Memaknai Ulang Pendidikan Indonesia

0
48
Ace Somantri adalah Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Bandung dan dosen UM Bandung. (Ilustrasi Tim Redaksi KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Pendidikan dipahami hanya sebagai salah satu instrumen dalam kehidupan manusia di dunia. Betul adanya, manusia hakikatnya terdidik sejak dalam alam rahim atau dalam kandungan. Pertumbuhan jasmani manusia menjadi bagian dari konstruksi jasad yang dibarengi dengan perkembangan konstruksi mental-psikologisnya.

Para ahli psikologi menengarai sifat dan karakter manusia sudah terbentuk sejak awal pertemuan sel sperma dan ovum manusia. Proses awal pertemuan tersebut, kualitasnya akan dipengaruhi oleh tingkat kualitas sel sperma dan ovum yang dimiliki masing-masing pihak. Kualitas tidak berhenti dalam satu waktu dan peristiwa, tapi akan terus hidup dan dinamis selama manusia hidup. Selama itu manusia wajib mengoreksi, mengevaluasi, dan memperbaiki nilai kualitas diri tanpa henti.

Tidak ada satu pun ajaran agama mana pun, apalagi Islam, yang memberikan pembenaran mutlak bahwa kualitas seseorang hanya sesaat berhenti seketika dengan batas yang ditentukan. Siapa pun manusia di muka bumi, sejak terbentuk menjadi sosok manusia dari perpaduan cairan membentuk jasad darah, daging, dan tulang belulang menyatu menjadi susunan tubuh yang baik (ahsani taqwiim). Terus-menerus memperbaiki adalah ajaran sunnatullah, hal itu tecermin dalam aktivitas ibadah ritual yang dikerjakan setiap saat sehari semalam.

Pengakuan diri bersalah, meminta ampun atas dosa, serta memohon pertolongan untuk kebutuhan diri sendiri dan orang lain terucap dalam rangkaian prosesi ibadah kepada Allah SWT. Teks yang dibaca dalam ritual sebenarnya banyak kalimat sebagai pengakuan bersalah di hadapan Yang Maha Kuasa, itu bagian kesadaran diri pada level tingkat tinggi.

Manusia sangat jarang mengakui kesalahan dengan tulus dan terbuka, kecuali dalam ungkapan kata-kata seolah menerima atas kesalahanya, padahal hanya mengelabui semata. Kadang nyatanya tidak memperbaiki atau mengubah kesalahannya dan malahan terus mengulang kesalahan yang sama.

Pendidikan sejatinya harus mengubah cara berpikir dan perubahan sikap lebih dewasa dan beradab. Pendidikan bukan mengejar status titel dan gelar. Ratusan profesor, ribuan doktoral, puluhan ribu magister, ratusan ribu sarjana hanya berhenti dalam selembar ijazah dan kertas-kertas portofolio, seharusnya mampu mengubah keadaan lingkungan masyarakat sekitar.

Diakui atau tidak substansinya, hari ini ada kemunduran cara berpikir masyarakat yang berakibat pada added value yang tidak membangun rasa, karsa, dan cipta yang beradab.

Islam membawa peradaban, pendidikan poin pertama dan utama sebagai pengawal instrumen kemajuan sebuah bangsa dan negara di belahan dunia. Wahyu pertama spirit dan motivasi bagi manusia sebagai platform atau ideologi dunia pendidikan Indonesia dan dunia, segala produk gagasan dan ide dalam ilmu pengetahuan teknologi tidak untuk saling menghabisi satu dengan yang lainnya.

Indikator saling memberi manfaat dan nilai guna yang tidak saling memamakan antar sesama dan menghancurkan kehidupan mahluk hidup lainnya. Hal itu sebenarnya sebuah peradaban. Nilai-nilai produktivitas berpikir terus bergulir hingga menjadi butir-butir kekuatan untuk mampu mengukir sejarah peradaban yang banyak terkilir, bahkan terjungkir akibat perilaku kikir dalam berkarya.

Secara kasatmata, menatap sebuah karya seolah nyata bahwa peradaban maju pesat, perkembangan produk sains dan teknologi tidak bisa dibendung meluber hingga membanjiri seantero dunia. Saking dianggap berkembang dan maju, semua bidang aspek kehidupan manusia bisa direkayasa tanpa kendala.

Itulah hebatnya instrumen pendidikan mampu mengubah seseorang untuk memiliki kemampuan membuat cara pandang menjadi karya nyata. Hanya muncul pertanyaan selama ini apakah tranformasi keilmuan dari pendidikan yang diterima benar-benar mengubah sikap perilaku dewasa dengan buah karya memberi nilai guna sehingga mampu mendorong masyarakat lebih adil dan beradab?

Fakta dan realitasnya saat ini terlihat kehidupan alam semesta kian hari semakin rusak dan hancur. Sebagian hewan melata habitatnya sudah tiada. Itu semua bukan jin yang membuat kerusakan, melainkan manusia yang berilmu namun tidak berdasarkan pada ke-Esa-an kepada Yang Maha Kuasa. Mereka lebih cenderung kepada pemenuhan hasrat nafsu keburukan semata. Wallahu’alam. (*)

Bandung, Agustus 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini