Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Ramai-ramai bermusyawarah setelah Muktamar di Solo, Muhammadiyah wilayah dan daerah menyambut dengan gegap gempita pelaksanaan musyawarah untuk melakukan regenerasi pimpinan di tingkat wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Musyawarah bagian dari menjalankan ajaran Islam “syuraa bainahum” , bermusyawarahlah di antara kamu sekalian.
Permusyawaratan merupakan perintah karena teksnya menunjukkan kalimat amar atau perintah, sehingga status hukum bermusyawarah itu menjadi kewajiban bagi umat Islam di mana pun, baik untuk memutuskan perkara-perkara pribadi apalagi untuk kelompok orang banyak. Termasuk permusyawaratan yang menjadi tradisi dalam entitas sosial, ekonomi, politik, dan segala aspek kehidupan manusia.
Saat ini Muhammadiyah se-Indonesia hampir bersamaan dalam tiga bulan setelah Muktamar melakukan permusyawaratan untuk mempertanggungjawabkan dan mengevaluasi kepemimpinan satu periode kebelakang masa periode tahun 2015-2020 plus dua tahun periodenya menjadi tujuh tahun karena pandemi Covid-19. Dan juga dalam permusyawaratan tersebut merancang program strategis Muhammadiyah di berbagai wilayah dan daerah dalam satu periode kedepan hingga lima tahun yang akan datang.
Sudah dipastikan masing-masing wilayah dan daerah memiliki karakteristik berbeda, sehingga isu-isu strategis lokal menjadi dasar analisa untuk membuat program strategis Muhammadiyah diwilayah dan daerah. Yang paling penting rancang bangun program tidak hanya sekedar ikut-ikutan tanpa ada kajian strategis berbasis kebutuhan persyarikatan, keumatan dan kebangsaan di masing-masing level pimpinan Muhammadiyah.
Skala prioritas dalam permusyawaratan menjadi kewajiban bagi peserta musyawarah untuk menyempurnakan draf rumusan menjadi ketetapan yang akan dijalankan kepemimpinan Muhammadiyah periode berikutnya yang terpilih. Secara teknis dan taktis, prioritas program strategis Muhammadiyah periode ke depan yaitu pilar kesejahteraan dan ekonomi persyarikatan agar lebih difokuskan.
Hal tersebut untuk menjaga marwah persyarikatan untuk berusaha menghindari institusi organisasi dhuafa segala aspek dan bidang, sehingga berdampak pada pengelolaan organisasi yang tidak profesional dan ujungnya menstimulasi perilaku transaksional dan pragmatis menjadi tradisi dan budaya, karena setiap kegiatan banyak meminta bukan memberi. Lebih tragis lagi akibat tidak dikelola dengan baik justru persyarikatan hanya tinggal nama, sementara eksistensinya hilang karena pengurusnya pun tidak ada. Hal tersebut tidak mustahil, saat ini ada beberapa cabang dan ranting yang hilang atau bubar begitu saja.
Dalam momentum musyawarah wilayah dan daerah, semoga para penggerak dan aktivis Muhammadiyah benar-benar jeli melihat kondisi tersebut. Boleh jadi ada penambahan ranting dan cabang ada yang berdiri pada sisi tertentu dan di sisi lain ada cabang dan ranting yang hilang atau menghilang. Sehingga di abad kedua ini, Muhammadiyah benar-benar berkomitmen merancang, mendesain, dan merekayasa program yang sangat efektif, efesien, dan produktif. Bukan sekedar ada program, hanya menghambur-hamburkan biaya yang dampaknya tidak terasa pada tahapan yang sesuai dengan peningkatan mutu institusi dan kesejahteraan warga persyarikatan. Apalagi programnya tidak ada, sementara anggaran yang sudah tersedia menguap ke luar angkasa entah ke mana.
Kemandirian organisasi sangat penting untuk diprioritaskan, meningkatkan komitmen menjadi karakter pemberi akan menjadi motivasi mencari cara dan strategi mendapatkan kegiatan amal usaha yang produktif, bukan amal konsumtif. Tidak mungkin untuk tidak dapat menghadirkan amal usaha yang produktif selama ada sumber daya manusia. Asal berkeinginan dan berpikir kuat, insyaallah pasti banyak ide dan gagasan. Dimulai dari langkah kecil dengan kontinu, dari hasil sangat kecil yang konsisten hingga lama-lama menjadi tradisi dan budaya beramal kreatif. Jikalau masih banyak alasan ini dan itu, apalagi berpikir negatif terus dan selalu menyalahkan satu dengan yang lain berarti ada yang harus diperbaiki kepemimpinan puncaknya.
Di abad kedua saat ini sudah berjalan, Muhammadiyah harus berusaha keras bersama-sama membuat arsitektur gerakan yang menyejahterakan induk persyarikatan, termasuk yang berada di dalamnya. Pola dan strateginya melalui berbagai potensi sumber daya yang dimiliki digunamanfaatkan berdasar pada skill dan kompetensinya. Selain itu, tema-tema dalam pengajian pengurus selalu membahas hal ihwal strategi peningkatan kesejahteraan hingga menemukan cara dan jalannya, selama belum ketemu jalan dan caranya jangan berhenti.
Pasti dan yakin segala hal yang akan dicapai manakala bersungguh-sungguh akan diberikan solusi dan kemudahan, sebagaimana penegasan sang Penguasa Alam semesta Allah Ta’ala berfirman, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan…” Q.S. al Insirah ayat 5 dan 6. Sehingga bagi persyarikatan Muhammadiyah dimanapun berada, sekalipun level terbawah apabila bersungguh-sungguh berusaha menginisiasi membuat amal usaha yang produktif, di situ akan menemukan caranya.
Lantas, pertanyaanya berikutnya bagaimana bagi pimpinan daerah dan cabang yang sudah memiliki amal usaha namun tetap kondisinya berstatus mustahik yang memprihatinkan. Lagi-lagi karena alasan amal usaha pendidikan pendapatan dari siswa banyak yang menunggak karena siswanya berlatar belakang keluarga miskin. Guru-guru mendapatkan insentif sangat kecil di bawah standar serta banyak hal lain yang menunjukkan ketidakmampuan.
Sebenarnya tidak harus menyalahkan siswa yang miskin, melainkan harus mencari jalan yang taktis-strategis untuk menemukan formula untuk mencapai standarisasi kualitas amal usaha sehingga meningkatkan kesejahteraan persyarikatan dan warganya. Realitasnya, ada yang berseloroh bahwa pimpinan sekolah lebih dari cukup bahkan berkecukupan sementara kondisi sekolah, para guru, dan perhatian pada persyarikatan sangat kurang sekali.
Bagaimana itu dapat terjadi, padahal tanggung jawab pimpinan memajukan dan men-support dakwah persyarikatan. Harus ada identifikasi ketika ada pristiwa tersebut, telusuri seobjektif mungkin untuk terhindar dari prasangka buruk.
Sekelumit pristiwa diatas hanya satu bagian kecil masalah yang dihadapi persyarikatan Muhammadiyah di berbagai daerah dan cabang, banyak hal lain lebih dari itu. Tampaknya momentum permusyawaratan harus membuat blueprint rasional dan realistik berdasarkan kajian praktis dan ilmiah. Solusi gerakan dakwah lebih difokuskan pada peningkatan kualitas gerakan, baik itu melahirkan amal usaha bagi level pimpinan yang belum memiliki amal usaha dan meningkatkan mutu kualitas amal usaha bagi pimpinan yang sudah memilikinya. Pemerataan gerakan dakwah produktif harus ada skala prioritas untuk menghindari kebijakan persyarikatan yang berdampak ketidakadilan. Wallahu’alam. (*)