Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi
KLIKMU.CO
Muhammadiyah adalah federasi pemikiran tutur Prof Din. Dan Buya Syafii menyebut ‘rumah besar’. Saya menyebutnya etalase tempat semua kita berkhidmat dan berlomba berbuat bajik. Jadi siapapun boleh berkhidmah di Muhammadiyah tanpa halangan. Dan tak perlu merasa paling.
Berkhidmah di Muhammadiyah adalah soal selera atau semacam cita rasa—bergantung perspektif dan cara pandang. Makin cerdas, makin leluasa menikmati lezatnya pikiran maju Kiai Dahlan, ibarat makanan, ia bisa mengeksplore dalam berbagai menu.
Bisa juga sebaliknya, yang ia tahu dari Muhammadiyah hanya soal tidak pakai qunut ketika shalat subuh, tidak baca sayidina ketika bershalawat, tidak baca usholi ketika hendak takbir, tidak baca basmalah ketika baca Al fatihah, tidak tahlilan atau yasinan di rumah tetangga sebelah, tidak merokok, tidak ziarah kubur, atau tidak-tidak yang lain.
Tapi maaf saya berbeda dan merdeka. Jadi biarkan saya menikmati Muhammadiyah dengan cita rasa yang saya sukai. Ini rumah besar, jadi kita merdeka ber-Muhammadiyah.
Di Persyarikatan Muhammadiyah, setiap kita adalah penikmat. Boleh piara jenggot sepanjang perut atau meninggikan celana hingga ujung lutut. Boleh ngopi sekental-kentalnya atau mengisap kretek hingga tetes terakhir. Sesekali menjadi aktivis. Kadang urunan untuk menghidupi, beberapa kali yang lain gantian dihidupi.
Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana ber-Muhammadiyah itu? Sejauh yang saya pahami. Tidak ada cammon platform yang rigid, sebab itu setiap kita bebas bereksplor—ada banyak ruang bisa berkreasi sesuka hati. Tidak perlu atribut meski para pimpinan dan pengurusnya suka baju batik yang dicap simbol Muhammadiyah.
Siapapun boleh menjadi Muhammadiyah tanpa keharusan mengikuti model—dari cara berpikir hingga cara berpakaian. Boleh memberi sebanyak-banyaknya atau mendapat sebanyak-banyaknya. Boleh bekerja sekeras-kerasnya atau tidur sepulas-pulasnya.
Siapapun boleh memuja Habib Rizieq yang meledak-ledak, Basamalah yang gemar berfatwa bidah, mengidolakan Bang Anis atau saya yang gandrung dengan pikiran-pikiran sosialis Islam Ali Syariati atau Karen Amstrong yang eksotik dan lebih paham Islam ketimbang orang Islam sendiri. Saya juga penikmat pikiran pikiran spiritual inklusif Prof Amin Abdullah dan pikiran maju Prof Malik Fadjar yang melampaui zaman.
Saya menjadi sangat puritan ketika ketemu kawanan pemuja liberalisme atau tiba-tiba saja saya menjadi sangat liberal ketika bertemu kawanan puritan yang ortodoks. Sebagai penikmat, saya melahap pikiran-pikiran Kiai Dahlan yang eksotik dan dinamis, kemudian saya mengunyah dan mengeksplore dengan cita rasa yang saya maui. Seperti nikmatnya menghisap cerutu atau aroma kopi pagi usai shalat subuh di masjid depan rumah. Bagi saya Muhammadiyah itu anti mapan, anti mainstream bukan mengekor apalagi taqlid.
Saat pertama kali digagas oleh Kiai Besar Ahmad Dahlan—tak sedikit yang melawan, gagasannya dibantah karena menabrak mapan. Yang saya suka dari Kiai Dahlan adalah jiwa mudanya. Pikiran dan gagasannya yang tak pernah tua.
Kiai Dahlan meninggalkan konsep, gagasan atau ideologi yang diwariskan—juga menawarkan perubahan, pemajuan dan modernisasi yang bisa dicandra dalam berbagai pikiran dan amal. Dan saya milih keduanya sekaligus sejauh yang saya mampu.
Setiap kita boleh ‘bikin rumah’ semacam etalase untuk menikmati pikiran-pikiran Kiai Dahlan—itulah ‘fastabiqul khairat’ dalam makna luas yang dinamis. Bukan berebut ruang dan merasa paling, tapi berlomba bikin ruang baru. Ini rumah besar, hendaklah berlapang-lapang jangan berdesak-desak. (AS)
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar