13 November 2024
Surabaya, Indonesia
Opini

Moral Pendidikan Hancur, Lagi-Lagi Rektor Perguruan Tinggi Terjerat Korupsi

Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Duaaar… Dunia pendidikan dikagetkan dengan tertangkapnya seorang rektor PTN di Provinsi Bali yang terjerat korupsi miliaran rupiah. Pertanyaannya, sebesar itukah anggaran yang berputar di perguruan tinggi negeri? Atau ada jalan lain menuju Roma untuk berbuat korupsi.

Selalu ada kata-kata dan kalimat dari para pengamat pendidikan ini yang terakhir jangan terulang kembali. Kalimat itu belum kering terucap manakala kasus Rektor PTN di Lampung. Sekarang terjaring kembali Rektor PTN di Bali, apa ini masalahnya? Jangan-jangan ini yang tertangkap sementara yang tidak diam-diam saja.

Semoga ini menjadi warning keras bagi para pemimpin perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri yang bergelimang anggaran dari negara. Puluhan hingga ratusan miliar sangat memungkinkan berpotensi semua PTN melakukan hal sama karena peluang dan kesempatannya sama, berharap tidak terjadi.

Pendidikan tinggi pengawal moralitas dalam kehidupan dunia modern kekinian, hampir dipastikan masyarakat Indonesia saat ini tidak ada alasan untuk tidak berpendidikan tinggi. Sejak kebijakan afirmasi dan bidik misi menjadi kebijakan pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia, saat ini dikenal dengan KIP perguruan tinggi. Namun, sangat disayangkan beberapa peristiwa menyayat dan mengiris hati para insan pendidikan di Indonesia.

Dengan peristiwa seorang rektor korupsi yang menohok mata telanjang warga Indonesia, gelar akademik paling tinggi dengan sebutan “profesor” terdengar sangat berwibawa ketika mendengarnya. Namun seketika lumpuh layu tak berdaya ditelan bulat-bulat dengan gelar akademik setinggi langit hanya sebuah simbol yang meruntuhkan martabat guru besar menjadi hilang tak berharga.

Memang tidak ada korelasi antara korupsi dan guru besar, namun tidak dapat diterima akal sehat manakala gelar jabatan akademik tertinggi hanya menjadi simbol kekuatan untuk diperjualbelikan bersifat transaksional oleh oknum yang tidak bermoral. Di masyarakat bawah, sosok guru besar bak dewa yang menjadi maha dari maha guru dalam dunia pendidikan.

Saat ini apa yang terjadi depan mata adalah bentuk jawaban dan bukti dari perjalanan sistem pendidikan Indonesia yang sering diungkapan oleh sebagian kecil  pengamat bahwa sistem pendidikan kita “membodohkan”. Wajar saja saat ini hingga hari esok yang akan datang sangat mungkin pendidikan sebatas simbol sosial, bukan pemandu moralitas hidup. Termasuk jabatan akademik tertinggi menjadi simbol status sosial dunia pendidikan. Hal itu kadang sering muncul seorang profesor merasa sudah paling ahli dan pakar dibidangnya.

Wajar saja mereka merasa pakar karena kum angka kredit yang dikumpulkan berdasarkan akumulasi dari pengkhidmatan pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat cukup banyak. Portofolionya lebih difokuskan pada hasil berpikir dan berkarya dalam ruang-ruang ilmiah. Dalil-dalil yang digunakan sangat khatam dan faham dapat dikuasai, namun aplikasinya belum tentu relevan setiap saat. Karena faktanya sering terjadi manakala mahasiswa dan dosen ketika mengaplikasikan teori dikelas jauh berbeda dalam realitas aksi lapangan. Hal itu karena kehidupan manusia sangat dinamis sehingga kajian ilmu juga harus dinamis mengikuti tuntutan kebutuhan manusia.

Banyak cerita dan pengalaman dari sahabat, rekan, dan masyarakat pada umumnya. Bahwa hasil dari ruang kuliah di kampus tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Dan tidak sedikit banyak lulusan perguruan tinggi bekerja, berwiraswata, atau bisnis tidak sesuai dengan keahlian yang dikuasai dan ijazah yang dimiliki.

Jangan-jangan ini juga akan menjadi catatan liar, bahwa lulusan perguruan tinggi banyak tidak bermanfaat diakibatkan gara-gara rektor dan pejabat lain dikampus sibuk mengumpulkan pundi-pundi dalam berangkasnya. Luar biasa pendidikan tinggi Indonesia, belum juga menunjukkan prestasi malah bikin orang antipati.

Kembali pada persoalan rektor korupsi. Selain menenggelamkan reputasi prestise akademisi mulia juga membuat hancurnya keteladanan di lingkungan dunia pendidikan masa depan karena trust publik lambat laun akan hilang.

Bagaimanapun, pendidikan tinggi kawah candradimuka pembangun peradaban. Ribuan hasil penelitian, puluhan ribu jurnal tersebar dalam dan luar negeri hingga terindeks scopus. Wacana keilmuan terus dipacu, skill-skill digembleng dengan berbagai cara, serta treatment dan model pembelajaran dikelas pun tidak ketinggalan diperbaharui. Namun, usaha tersebut seolah tidak guna untuk pembaharuan dalam dunia pendidikan tinggi khususnya. Gelar akademik terendah saat ini sudah terus meningkat menuju tingkat strata satu atau sarjana.

Lagi-lagi bangsa ini tidak siap, ketika lulusan terus meningkat, sementara keterserapan tidak diimbangi. Akhirnya terjadi pengangguran terdidik. Negara buru-buru ambil kebijakan setelah banyak pengangguran terdidik meledak, justru kebijakannya juga terkesan emosional, karena reasoning akademik cenderung instan.

Pendidikan itu bukan membuat kue selesai dengan singkat. Pendidikan itu tidak mendadak tidak seperti tahu bulat dan pendidikan itu bukan untuk kerja, melainkan untuk menjaga moralitas bangsa. Ketika wajah pendidikan ditampar oleh prilaku elit pendidikan berbuat korupsi, berbuat plagiasi dan tindakan lain yang membuat pilar utama bangsa ini keropos dan berakhir ambruk tanda disadari.

Jauh berharap untuk maju sejajar dengan bangsa dan negara lain yang lebih dulu maju, yang terjadi negara-negara kecil yang lebih muda kemerdekaannya menyalip lebih cepat kemajuan indeks pertumbuhan manusianya karena sistem pendidikan sebagai pilar utama menjadi perhatian perioritas dan khusus. Sehingga segala hal ihwal yang mendukung dan menunjang percepatan pendidikan di suport all out oleh pemerintahannya.

Bangsa dan negara ini terlena dengan janji manis elit negara, katanya dan katanya tanpa bukti. Apalagi selama periode kepemimpinan Presiden Jokowi korupsi makin mengganas hingga sampai ke tubuh dunia pendidikan. Rektor-rektor PTN hampir didominasi titipan pemerintah dan elit-elit bangsa. Sangat mungkin ada udang di balik batu dan bertujuan yang tidak disadari oleh akademisi, doktor honoris causa cenderung menjadi alat transaksi politik. Hati nurani mahasiswa dikebiri, sekalipun bersuara seolah tak ada guna dianggap hal biasa bukan sesuatu teguran dan saran  apalagi peringatan. Terlebih mahasiswa saat ini dininabobokan oleh program magang di kantor-kantor kementrian.

Kampus-kampus sepi dari hingar bingar demonstrasi untuk social control. Sekalipun ada riak-riak langsung mendapatkan intimidasi psikologis dan ancaman tidak langsung ini dan itu agar mahasiswa diam seribu bahasa, karena takut beasiswa dicabut dan hal lain bentuk lain yang membungkam. Dosen-dosen yang memiliki kepakaran dijadikan birokrat pemerintahan, baik itu jadi tenaga ahli hingga wakil dan menteri sekaligus. Tadinya berharap akademisi mampu menjadi rule model pejabat tidak korup, justru ikut-ikutan terbawa arus budaya birokrat dan pejabat korup.

Rektor juga manusia, memiliki hawa nafsu dan syahwat dalam jiwa dan raganya. Orientasi berkhidmat tidak diazam dari awal apalagi niat, namun peluang dan kesempatan selalu terlihat di depan mata setiap saat, lama-lama akhirnya tergoda juga. Akhirnya banyak pejabat di lingkungan pendidikan berlomba-lomba menjadi guru dan dosen tajir, selain menunjukkan merasa lebih dan seolah pamer harta ternyata tidak disadari antarsejawat insan akademis terjadi persaingan jabatan demi sebuah tunjangan.

Semoga budaya tersebut segera berakhir. Kembalikan keadilan dan keadaban dunia pendidikan. Berikan ruang-ruang saran dan kritik konstruktif untuk membangun keseimbangan dan budaya ta’awun dan tawashubilhaq. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *