Muhammadiyah Itu Dasar Agamanya Al-Quran, Sunnah, dan Akal

0
45
Dr Piet Hizbullah Khaidir SAg MA saat mengisi pengajian rutin Ahad Pagi Pencerah di perguruan Gadung Surabaya. (Habibie/KLIKMU.CO)

Surabaya, KLIKMU.CO – Dalam membangun karakter pendidikan, kita terkadang sering salah persepsi. Kita sering bersikap dengan asumsi-asumsi tanpa data.

Hal itu disampaikan Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan Dr Piet Hizbullah Khaidir SAg MA saat mengisi pengajian rutin Ahad Pagi Pencerah Majelis Tabligh PDM Kota Surabaya di perguruan Gadung Surabaya Jalan Gadung 3/7 Surabaya, Ahad (27/8).

Piet, sapaan akrabnya, menjelaskan, tingkatan ilmu dalam Al-Quran itu ada enam. Yakni, dzan, makrifah, ‘Ilm, fahm, fikh, dan puncaknya al huda wal hidayah.

“Sering kali kita membangun tradisi keilmuan itu paling tidak dengan satu, dua, dan tiga, padahal inti keilmuan ada di empat, lima, dan enam,” ujarnya.

Menurut Piet, dzan itu artinya prasangka. Bahasa ilmiahnya adalah hipotesis. “Kalau orang bertindak dengan hipotesis, maka salah alamat,” katanya.

Menurut dia, orang membangun sistem itu harus dengan data dan data itu paling tidak ada makrifah dan ‘ilm.

“Meskipun makrifah dan ‘ilm ini belum sempurna, kalau makrifah hanya disebut alkhabar albasith, ilmu atau informasi yang didasarkan kepada informasi yang sederhana saja. Kalau kita bertindak dengan informasi yang sederhana, pasti itu salah-salah,” tutur pria yang saat ini menjabat Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur itu.

Paling tidak, lanjut dia, harus di level yang ketiga al’Ilm. “Kalau al’Ilm alkhabar biddilail attafaasil, informasi yang disertai dengan dalil-dalil yang terperinci dan ini juga masih kurang,” ujarnya.

Piet lantas menjelaskan perbedaan kita dengan Salafi. Menurutnya, Salafi itu hanya berhenti di dalil. Kalau tanpa dalil tertolak, padahal seharusnya tidak hanya berhenti di dalil.

“Maka, di Muhammadiyah dasar agamanya Al-Quran, As-sunnah, dan al akal. Akal cara kita memahami Al-Quran dan As-sunnah, tidak sekadar teksnya. Karena di Al-Quran teks itu bisa mengandung makna, maksud, dan juga mengandung ruhul makna,” terangnya.

Masih menurut Piet, kita kadang-kadang hanya berhenti di dzan, makrifah, dan ‘Ilm.

“Di sinilah Muhammadiyah memiliki peran membangkitkan tradisi keilmuan sampai fikh, bahkan alhuda walhidayah. Kalau paham itu maksudnya kita ini betul-betul memahami dalilnya, mengamalkan makna yang kita pahami dari dalilnya. Bukan sekadar memahami makna teksnya, kemudian kita amalkan sesuai teksnya. Tetapi kita memahami makna dari teks itu, kemudian kita pahami makna teks itu yang kita amalkan adalah pemahamannya, bukan dari makna teksnya,” jelas dia.

Menurut dia, fikh itu amaliah yang istiqamah. Fikh ini juga bukan sekadar agama, tetapi fikh itu semua ilmu.

“Anak-anak tadi yang angklungan itu juga ilmu dan bisa saja orang mengamalkan ilmu di level fikh ini akan diangkat derajatnya apa pun bentuk ilmunya. Namun, sering kita salah, yang penting ilmu ini, ilmu itu, ada yang fanatik ilmu agama, ilmu agama saja, sehingga ilmu yang lain tidak paham, ada yang fanatik ilmu umum, ilmu umum saja sampai tidak paham ilmu agama. Jadi, tidak ada perbedaan kita menjelaskan fisika, artinya kita menjelaskan rahmat Allah dan ilmu Allah,” ujarnya.

Yang terahir, kata dia, keunggulan ilmu dan karakter dan keunggulan kolaborasi. “Uji publiknya di kolaborasi. Kita sedih negara (Indonesia) sebesar ini 80 persen umat Islam, presiden kita belum ada yang lahir dari rahim inti pengaderan umat Islam, apalagi saat ini belum sesuai dengan yang kita harapkan,” tandasnya. (Habibie/AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini