
Jakarta, KLIKMU.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sepakat menolak dengan tegas politik identitas pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Mereka menilai politik identitas sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah kehidupan masyarakat.
Menurut Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, politik identitas merupakan praktik politik yang hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial.
“Atau mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner, tawaran-tawaran agenda yang bisa dipersandingkan antara satu kompetitor dengan lainnya,” ujar Gus Yahya, sapaan karibnya, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Kamis (25/5).
Karena politik identitas hanya mengedepankan identitas kelompok-kelompok primordial, hal itu menjadi berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan. Sebab, politik identitas mendorong perpecahan masyarakat.
“Maka saya sering katakan, kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam, bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU. Jadi kami nggak mau nanti ada kompetitor (mengatakan) ‘pilih orang NU’. Kita nggak mau itu. Kalau mau bertarung harus dengan tawaran-tawaran yang rasional,” ucap Gus Yahya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menambahkan, primordial yang dimaksud adalah berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). “Karena menyandarkan primordial SARA, lalu sering terjadi politisiasi sentimen-sentimen atas nama agama, suku, ras, golongan, yang kemudian membawa pada polarisasi. Bahkan di tubuh setiap komunitas dan golongan, itu bisa terjadi,” jelas Haedar.
Setelah menjelaskan tentang bahaya politik identitas itu, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU telah selesai soal penolakan terhadap politik identitas. Ia mengajak seluruh kontestan politik menjalankan praktik politik yang rasional.
“Mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif, rasional, dan yang ada di dalam koridor demokrasi yang modern,” katanya.
Di dalam pertemuan itu, Muhammadiyah dan NU juga sepakat untuk mengedepankan kepemimpinan moral dalam menghadapi Pemilu 2024.
Terkait pengembangan kerja bersama Muhammadiyah dan NU, Haedar menyebut ada tiga. yaitu konteks kepemimpinan moral, mendorong terciptanya ekonomi berkeadilan, dan komitmen memandu umat.
Pertama, Muhammadiyah dan NU mendorong terselenggaranya pemilu yang demokratis serta berharap ada visi dan arah moral serta visi kebangsaan yang kokoh para calon.
“Sehingga kontestasi itu tidak sekedar politik kekuasaan semata-mata. Tapi visi kebangsaan apa yang mau dibawa yang diwujudkan berangkat dari pondasi yang diletakkan oleh para pendiri bangsa,” terang Haedar.
Kdua, ekonomi berkeadilan sebagai usaha untuk membebaskan, memberdayakan dan memajukan, sekaligus menyejahterakan umat.
“Itu juga harus menjadi concern juga dalam kontestasi politik ke depan. Agar tidak sekedar bagi-bagi kekuasaan, tapi yang paling penting ini Indonesia dengan rakyatnya yang 250 juta itu mau diapakan, agar lebih sejahtera. Karena saya pikir elitnya sudah lebih sejahtera,” kata Haedar.
Terakhir, gerakan keagamaan akan terus berkomitmen memandu umat agar menjadi cerdas, damai, bersatu dalam keragaman dan semakin maju kehidupannya.
“Muhammadiyah dan NU berada digaris terdepan dalam usaha memandu umat,” tegasnya. (AS)