12 Desember 2024
Surabaya, Indonesia
Hukum

MUI: SEMA Berikan Kepastian Hukum Larangan Nikah Beda Agama

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis. (Foto: dok.MUI)

Jakarta, KLIKMU.CO – Mahkamah Agung (MA) secara resmi melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama, sebagaimana dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang diundangkan pada Senin 17 Juli 2023, tentang Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, mengapresiasi hal tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran agama-agama yang ada di Indonesia.
“Surat edaran MA tentang tidak sahnya nikah beda agama dan pelarangan pencatatan nikah yang tidak sah adalah bagian dari penghormatan dan toleransi kepada ajaran agama-agama,” katanya ketika dihubungi pada Rabu (19/07/23).
Disampaikan oleh Kiai Cholil, MUI terus berupaya menghalau dan memerangi adanya praktik serta usaha pelegalan terhadap pernikahan beda agama, yang kemudian dikabulkan oleh pihak pengadilan, lalu dilegalisasi oleh penghulu ilegal, sehingga muncul gugatan konstitusional sekolompok warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Oleh karena itu (kita bisa) menegakkan agama dalam rangka menjaga entitas masing-masing, di saat bersamaan agama bisa menjadi sarana dan landasan menjaga keragaman,” ujarnya.
Menurut Kiai Cholil, alasan perjuangan MUI tersebut tidak hanya didorong ajaran normatif dalam agama, melainkan juga kandungan konstitusi juga melarang nikah beda agama.
Menurut Kiai Cholil, konstitusi menghargai adanya entitas ajaran agama masing-masing dari campur aduk dan pembauran. Dengan demikian, larangan pernikahan beda agama adalah bentuk orisinalitas menjaga kemurnian ajaran setiap agama.
“Berkenaan kita (MUI) memperjuangkan untuk tidak sahkan pernikahan beda agama karena dalam konstitusi kita itu mengakui entitas masing-masing (agama),” kata Kiai Cholil.
Dengan demikian, kata Kiai Cholil, keputusan MA itu harus dibarengi dengan kesiapan kita menghormati dan menerima perbedaan masing-masing sebagai kesepakatan bersama (al-mitsaq al-wathani).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Kiai Cholil bahwa SEMA tersebut telah memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, dimana para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan pemohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.(han)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *