah yang memiliki keutamaan besar. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa mendirikan masjid bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi juga investasi akhirat. Tak heran jika banyak pribadi Muslim yang ingin mendirikan masjid secara mandiri.
Keberadaan masjid sebagai rumah ibadah memiliki dampak besar bagi masyarakat. Masjid tidak sekadar menjadi tempat salat, tetapi juga pusat pembelajaran agama, tempat kajian ilmu, dan pengembangan keislaman. Di dalam masjid, umat Islam berkumpul untuk bersilaturahmi dan memperkuat ukhuwah. Bahkan, pada masa Rasulullah, masjid juga berfungsi sebagai pusat komunikasi politik. Pembangunan masjid termasuk dalam sedekah jariah, di mana pahalanya terus mengalir seperti aliran sungai yang tiada henti, bahkan setelah wafat.
Masjid juga memperkuat syiar Islam di tengah masyarakat dan menjadi pengingat bagi umat untuk senantiasa beribadah. Dengan demikian, langkah yang dilakukan oleh H. Andi Sose dalam membangun masjid merupakan kontribusi besar dalam memperjuangkan keberlangsungan ibadah umat Islam. Ini menjadi warisan amal yang terus mengalir pahalanya di dunia dan akhirat.
Saya memang tidak pernah berinteraksi langsung dengan Bapak H. Andi Sose. Hanya sekali saya melihat wajahnya secara langsung ketika beliau menjadi pembicara dalam seminar kebangsaan yang dilaksanakan oleh teman-teman Pemuda Panca Marga di Hotel Marannu, sekitar tahun 1990-an. Saat itu, saya hadir mewakili Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah Sulawesi Selatan.
Selain itu, saya mengetahui nama Bapak H. Andi Sose dari pemberitaan koran yang terbit di Kotamadya Ujungpandang, yakni Harian Pedoman Rakyat dan Harian Fajar. Di antara tokoh masyarakat Sulawesi Selatan yang populer saat itu, selain H. Andi Sose, ada juga Andi Oddang, Opu Siddik, dan lain-lain.
Brigjen TNI (Purn.) H. Andi Sose, nama lengkapnya, lahir di Kabupaten Enrekang tahun 1930 dan meninggal dunia enam tahun lalu dalam usia 89 tahun. Paling tidak, ada dua hal yang mengingatkan saya kepada beliau, yang sempat dibicarakan pada pertengahan tahun 1990-an.
Pertama, pada tahun 1992, namanya sempat disebut-sebut layak menjadi Gubernur Sulawesi Selatan menggantikan Prof. Ahmad Amiruddin. Namun, beliau tidak bersedia dan justru mendukung pencalonan Mayjen H.Z.B. Palaguna. Salah satu alasannya yang dimuat di media adalah:
“Kalau saya jadi gubernur, bisa jadi seluruh kantor bupati sekaligus juga sebagai kantor Marannu,” katanya, merujuk nama perusahaan yang beliau pimpin saat itu.
Kedua, melalui media pula, tokoh pejuang kemerdekaan ini pernah menyatakan niatnya untuk membangun 100 masjid di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Tentu saja, program ini disambut hangat oleh masyarakat dan para tokoh. Dalam perkembangannya, jumlah masjid yang telah dibangun tampaknya bertambah. Ada yang menyebut jumlahnya mencapai 105 buah, bahkan ada yang mengatakan sudah mencapai 150 buah.
Hari ini, saya kembali dapat menikmati buah tangan dari Bapak alm. H. Andi Sose. Alhamdulillah. Kita berdoa semoga seluruh masjid yang telah dibangun tetap terpelihara dan makmur sehingga terus bermanfaat bagi jamaah. Lebih dari itu, kita pun sudah sepatutnya mendoakan agar bangunan-bangunan tersebut menjadi amal jariah yang memperberat timbangan kebaikan beliau di akhirat kelak. Insya Allah.
Somba, Majene, 30 Maret 2025