Oleh: Hasnan Bachtiar
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Kandidat PhD di Deakin University, Australia
KLIKMU.CO
“Mungkinkah Israel dan Palestina menjalin perdamaian yang lebih permanen?”
Pertanyaan tersebut dianggap sebagai hal yang klise. Mungkin karena “frustrasi dan jalan buntu” senantiasa menghantui, baik itu para pihak yang terlibat konflik maupun para sarjana dan intelektual yang memikirkannya.
Betapapun demikian, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang paling fundamental sekaligus sangat realistis. Dus, mari kita mengulang pertanyaannya. Yakni, “Apakah perdamaian abadi antara Israel dan Palestina akan benar-benar terjalin?”
Akar Masalah
Yang diteriakkan dengan penuh amarah oleh orang-orang Palestina adalah, “Israel, Zionis dan kroni-kroninya, terutama Amerika Serikat (AS) adalah imperialis! Merekalah yang membunuh, membinasakan, menghancurkan dan merampok kehidupan kami, keluarga kami, hak asasi kami dan semua hal yang kami punya.”
Sementara itu, orang-orang Israel melemparkan murkanya, “Siapa itu orang Palestina? Apakah ada yang disebut-sebut sebagai bangsa Palestina? Apakah mereka benar-benar memiliki hak untuk hidup di tanah kami, tanah Israel, tanah dari Tuhan? Merekalah teroris, mereka yang membunuh orang-orang kita, tentara kita, mereka yang melenyapkan tanah air leluhur kita.”
Menanggapi upaya saling klaim yang demikian, Bernard Wasserstein, seorang profesor sejarah Yahudi Eropa modern dari Universitas Chicago, menyebutkan fakta yang penting. Ia menyatakan, “Palestina itu sendiri terbagi. Sementara itu, kedua belah pihak, baik itu orang-orang Israel maupun Palestina, sama-sama berjuang mendudukinya sebagai sebuah kota suci menurut ideologi keagamaan mereka masing-masing.”
Hal ini menurut seorang Palestina yang nasionalis, “Jerusalem itu jelas milik kami. Ada Masjid al-Aqsa di sana (al-Quds). Di sana pula Nabi Muhammad Saw. terbang ke langit ketujuh (Sidratun Muntaha) di malam Lailah al-Qadr.”
Sejurus kemudian, seorang Israel yang fanatik menanggapi, “Bukan. Tentu bukan. Tempat itu adalah miliki kami. Itulah kerajaan Raja Saul, Raja Daud dan Raja Sulaiman. Semua raja-raja Israel telah sejak lama menguasai tempat itu. Tidak diragukan lagi itulah rumah kaum Israel.”
Profesor Bernard menengahi, “Mungkin kamu semua benar. Jerusalem adalah tanah kaum Muslim dan Yahudi, serta kaum Nasrani bersama-sama. Tentu hanya Allah yang mengetahuinya. Ingatlah kitab suci al-Qur’an mengingatkan kepada kita semua, “Sesungguhnya hanya Tuhanmulah yang memutuskan (segala perkara) di antaramu di hari kiamat manti, mengenai segala hal yang kamu pertentangkan.” (QS. Sajadah 32: 25).
Ia, di dalam bukunya yang bertajuk “Devided Jerusalem” (2002), menyatakan bahwa, “Kisah-kisah mengenai kesucian Jerusalem barangkali benar adanya. Narasi-narasi yang terlampau berlebihan mengenai kesucian tempat ini cenderung dimanfaatkan untuk mengekspresikan kepentingan politik tertentu di antara para pihak yang memiliki kuasa dari kedua belah pihak.
Walau demikian, di antara perdebatan yang tak berujung pangkal tersebut, sebenarnya nasehat Nurcholish Madjid dalam konteks ini sangatlah penting. Menurut cendekiawan Muslim ini, “Jerusalem adalah kota suci bagi tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen dan Islam. Dan yang harus kita ingat betul-betul, Ibrahim adalah Bapak kita semua: Bapak Para Nabi.”
Akan tetapi, pungguk merindukan rembulan. Rekonsiliasi teologis tidak akan mampu menjawab persoalan perang yang kompleks. Menurut Guru Besar Kajian Timur Tengah, James Piscatori, ada banyak fakta yang memperumit masalah ini.
Ada dua perang yang begitu penting bagi sejarah konflik di Palestina: Pertama adalah perang antara Arab dan Israel di tahun 1948 yang menggagalkan rencana partisi (pemisahan wilayah) yang diajukan oleh PBB; Kedua adalah “Perang Tujuh Hari” di tahun 1967 di mana Israel berhasil menguasai Sinai dan Gaza, West Bank dan Golan Heights.
Sejak saat itu, menurut tuturan Piscatori, “Sejarah panjang berkisah kepada kita semua mengenai konflik Israel dan Palestina yang tak berkesudahan, terutama antara pasukan militer Israel (Israeli Defense Force/IDF) dan Hamas (cabang Ikhwan al-Muslimin di Palestina).
Upaya Perdamaian
Pada 27 November 2007 digelar Konferensi Perdamaian Annapolis. Perdana Menteri (PM) Israel, Ehud Olmert dan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas difasilitasi oleh Presiden George Bush berusaha berdialog. Sayangnya, semuanya sia-sia. Masalahnya adalah Hamas tidak dalam genggaman kekuasaan Abbas dan IDF sedang bekerja keras berjuang untuk menjaga keamanan nasional Israel.
Dua tahun kemudian, 4 Juni 2009, Presiden Amerika Serikat, Obama mengupayakan “Solusi Dua Negara” dan menentang adanya pendudukan Israel atas wilayah Palestina pada pidatonya di Kairo. Dengan tegas ia menyatakan bahwa, “Orang-orang Israel harus mengakui bahwa sebagaimana hak-hak kaum Israel tidak dapat diabaikan, maka tidak pula hak-hak kaum Palestina.” Dalam kesempatan penting itu, ia juga menegaskan ketidaksetujuannya mengenai pencaplokan wilayah West Bank, yang akan dijadikan sebagai lahan hunian orang-orang Israel.
Pada 4 Mei 2011, rival politik Hamas di Palestina, Fatah bersedia menandatangani pakta rekonsiliasi di antara kedua belah pihak. Rekonsiliasi ini penting dalam rangka merebut kembali wilayah Palestina yang dirampas oleh Israel pada perang 1967.
Dua minggu berselang setelah rekonsiliasi ini, 19 Mei 2011, Obama mengajak bernegosiasi untuk menetapkan Negara Palestina yang didirikan berdasarkan pada batas-batas territorial pra-perang 1967.
Di sela-sela negosiasi ini, beliau menekankan, “Harus ada penarikan para tentara Israel dari wilayah Palestina, secara penuh dan bertahap” terutama yang ada di West Bank, yang dikoordinasikan dengan Militer dan Kepolisian Palestina. Yang terpenting, harus ada penghentian militerisasi Israel di wilayah Palestina tersebut.
Meskipun apa yang dilakukan Obama tampak ideal, sayangnya menurut Wakil Penasehat Keamanan Nasional Presiden Bush, Elliott Abrams, hal itu jelas belum efektif.
Ia menjelaskan, “Menyelesaikan konflik Israel-Palestina berdasarkan pada perspektif perselisihan teritorial bukanlah jalan yang bijak. Para pihak harus memikirkan masalah fundamental lainnya, yakni masalah para pengungsi Palestina dan keamanan Israel. Kedua masalah penting tersebut, dipengaruhi oleh pelbagai faktor terutama konflik ideologis dan tampilkan pelbagai kelompok radikal (teroris, menurut pihak Israel) dan sebaliknya, kedua masalah yang ada mempertajam faktor-faktor ini.” (Elliott Abrams, The Settlement Obsession, 2011).
Berdiri di sisi yang berlawanan, Oded Naaman dan Mickhael Manekin, para editor dari “Occupation of the Territories” dan anggota dari organisasi Breaking the Silence (organisasi mantan tantara Israel yang sangat anti Zionisme) melawan semua argumentasi yang diungkapkan Abrahms.
Keduanya menjawab bahwa, “Israel harus melenyapkan kepicikan pandangannya yang menyatakan bahwa masalah teritorial adalah sekaligus masalah keamanan nasional Israel. Itulah syarat mutlak untuk menghentikan konflik ini.” (Oded Naaman dan Mickhael Manekin, How Central is Land for Peace?, 2011).
Sayangnya, Abrams justru menekankan kembali perspektif Israel bahwa, “Sesungguhnya masalah penting yang kita hadapi adalah Hamas, bom bunuh diri mereka, misil mereka dan aksi-aksi terror yang mereka lancarkan.” (Elliott Abrams, Abrams Replies, 2011).
Tulisan telah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 10 Tahun 2019. Atas seizin penulis, KLIKMU.CO memuatnya ulang.