12 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Mengapa Muhammadiyah Menggunakan Hisab, Bukan Rukyat?

Prof Dr H. Syamsul Anwar MA, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2000-2022, Ketua PP Muhammadiyah 2022-2027. (Dok PP Muhammadiyah)

Oleh: Prof Dr H. Syamsul Anwar MA

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2000-2022 Ketua PP Muhammadiyah 2022-2027

A.   Pendahuluan

Secara tradisional umat Islam menggunakan rukyat untuk menentukan masuknya bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Hal itu meneruskan tradisi Nabi saw bersama para Sahabatnya di Madinah pada zaman mereka. Akan tetapi setelah ilmu astronomi berkembang dalam Islam, untuk kepraktisan sebagian umat Islam mulai menggunakan perhitungan astronomi (hisab) untuk menentukan bulan kamariah dan tidak lagi menggunakan rukyat. Ulama Islam pertama yang membolehkan penggunaan hisab astronomi untuk penetapan awal bulan kamariah adalah Mu¯arrif Ibn ‘Abdill±h Ibn as-Syikhkh³r (w. 95/714), seorang ulama Tabiin Besar, kemudian Imam asy-Sy±fi‘³ (w. 204/820), dan Ibn Suraij (w. 306/918), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H.

Pada mulanya hisab hanya digunakan untuk menentukan awal bulan apabila keadaan langit berawan sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Rusyd Sang Cucu (w. 595/1199). Ia mengatakan,

Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf bahwa apabila bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan matahari. Ini adalah mazhab Mu¯arrif Ibn asy-Syikhkh³r, seorang ulama Tabiin Besar. Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam asy-Sy±fi‘³ bahwa beliau mengatakan, “Barang siapa mazhabnya adalah memegangi hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya itu sah.”1

Akan tetapi penggunaan hisab kemudian berkembang, tidak hanya untuk menentukan bulan ketika langit mendung, tetapi juga dalam segala keadaan, tanpa dikaitkan kepada keadaan cuaca. Sejalan dengan perkembangan astronomi itu sendiri, terutama di zaman modern sekarang, kini mazhab hisab semakin luas dianut. Puncak dari perkembangan pandangan penganut hisab terlihat dalam argumen seorang ulama Yordania, Prof. Dr. Syaraf al-Qu«±h, yang menyatakan,

1 Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nih±yat al-Muqta¡id (Beirut: D±r al-Fikr, t.t.), I:

207, awal “Kit±b a¡-¢iy±m.”

˚الأ ˚ص ˚ل ِ ˚ف إِث˚باأ ِت ال  ش ˚هِر أأ ˚ن يأ ˚ك˚و أن بِ ˚لِ أسا ِب

Artinya: Pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab.2

Sejak mula pertama diperkenalkan, penggunan hisab untuk penetapan bulan kamariah menjadi perdebatan dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan, antara lain: Apakah penggunaan hisab untuk menetapkan Ramadan, Syawal atau Zulhijah adalah sah? Apakah penggunaan hisab itu tidak merupakan suatu bidáh?

B.   Dasar-dasar Syar’i Penggunaan Hisab

Dalam lingkungan Muhammadiyah penggunaan hisab untuk penetapan awal bulan kamariah itu adalah sah secara syar’i. Dalilnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 5:

ال  ش ˚م  ˚س أوال˚أق أم˚ر ِِب˚ ˚سبأا ٍن (الرمحن)5:

Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS. ar- Rahman, 55:5)

  • Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5

˚هأو ال  ِذي  أجأع أل ال  ش ˚م  أس  ِضيأاءً أوال˚أق أمأر ن˚وًرا أوقأ دأره˚ أمأنا ِزأل لِتأ. ˚علأ ˚موا  أع أد أد ال ِ¹سنِ أني أوا ˚لِ أسا أب

(يونس)5:

Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 185).

  • Hadis al-Bukh±r³ dan Muslim,

أعلأ˚…ي ˚ك ˚م eأاق…˚ ˚د˚ر˚وا لأ… ˚ [رواه البخ…اري ›

أرأأي.˚ت˚ ˚م˚…وه˚ eأ…أأ˚e ِط˚ر˚وا eأ…ِإ ˚ن غ…˚  م

إِأذا أرأأي.˚ت˚ ˚م˚…وه˚ e ˚ص˚…و˚م˚وا أوإِأذا

واللفظ ل  › ومسلم] .

Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukh±r³, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].

  • Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,

أوأم.. ررً

أوِع ˚ش..ِري أن

أم.. ررً نِ ˚س..أع ً

أوأه أك.. أذا ي.أ ˚ع..ِة

أه أك.. أذا

˚َن ال  ش.. ˚ه˚ر

إِ َّن أ˚ م.. أ أ˚ِ¹مي .. أ ك نأ ˚كت..˚ ˚َن وك أ˚ُ ˚س..

ثأالثِ أني [رواه البخاري ومسلم.]

Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian- demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukh±r³ dan Muslim].

Cara memahaminya (wajhul-isitdlal-nya) adalah bahwa pada surat ar- Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda- benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu, khususnya matahari dan bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Sang Pencipta, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh 5 surat Yunus (… agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).

Pada zamannya, Nabi saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada angka 3 di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam hadis pada angka 4 di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.3 Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang

dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal bulan secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.

Sesuai dengan kaidah fikih (al-qaw±‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi,

الكم يدور مع علت  وسبب  وجودا وعدما

Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan sebabnya [I‘l±m al-Muwaqqi‘³n, IV: 105],

maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.

Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat

manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas pokok yang diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah,

˚هأو  ال  ِذي  ب.أ أع أث  ِف  ˚ال˚ِ¹ميِ¹ أني  أر ˚سوكً  ِم˚ن. ˚ه ˚م  ي.أ˚ت˚.لو  أعلأ˚يِه ˚م  ءأاأَينِِ   أوي˚.أز¹كِي ِه ˚م  أوي˚.أعلِ¹ ˚م ˚ه ˚م  ال˚ ِكتأا أب

أوا ˚لِ ˚ك أم أ أوإِ ˚ن أكان˚وا ِم ˚ن قأ˚.ب ˚ل لأِفي  أضالأٍل ˚مبِ ٍني [اجلمع  )62( : .]2

Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat- ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q. al-Jumu‘ah (62): 2].

Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan seperti tercermin dalam sabdanya,

طلَن العلم eريض  على كل مسلم [رواه الطرباين عن عبد هللا بن مسعود › ووكيع عن أنس]

Artinya: Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim [HR a¯-°abar±n³ dari

‘Abdull±h

Ibn Mas‘•d, dan riwayat Wak³‘ dari Anas].

Dalam kerangka misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab,

˚الأ ˚ص ˚ل ِ ˚ف إِث˚باأ ِت ال  ش ˚هِر أأ ˚ن يأ ˚ك˚و أن بِ ˚لِ أسا ِب

Artinya: Pada asasnya penetapan bulan qamariah itu adalah dengan hisab.4

C.   Hisab yang Digunakan dalam Muhammadiyah

Hisab yang digunakan di lingkungan Muhammadiyah adalah hisab hakiki wujudul hilal. Dalam hisab hakiki wujudul hilal, bulan baru kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:

  1. telah terjadi ijtimak (konjungsi),
  2. ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
  3. pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (Bulan baru telah wujud).

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Kriteria ini difahami dari isyarat dalam firman Allah swt pada surat Ya Sin ayat 39 dan 40 yang berbunyi,

أوكأ

ألأا أأ ˚ن ن˚˚د ِرأك ال˚أق أم.أر

˚س ي.أ˚ن.بأغِي

أكال˚ع˚˚ر ˚جوِن ال˚أق ِد ِي )39( كأ ال  ش ˚م

أمنأا ِزأل  أح َّت  أعا أد

أوال˚أق أمأر قأ د˚رأَّنه˚

ٍك يأ ˚سبأ ˚حو أن )40(

أو˚كل  ِف eأ.لأ

الل ˚ي ˚ل  أسابِ ˚ق الن . أها ِر

Artinya: Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing- masing beredar pada garis edarnya [Q. 36: 39-40]

Penyimpulan tiga kriteria di atas dilakukan secara komprehensif dan interkonektif, artinya difahami tidak semata dari ayat 39 dan 40 surat Ya Sin an sich, melainkan dihubungkan dengan ayat, hadis dan konsep fikih lainnya dan dibantu ilmu astronomi. Dalam surat ar-Rahman dan surat Yunus dijelaskan bahwa Bulan dan matahari dapat dihitung geraknya dan perhitungan itu berguna untuk menentukan bilangan tahun dan perhitungan waktu. Di antara perhitungan waktu itu adalah perhitungan bulan. Pertanyaannya adalah kapan bulan baru dimulai? Apa kriterianya? Ayat 39 dan 40 surat Ya Sin ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk menentukan kriteria bulan baru tersebut.

Dalam kedua ayat ini terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Peristiwa ijtimak diisyaratkan dalam ayat 39 Ya Sin dan awal ayat 40. Pada ayat itu ditegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan posisi-posisi tertentu bagi Bulan dalam perjalanannya. Dari astronomi dapat difahami bahwa posisi-posisi itu adalah posisi Bulan dalam perjalanannya mengelilingi bumi. Pada posisi akhir saat Bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari Bulan tua yang terlihat di pagi hari sebelum menghilang dari penglihatan. Kemudian dalam perjalanan itu Bulan menghilang dari penglihatan dan dari astronomi diketahui bahwa pada saat itu Bulan melintas antara matahari dan bumi. Saat melintas antara bumi dan matahari itu ketika ia berada pada titik terdekat dengan garis lurus antara pusat titik matahari dan titik pusat bumi saat apa yang disebut ijtimak (konjungsi). Perlu diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi rata-rata selama 29 hari 6 jam 44 menit 2,8 detik (atau 29, 5 hari). Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi [Sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari]. Dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menendai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Oleh karena itu kita dapat memanfaatkannya sebagai kriteria mulainya bulan baru. Namun ijtimak saja tidak cukup untuk menjadi kriteria bulan baru karena ijtimak bisa terjadi pada sembarang waktu atau kapan saja pada hari ke-29: bisa pagi, bisa siang, sore malam, dini hari subuh dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain di samping kriteria ijtimak. Untuk itu kita mendapat isyarat penting dalam ayat 40 surat Ya Sin.

Pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang. Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat terbenamnya matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenamnya matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur fukaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari berikutnya. Artinya hari menurut konsep fikih, sebagaimana dianut oleh jumhur fukaha, adalah jangka waktu sejak terbenamnya matahari hingga terbenamnya matahari berikut. Jadi gurub (terbenamnya matahari) menandai berakhirnya hari sebelumnya dan mulainya hari berikutnya. Apabila itu adalah pada hari terakhir dari suatu bulan, maka terbenamnya matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama dan mulainya bulan baru. Oleh karenanya adalah logis bahwa kriteria kedua bulan baru, di samping ijtimak, adalah bahwa ijtimak itu terjadi sebelum terbenamnya matahari, yakni sebelum berakhirnya hari bersangkutan. Apabila bulan baru dimulai dengan ijtimak sesudah terbenamnya matahari, itu berarti memulai bulan baru sebelum Bulan di lanit menyempurnakan perjalanan kelilingnya, artinya sebelum bulan lama cukup usianya.

Berbicara tentang terbenamnya matahari, yang menandai berakhirnya hari lama dan mulainya hari baru, tidak dapat lepas dari ufuk karena terbenamnya matahari itu adalah karena ia telah berada di bawah ufuk. Oleh karena itu dalam ayat 40 Ya Sin itu sesungguhnya tersirat isyarat tentang arti penting ufuk karena kaitannya dengan pergantian siang dan malam dan pergantian hari. Difahami juga bahwa ufuk tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari ke hari berikutnya, tetapi juga terkait dengan pergantian suatu bulan ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir dari suatu bulan. Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahlui matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari). Dengan kata lain ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru. Sebagai contoh tinggi Bulan pada sore hari ijtimak Senin tanggal 29 September 2008 saat matahari terbenam adalah –00 51’ 57”, artinya Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, dan oleh sebab itu bulan berjalan digenapkan

30 hari sehingga 1 Syawal jatuh hari Rabu 1 Oktober 2008. Pada sore Selasa (hari ke-30) Bulan sudah berada di atas ufuk (tinggi titik pusat Bulan 09º 10’ 25”).

D.   Pendapat Para Ulama

Mu¥ammad Rasy³d Ri«± (1865-1935), pembaharu Islam terkenal dan murid Mu¥ammad Abduh, adalah pendukung kuat yang menyerukan penggunaan hisab. Menurutnya hisab lebih memberikan kepastian. “Tujuan Pembuat Syariah … … … bukan untuk menjadikan rukyat hilal itu sendiri sebagai ibadah. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, ‘illatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.” Lebih lanjut beliau mempertanyakan: Pilihan kita adalah apakah akan menggunakan rukyat yang sifatnya zanni untuk menentukan waktu semua ibadah baik salat maupun puasa atau kita menggunakan hisab yang lebih memberikan kepastian dan lebih dekat kepada tujuan syariah? Sikap membedakan antara salat di mana boleh digunakan hisab dan puasa di mana tidak boleh digunakan hisab adalah sikap yang tidak memiliki landasan syar’i.5

Az-Zarq± (w. 1420/1999), seorang ulama terkemuka abad ke-20, menjelaskan bahwa sebab para fukaha terdahulu menentang penggunaan hisab adalah karena (1) hisab pada zaman itu masih spekulatif, dan (2) karena hisab masih tercampur dan berbau penujuman (astrologi). Adapun pada zaman sekarang hisab telah mencapai perkembangan spektakuler dan memiliki akurasi yang tinggi serta telah terbebas dari cemaran penujuman.6

Y•suf al-Qara«±w³ menyatakan, “Apabila terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru, … … … yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, …

… … maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya.”7 Inilah adalah seruan kuat untuk menggunakan hisab. Al-Qara«±w³ juga mengutip Syeikh A¥mad Sy±kir yang menegaskan, “Kita wajib menggunakan hisab dalam segala keadaan, kecuali di tempat yang di situ tidak ada orang yang mengetahui ilmu hisab.”8

Perlu juga disebutkan keputusan “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” yang diselenggarakan oleh ISESCO (Islamic Educational, Cultural and scientific Organization), sebuah badan OKI, di Maroko 15-16 Oktober 2008 yang berbunyi,

Kedua: Masalah Penggunaan Hisab

Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.

E.  Mengapa Tidak Menggunakan Rukyat

Di zaman Nabi saw kehidupan masyarakat masih bersahaja sehingga organisasi waktu tidak memerlukan suatu sistem yang rumit. Hal itu berbeda dengan zaman modern seperti sekarang yang menuntut adanya suatu sistem pengorganisasian waktu yang bisa membuat prediksi waktu jauh ke depan. Selain itu umat Islam pada zaman sekarang telah tersebar di seluruh penjuru dunia yang memerlukan pengaturan waktu yang cermat agar mereka dapat melaksanakan ibadahnya secara tepat seperti pelaksanaan puasa Arafah, di samping penjadwalan berbagai kegiatan duniawi mereka. Untuk itu diperlukan suatu sistem penjadwalan waktu Islam yang terpadu di seluruh penjuru dunia.

Rukyat tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, sehingga karena itu tidak bisa menjadi dasar pengorganisasian waktu Islam. Secara ringkas dapat disebutkan mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan:

  1. Rukyat tidak bisa meramalkan waktu jauh ke depan, karena dengan rukyat tanggal baru bisa diketahui pada H-1, sehingga karena itu tidak dapat menjadi dasar pembuatan kalender Islam.
  2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal, karena rukyat membelah muka bumi menjadi bagian yang dapat melihat hilal dan bagian yang tidak dapat melihat hilal dengan akibat terjadi perbedaan memasuki bulan baru, bahkan rukyat membelah satu negeri. Di samping itu kawasan bumi dengan lintang tinggi (60º ke atas) tidak dapat mengalami munculnya hilal pada hari yang sama dengan daerah normal (60º ke bawah). Daerah tersebut akan mengalami kemunculan hilal lebih lambat dari kawasan normal. Bahkan di Lingkaran Artik hilal pada musim dingin (saat matahari selama beberapa bulan tidak muncul ke atas ufik) hilal tidak pernah terlihat. Yang dapat dilihat hanyalah Bulan purnama dan Bulan cembung.
  3. Jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal 9 atau 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti terjadinya rukyat di New York (selisih waktu 12 jam) karena ketika di New York rukyat terjadi sekitar pukul 06:00 sore misalnya, di Indonesia sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia.
  4. Rukyat tidak memungkinkan orang di seluruh dunia untuk melakukan puasa Arafah pada hari yang sama. Apabila di Mekah pada suatu sore rukyat telah berhasil dilakukan, sementara di Indonesia belum dapat dilakukan, maka akibatnya terjadi perbedaan memasuki bulan Zulhijah dan akibatnya terjadi perbedaan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah sehingga terjadi peerbedaan atau permasakahan menggenai pelaksanaan puasa Arafah.

Oleh karena itu dalam upaya dunia Islam saat ini untuk menyatukan penanggalan Hijriah internasional, rukyat telah ditinggalkan. Ini tercermin dalam keputusan Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar) yang menyatakan bahwa rukyat tidak dapat menyatukan kalender Islam seperti telah dikutip terdahulu. Untuk itu harus digunakan hisab. Pada saat ini ISESCO sedang melakukan uji validitas empat usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 1150 bulan ke depan.

F.   Ringkasan

Apa yang dikemukakan di atas dapat diringkas:

  1. Bahwa penggunaan hisab adalah syar’i dan sebagaimana dikemukakan oleh y•suf al-Qara«±w³ berdasarkan qiy±s aulaw³ lebih utama untuk digunakan karena lebih memberikan kepastian dan akurasi.
    1. Dalil-dalil keabsahan hisab telah dikemukakan terdahulu, baik berdasarkan al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw.
  2. 2. Para ulama besar seperti Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Mu¡¯af± az-Zarq±’, Y•suf al-Qar±d±w³, A¥mad Sy±kir, dan banyak yang lain menyerukan penggunaan hisab dalam rangka penetapan awal bulan kamariah secara lebih pasti dan akurat.
  3. 3. Upaya Islam internasional untuk menyatukan sistem penanggalan Hijriah tidak dapat dilakukan dengan rukyat; satu-satunya jalan dan itu yang ditempuh adalah dengan menggunakan hisab.
  4. 4. Sekarang sedang dilakukan uji validitas empat usulan kalender bersatu Islam yang dibuat berdasarkan hisab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *