7 April 2025
Surabaya, Indonesia
Opini

Media Massa: Agen Perubahan Sosial dan Erosi Budaya Lokal di Era Digital

Haidir Fitra Siagian. (dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Haidir Fitra Siagian
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

Subuh tadi, pada sebuah masjid di kawasan elit Kabupaten Maros, saya menyaksikan peristiwa kecil namun cukup bermakna. Ada dua anak muda tergesa-gesa ingin keluar; satu melintas tepat di depan saya yang sedang duduk, sementara satunya memilih memutar lewat belakang. Saya tahu bahwa anak muda kedua ini tidak mau berjalan di depan saya. Perbedaan sikap keduanya boleh jadi mencerminkan kontras dalam kesadaran etika dan adab—sesuatu yang selama ini dijunjung tinggi dalam Islam, budaya timur, dan kehidupan bermasyarakat.

Sayangnya, hari ini nilai-nilai luhur tersebut kian tergerus, salah satunya oleh arus media massa dan digital yang begitu deras bahkan tak terkendali. Tayangan hiburan yang menomorsatukan kecepatan dan sensasi sering kali mengaburkan pentingnya tata krama, sopan santun, serta penghargaan terhadap ruang sakral dan sosial. Budaya instan dan individualisme yang diputar-putar oleh media telah memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap etika.

Peristiwa kecil di masjid tadi seolah menjadi cermin zaman: masih ada yang menjaga nilai, tapi tak sedikit yang kehilangan arah—tak tahu makna etika. Tidak menganggap etika sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa penguatan karakter dan ideologi bangsa harus dimulai dari hal-hal sederhana, termasuk adab di rumah ibadah.

Kisah ini mengingatkan saya pada beberapa teori komunikasi yang pada semester ini saya ampu untuk dua kelas mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Di antaranya adalah teori Kultivasi (Cultivation Theory) dari George Gerbner.

Teori ini menjelaskan bahwa paparan media, terutama televisi dan media digital dalam jangka panjang, dapat membentuk persepsi khalayak tentang realitas sosial. Manakala seseorang terus-menerus mengonsumsi tayangan yang minim atau abai terhadap nilai adab, etika, atau penuh dengan perilaku instan dan individualistik, ia bisa menganggapnya sebagai hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari.

Media massa memiliki peran strategis dalam membentuk cara berpikir dan bertindak masyarakat. Sebagai saluran utama informasi, hiburan, dan budaya populer, media tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk nilai dan norma sosial melalui simbol, narasi, dan representasinya.

Melalui berbagai platform—seperti televisi, radio, surat kabar, hingga media digital—media memiliki kontribusi dalam mengonstruksi realitas sosial. Narasi-narasi yang dibangun media sering kali dianggap mencerminkan kenyataan, padahal sesungguhnya merupakan hasil seleksi dan pembingkaian. Figur publik, bahasa, serta gaya hidup yang ditampilkan menjadi acuan utama dalam memahami dunia sosial. Dalam bahasanya Prof. Anwar Arifin, dosen saya ketika masih kuliah di Universitas Hasanuddin tahun 1990-an, nilai-nilai tertentu yang diulang terus-menerus akan tertanam dalam kesadaran kolektif dan memengaruhi perilaku masyarakat.

Media juga memainkan peranan ideologis. Pesan yang disampaikan tentunya membawa kepentingan, nilai, dan sudut pandang tertentu. Hal ini membuat media dapat memperkuat status quo atau justru menjadi sarana perubahan sosial. Oleh karena itu, kesadaran kritis terhadap isi media menjadi sangat penting agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak menjadi konsumen pasif tetapi mampu bersikap reflektif dan selektif.

Dalam konteks Indonesia saat ini, media turut berperan dalam pergeseran nilai-nilai budaya, terutama di kalangan generasi muda. Hidup di era digital membuat mereka sangat terpapar oleh konten global—dari musik, film, hingga media sosial. Gaya hidup modern yang ditampilkan media sering kali menekankan pada individualisme, konsumtivisme, dan kebebasan ekspresi bebas nilai. Sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang seharusnya dipelihara dan diwariskan: kesopanan, gotong royong, serta penghormatan terhadap otoritas adat dan keluarga.

Media sosial sebagai bentuk baru media massa memungkinkan generasi muda menjadi produsen sekaligus konsumen konten. Ini membuka ruang kreativitas, namun juga menimbulkan risiko munculnya konten yang tidak etis. Fenomena kejar viral tanpa mempertimbangkan nilai moral menunjukkan adanya degradasi nilai dalam ruang publik.

Contoh konkret dari menurunnya sensitivitas terhadap etika sosial dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari: anak muda yang tidak lagi menghormati orang tua, mahasiswa yang mengganggu ketenangan lingkungan, atau kebiasaan membuang sampah sembarangan. Fenomena ini menunjukkan lemahnya internalisasi nilai dan kontrol sosial dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah dominasi pesan-pesan media yang lebih mengedepankan kebebasan individu dan kepuasan pribadi dibanding tanggung jawab sosial.

Dalam teori hegemoni Antonio Gramsci, media menjadi sarana dominasi budaya yang halus, di mana nilai-nilai kelompok dominan ditanamkan sehingga diterima masyarakat sebagai kebenaran umum. Jika tidak diimbangi dengan literasi media, generasi muda akan semakin jauh dari akar budaya dan norma sosial yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat. Media, alih-alih menjadi alat edukatif, justru dapat menjadi agen pengikis nilai-nilai luhur.

Ramadan yang baru saja kita lalui sejatinya menjadi momen pembentukan kepekaan nurani, akhlak, dan pengendalian diri. Nilai-nilai yang diasah selama bulan suci—seperti menjaga lisan, pandangan, dan perilaku—bisa menjadi benteng menghadapi pengaruh negatif media. Islam tidak menolak media sebagai sarana, tetapi mengingatkan bahaya konten yang merusak moral. Dalam konteks ini, pasca-Ramadan, seorang Muslim seharusnya memiliki ketajaman dalam memilah informasi dan menjaga diri dari konsumsi media yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dan etika sosial.

Media massa memiliki potensi besar sebagai kekuatan edukatif jika dikelola secara bijak. Literasi media menjadi bagian penting dari ketakwaan dan tanggung jawab sosial, terutama di tengah arus globalisasi yang membawa beragam ideologi dan budaya. Dalam konteks ini, kita tidak boleh mengabaikan peran keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan, terutama dalam membekali generasi muda dengan kesadaran kritis agar mampu menjadikan media sebagai sahabat dalam membentuk karakter—bukan ancaman yang menggerus identitas moral dan budaya lokal. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *