Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi
KLIKMU.CO
Apakah Muhammadiyah struktural lebih dominan ketimbang Muhammadiyah kultural? Apakah masih ada tersisa ciri Muhammadiyah sebagai ormas? Lebih jelasnya, anda bisa lihat struktur pengurus plenonya: apakah dominan para guru besar dan profesional atau saudagar dan kyai kampung? Maka jawaban antum, insya Allah sudah pasti mendekati benar.
Jika ditimbang lebih jauh: apakah Muhammadiyah masih eksis sebagai ormas atau bergerak menjadi organisasi dari perkumpulan asosiasi atau para profesional yang mengelola amal usaha? Para alumninya pun ditagih hanya sesuai dengan kebutuhan profesionalisme, bukan berdasar kebutuhan jamaah. Jadi ke mana sebenarnya pergerakan ini dominan?
Tapi jangan keburu baper, saya hanya hendak mengangkat sebuah pernyataan visioner Buya Syafii Maarif sebelum wafatnya bahwa Muhammadiyah telah bergerak menuju organisasi amal usaha. Apakah nuansa ormasnya menghilang? Menghilang sih belum. Tapi menipis, apa buktinya: jamaah akar rumput makin susut kurang terurus. Bukan hilang, tapi susut.
Ada hipotesis bahwa profesionalitas ngurus amal usaha tak berbanding lurus dengan ghirah ngurus jamaah. Akibatnya terjadi ketimpangan tajam antara mengurus ranting dengan glamor ngurus amal usaha. Dua pilar ini sepetinya terlihat bergerak saling menjauh. Tapi saya berdoa: semoga tidak.
Apakah salah menjadi asosiasi? Tidak salah juga—kalau kemudian merujuk pada perasaan kawatir kyai Dahlan saat Kyai Soedjak salah satu santrinya usul agar gerakan ini diformalkan menjadi organisasi.
“Aku kawatir kalian nanti hanya sibuk ngurus amal usaha (organisasi ) ketimbang gerakan (jamaah)”
Lantas apakah kekawatiran Kyai Dahlan ini sudah terbukti? Mungkin saja iya kalau melihat betapa banyaknya amal usaha tak sebanding dengan jumlah pengikut. Muhammadiyah struktural lebih dominan ketimbang Muhammadiyah kultural. Lebih jelasnya anda bisa lihat struktur pengurus plenonya. Apakah dominan para profesional dan guru besar atau saudagar dan kyai kampung? Sebagian lebih bangga dengan jumlah amal usaha ketimbang jamaah yang guyub.
Jadi, benarkah bahwa kebanyakan warga Muhammadiyah sekarang adalah mereka yang bekerja di AUM dan para pengurus dan birokrat Persyarikatan dari berbagai level—ditambah asosiasi guru, asosiasi dokter, asosiasi rektor, asosiasi kepala sekolah, asosiasi dosen, asosiasi guru besar, asosiasi perawat, asosiasi mubaligh dan asosiasi lainnya yang kemudian berserikat menjadi Persyarikatan Muhammadiyah?
Ini memang dinamika menarik kalau tak boleh dibilang sebagai problem sistemik karena tumbuh dan dibiarkan berkembang sebagai sunatullah di Persyarikatan. Setidaknya telisik Prof Mitsuo Nakamura masih menghibur: “bahwa Muhammadiyah punya daya uji yang kokoh dalam berbagai situasi. Semacam keberuntungan atau hoki yang melintasi—dan mampu bertahan dalam berbagai situasi zaman.” (*)