Mengenang Muktamar Ke-47 Muhammadiyah: Teduh dan Demokratis

0
801

Oleh: Haidir Fitra Siagian

KLIKMU.CO

Tepat pada tanggal yang sama dengan hari ini, lima tahun lalu, Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang berlangsung selama lima hari telah berakhir. Sehari sebelumnya, Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu, Muhammad Yusuf Kalla, telah menutup muktamar secara resmi. Muktamar yang berlangsung di Makassar ini telah berhasil mengevaluasi perjalanan Muhammadiyah lima tahun sebelumnya, menyusun beberapa program kerja, dan memilih pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk memimpin pada periode berikutnya.

Sebagai organisasi keagamaan Islam yang cukup besar di Indonesia, bahkan di dunia, Muktamar Muhammadiyah ini mendapat perhatian yang sangat luas. Bukan hanya karena terkait dalam konteks politik nasional, akan tetapi lebih kepada kemampuan Muhammadiyah bertahan sebagai organisasi modern yang sudah berusia lebih dari satu abad. Umur yang sangat penting untuk memberikan sumbangan yang tidak hanya dirasakan oleh warganya. Justru umat dari organisasi lain dan bahkan dari agama lain turut merasakan nikmat atas jasa dan perjuangan warga Muhammadiyah dalam menjalankan misi pencerahan dan membina amal usahanya.

Forum permusyawaratan lima tahunan ini banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia dan dunia, terutama dari kalangan pengamat dan aktivis pergerakan sosial-politik. Perhatian banyak pihak terhadap Muktamar Ke-47 Muhammadiyah saat itu sesungguhnya dapat dipandang sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormat terhadap dinamika yang terjadi selama proses permusyawaratan berlangsung. Sebagai organisasi yang senantiasa dapat bersinggungan dengan politik, meskipun tidak terkait dengan partai politik (Alfian, 1989), Muhammadiyah mampu menjaga marwahnya sebagai organisasi Islam yang menjunjung tinggi akhlakul karimah dalam bermusyawarah.

Dalam memilih pemimpin dan pengurusnya, Muhammadiyah telah membuktikan dirinya sebagai organisasi, yang menurut Nakamura (1983), menekankan aspek moral-etik dari al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, yang betul-betul berdasarkan al-Qur’an, bukan sebatas jargon manis di bibir dan di atas kertas saja, memberikan contoh teladan dalam menentukan pemimpin sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tiada kegaduhan, jauh dari tipu muslihat, tak ada gesekan dan intimidasi, tanpa kericuhan, sebagaimana sering terjadi dalam pertarungan memperebutkan kursi kepemimpinan di berbagai organisasi masyarakat maupun partai politik, menjadi gambaran proses muktamar ini yang sangat beradab dan menunjukkan demokasi yang bermartabat.

Ini membuktikan semakin dewasanya dan semakin demokratisnya lembaga Islam besar di Indonesia ini. Muhammad Irfan AB, Direktur Adhiyaksa Supporting House, mengatakan bahwa: “Ini harus menjadi contoh berdemokrasi yang baik di Indonesia. Bahwa Muhammadiyah mampu berdemokrasi dengan baik tanpa kegaduhan tanpa ada yang tercederai,” seperti dikutip salah satu media saat lokal saat itu.

Dari berbagai peristiwa politik, terutama terkait dengan pemilihan pemimpin, baik dalam konteks negara maupun organisasi sosial politik dan maupun organisasi keagamaan Islam, sering terjadi pergolakan, konflik, tipu muslihat, rekayasa kotor, bahkan tindakan yang berujung kepada kekerasan fisik. Untuk menentukan pemimpin, terlebih dahulu dengan rangkaian kerja-kerja politik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, bertolak belakang dengan sikap sopan santun dan tata krama politik yang berlaku di negara yang berdasarkan Pancasila ini.

Namun, hal tersebut tidak terjadi dalam Muktamar Ke-47 Muhammadiyah itu. Yang terjadi adalah proses permusyawaratan yang berlangsung dengan tertib, lancar, sesuai mekanisme yang telah diatur secara profesional dan diterapkan dengan baik. Proses permusyawaratan yang begitu demokratis pun mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan media massa. Selama hampir satu bulan, baik sebelum dan sesudah muktamar, berbagai media telah menuliskan laporan tentang Muktamar Muhammadiyah dengan kecenderungan yang sangat positif. Bahkan, Ajariah dan Sriyanto (2016) dalam penelitiannya tidak menemukan adanya berita negatif terhadap Muktamar Muhammadiyah. Dari delapan judul berita yang diteliti, semua mengandung berita positif. Penelitian ini juga mengatakan bahwa dalam melakukan pemberitaan mengenai Muktamar Muhammadiyah, wartawan cenderung memunculkan tema-tema baik dan dengan menggunakan kata-kata berkonotasi positif.

Dari muktamar ke muktamar, Persyarikatan Muhammadiyah senantiasa melaksanakan musyawarah pemilihan pimpinan dengan teduh. Selama hampir tiga puluh tahun berkecimpung dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini, saya tidak pernah mendengar adanya persoalan besar yang terjadi dalam setiap permusyawaratan. Semua dilaksanakan dengan penuh kedamaian, cintah, dan kasih sayang. Pimpinan dan warga Muhammadiyah sudah memiliki tradisi yang sangat baik dalam bermusyawarah. Menujunjung tinggi akhlakul karimah, tidak terpengaruh dengan godaan politis sesaat. (*)

Wassalam
Wollongong, 8 Agustus 2020

Haidir Fitra Siagian adalah dosen UIN Alauddin Makassar, aktivis Muhammadiyah, saat ini sedang bermukim di Australia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini