Membingkai Ketenteraman Hidup

0
2
Membingkai Ketenteraman Hidup. (Ilustrasi istockphoto)

Oleh: Fathan Faris Saputro, anggota MPI PCM Solokuro Lamongan

Di suatu pagi yang tenang, angin lembut bertiup di antara pepohonan, membawa aroma segar embun. Dini, seorang perempuan muda, duduk di beranda rumahnya sambil menikmati secangkir teh hangat.

Suara burung berkicau mengiringi suasana damai yang seolah membungkus dunia di sekitarnya. Di saat seperti ini, ia merasa hidupnya begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota yang penuh kebisingan.

Dini bukanlah seseorang yang selalu merasakan ketenteraman ini. Beberapa tahun lalu, hidupnya penuh dengan kekhawatiran akan masa depan, karier, dan ekspektasi orang lain.

Setiap hari, ia terjebak dalam rutinitas yang membuatnya lupa pada dirinya sendiri. Namun, suatu peristiwa sederhana mengubah sudut pandangnya terhadap hidup.

Saat itu, ia bertemu dengan seorang wanita tua di sebuah desa terpencil. Wanita tersebut menjalani hidup dengan sangat sederhana, tanpa ambisi besar atau keinginan mewah.

Meski begitu, wajahnya selalu dihiasi senyum tulus yang memancarkan ketenangan batin. Dari percakapan singkat itu, Dini mulai memahami makna ketenteraman yang sesungguhnya.

Ketenteraman bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dari dalam diri. Ini adalah proses menerima hidup apa adanya, dengan segala suka dan dukanya.

Dini menyadari bahwa mengejar kesempurnaan hanya akan membawa kegelisahan. Justru dengan menerima ketidaksempurnaan, ia menemukan kedamaian yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Ia mulai belajar untuk hidup lebih sederhana, menghargai momen kecil seperti secangkir teh di pagi hari. Setiap langkah kecil yang ia ambil menuju kehidupan yang lebih tenang, semakin mendekatkannya pada ketenteraman yang diidam-idamkan. Meski tantangan hidup tetap ada, ia kini mampu menghadapi semuanya dengan hati yang lebih lapang.

Dalam prosesnya, Dini menemukan bahwa ketenteraman bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan seumur hidup. Ketika hati dan pikiran selaras, segala sesuatu di sekitarnya terasa lebih ringan.

Ia pun sadar, ketenangan sejati datang ketika kita bisa membingkai hidup dengan rasa syukur dan cinta. Di dalam bingkai inilah, hidup yang penuh ketenteraman akan selalu ada.

Dini semakin memahami bahwa ketenteraman tidak selalu berarti hidup tanpa masalah. Ada hari-hari di mana badai kehidupan tetap datang, menghantamnya dengan kekhawatiran dan ketidakpastian.

Namun, perbedaannya sekarang adalah ia tidak lagi melawan arus kehidupan itu dengan panik. Ia memilih untuk menerima segala tantangan yang datang dengan ketenangan, seperti pohon yang tetap tegak meski diterpa angin kencang.

Suatu sore, ketika hujan turun deras di luar, Dini merenung sambil duduk di dekat jendela. Ia mengingat kembali momen-momen di mana dirinya dulu terlalu sibuk mengejar ambisi tanpa henti.

Saat itu, ia merasa kehilangan banyak hal sederhana yang sebenarnya memberikan kebahagiaan sejati. Kini, dengan perubahan cara pandang, ia menemukan makna dalam setiap detik kehidupan, dalam keheningan dan dalam keramaian.

Seiring berjalannya waktu, Dini menyadari bahwa ketenteraman hidup juga terkait dengan hubungan yang ia bangun dengan orang lain. Ia mulai membuka hatinya lebih luas untuk mendengarkan, berbagi, dan mencintai dengan tulus.

Dalam setiap interaksi, ia mencoba memberikan ketenangan dan kehangatan, sesuatu yang dulu ia cari tetapi kini ia miliki dan bagikan. Ini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi tentang menciptakan lingkungan yang juga damai bagi orang-orang di sekitarnya.

Pada akhirnya, Dini merasa bahwa hidup yang ia jalani sekarang jauh lebih berarti. Ia tidak lagi terperangkap dalam ambisi besar yang penuh tekanan. Sebaliknya, ia fokus pada keseimbangan, pada membingkai setiap momen dengan rasa syukur.

Bagi Dini, ketenteraman hidup bukanlah sesuatu yang spektakuler, melainkan keindahan dalam hal-hal kecil, dalam momen-momen yang seringkali luput dari perhatian. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini