Oleh: Budi Nurastowo Bintriman
KLIKMU.CO
Tempo hari penulis membuat esai dengan judul “Kenegarawanan?”. Di akhir tulisan ada nada pesimistis tentang karakter kenegarawanan pada pemuda. Penulis menganggap bahwa itu (kenegarawanan) sekadar jargon pemanis bibir para pemuda aktivis. Tak terkecuali kebanyakan pemuda aktivis ormas Islam kepemudaan.
Pesimisme penulis terkonfirmasi oleh pernyataan atau pemikiran Sekretaris Umum Pemuda Muhammadiyah Najih Prastiyo. Itu diungkapkan saat memberi pidato atau ceramah pada acara Pengukuhan Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Boyolali. Judul ceramahnya “Menyemai Inklusivitas untuk Mewujudkan Pemuda Negarawan Berkualitas”.
Menurut penulis dalam esai, setidaknya ada tiga nilai yang mesti ada pada karakter kenegarawanan. Kesatuan tiga nilai itu antara lain: rela berkorban, bersungguh-sungguh, dan berani. Di sana penulis telah menguraikannya satu per satu. Sementara untuk meraih predikat negarawan berkualitas, Najih Prastiyo sepertinya hanya mencukupkan pada sikap inklusif bagi para pemuda. Semoga dugaan penulis salah.
Dalam berita di akun Instagram milik Pemuda Muhammadiyah Boyolali, Najih Prastiyo langsung merujukkan sikap inklusif pemuda dengan keteladanan Rasulullah SAW. Najih mengangkat contoh bahwa Rasulullah pernah “berdamai” dengan pihak kaum kafirin untuk membuat suatu perjanjian. Jikalau boleh menduga, yang dimaksud oleh Najih itu adalah peristiwa “Perjanjian Hudaibiyah (628 M).
Jika dugaan penulis itu benar, Najih Prastiyo sangat gegabah dan terlalu serampangan dalam mengambil rujukan. Inklusivitas yang didengungkannya sangat berbeda konteksnya dengan kasus keteladanan Rasulullah SAW pada peristiwa “Perjanjian Hudaibiyah”.
Dahulu Rasulullah SAW dan para sahabat yang hendak menunaikan rukun Islam terbentur oleh negeri lain “penguasa Ka’bah”. Sekarang ini umat Islam Indonesia sama sekali tak mengalami benturan apa pun dari pihak kaum kafirin mana pun untuk menunaikan rukun Islam.
Jika (sekali lagi jika) perihal inklusivitas pemuda dirujukkan oleh Najih Prastiyo pada Raja Juli Antoni, Sunanto, Zulfikar, dan dia sendiri yang terjun ke partai politik atau tim sukses paslon (pasangan calon) abangan, itu semakin jauh dari konteks nilai-nilai keislaman tentang adab bergaul dan adab berteman. Rasulullah SAW dan para sahabat dalam berinteraksi dengan kaum kafirin tak punya motif keduniaan. Motif keduniaan zaman now semisal komisaris, wakil menteri, dan jabatan-jabatan mentereng lainnya di pemerintahan.
Janganlah kepentingan pribadi cari nafkah atau meniti karir profesional disetarakan dengan motif transenden Rasulullah SAW dan para sahabat di masa klasik dahulu itu! Penulis kasihan dan prihatin terhadap kawan-kawan pemuda di level bawah yang terkesima dan tertakjub-takjub oleh Najih Prastiyo dan para pimpinan pemuda di level atas lainnya. Padahal inklusivitas itu sebuah konsep mulia dan baik. Namun, paparannya yang terkait dengan narasi “pemuda negarawan berkualitas” malah cenderung sangat politis hingga menjadi sumir.
Penulis sangat yakin bahwa inklusivitas Pemuda Muhammadiyah sebagaimana yang berlandaskan “Kepribadian Muhammadiyah” poin (2) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiyah dan poin (9) Membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain, juga berlandaskan “Dua Belas Langkah Muhammadiyah” poin (2) Memperluas paham agama dan poin (12) Menghubungkan dengan gerakan luar, jauh sekali dengan inklusivitas konsepsi Najih Prastiyo.
Para pemuda yang bermazhab inklusivitas untuk kenegarawanan model Najih Prastiyo dan para seniornya sejatinya penuh subhat. Sebagai kader akar rumput, penulis terpanggil untuk meluruskannya. Setidaknya terpanggil untuk menyodorkan perspektif lain. Kecenderungan subhat itu adalah bahwa sejatinya mereka sekadar mencari nafkah atau meniti karir profesional, namun menggunakan kedok inklusivitas dan kenegarawanan.
Koreksi atau pelurusan atau sodoran perspektif lain ini dimaksudkan agar Pemuda Muhammadiyah memahami dan memedomani spirit “Kepribadian Muhammadiyah” poin (3) Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam. Maka asas atau siasat pragmatisme para pemuda itu (khususnya di ranah politik) nyata-nyata menyelisihi “Kepribadian Muhammadiyah” sebagaimana tersebut di atas.
Apa jadinya Persyarikatan ini 10 tahun atau 20 tahun ke depan jika para pemudanya hari ini termakan oleh subhatnya Najih Prastiyo dan para seniornya? Karena di genggaman tangan merekalah dinamika pasang-surutnya Persyarikatan Muhammadiyah ini ditentukan. Wallahu a’lam bishshawwab…
Budi Nurastowo Bintriman
Mubaligh akar rumput Persyarikatan, pengasuh anak yatim, telantar, dan duafa, ber-NBM: 576.926