13 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Berita Opini

Mengenang Buya Syafii, Penjaga Panggung Kebinekaan

Buya Syafii Maarif bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Sindonews)

Oleh: Andi Hariyadi *)

KLIKMU.CO

Berita berpulangnya Buya Syafii Maarif menghadap Ilahi Rabbi pada hari Jumat 27 Mei 2022 membuat bangsa ini semakin kehilangan tokoh dan guru bangsa yang begitu tulus berjuang dan penuh kepedulian untuk negeri. Pikiran dan tulisan beliau menyadarkan kepada kita untuk tetap pentingnya menguatkan kebinekaan sebagai salah satu pilar ketahanan nasional. Dan jangan sampai kebinekaan yang ada dijadikan alat untuk menebar permusuhan dan bagaimana peran yang bisa kita lakukan di panggung kebinekaan.

Kadangkala mereka yang berwawasan terbatas sering menampilkan arogansi, tidak peduli, dan yang terpenting kepentingannya terpenuhi. Kemapanan dan enjoy di zona aman sehingga kehilangan nalar yang kritis untuk proses perubahan yang lebih baik.

Di buku beliau yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah disebutkan, karena Al-Qur’an menguatkan adanya eksistensi keberbagaian suku, bangsa, agama, bahasa dan sejarah, semuanya ini hanya mungkin hidup dalam harmonis, aman, dan damai, jika di sana kultur lapang dada dijadikan perekat utama. Di sini sepertinya Buya menunjukkan bahwa Al-Qur’an sudah meletakkan dasar pola interaksi dalam kebinekaan penuh kasih sayang (Maryam 96), di mana orang yang beriman dan beramal sholeh memberikan keteladan penuh kasih sayang, jauhi sifat permusuhan dan bangun kultur penghormatan atas kebinekaan, dan jangan ikuti arus yang mengarah pada perpecahan karena akan melemahkan hingga keterpurukan.

Kehidupan yang harmonis dari berbagai latar belakang yang ada menjadikan bangsa ini bisa berjaya. Namun ketidakcerdasan penggunaan media sosial sering meninggalkan etika hidup harmonis, di mana yang berbeda itu dianggap musuh, sehingga terjadinya konflik berkepanjangan. Energi kita habis menghadapi persoalan-persoalan yang kurang strategis dan terus dikemas dengan narasi kebencian.

Dan Buya Syafii sepertinya pernah jadi korban sasaran kebencian karena dianggap berbeda dan berseberangan, gelombang fitnah, ejekan, penghinaan, dan sejenisnya seperti tidak pernah berhenti ditujukan pada beliau. Sikap yang tenang tanpa pembalasan dari beliau, hal ini menunjukkan kematangan sekaligus teladan untuk tidak terjebak dalam jeratan permusuhan.

Di sisi yang lain, masih pada buku yang sama, beliau menulis kritikan atas perilaku anak negeri dengan bahasa lugas dan tegas, “Oleh sebab itu, rakyat harus semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya agar politisi aji mumpung dapat digiring ke sudut sempit, sehingga kehabisan nyali untuk berani naik panggung. Rakyat yang cerdas tidak mungkin lagi ditipu oleh politisi tuna nilai, karena mereka akan mampu menguliti isi otak dan hati tinimbang lagak lahir politisi.

Buya begitu berharap pada generasi penerus perjuangan bangsa untuk total memperhatikan persoalan yang ada, bukannya memanfaatkan aji mumpung untuk kepuasan pribadi yang tidak peduli derita yang dialami bangsanya.”

Pernyataan beliau tentang tunanilai seakan menyentak kesadaran kita betapa rapuhnya kondisi yang ada. Maka di sinilah peran pencerahan dan keterlibatan untuk berpartisipasi merubah tuna nilai menjadi kaya nilai yang sukses meraih kemuliaan (Thoha 75, Ar Ra’d 29).

Buya Syafii Maarif sudah meninggalkan kita dan beliau telah memberikan banyak wawasan yang integratif antara dinamika kehidupan dengan wahyu yang mencerahkan untuk diimplementasikan oleh generasi penerus bangsa. Semoga Allah SWT mengampuni segala kekhilafannya dan menerima amal soleh dan perjuangannya. (*)

*) Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah  Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *