KLIKMU CO-
Oleh: Kyai Mahsun Djayadi*
Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Adakalanya, mereka berpikir kebahagiaan itu diperoleh dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Kekayaan melimpah diimpikan sebagai puncak kebahagiaan.
Kenyataannya, rumah tangga yang mengacu pada materi sebagai sandaran hidupnya, tanpa mengedepankan nilai-nilai agama, ternyata diambang bencana. Buruknya moral suami, istri, atau anak-anak, kegelisahan hidup, kecemasan mendalam, kebenciaan di antara anggota keluarga, bahkan permusuhan dan berbagai permasalahan yang membelit serta tak kunjung padam.
Rumah tangga yang harmonis dan bahagia tidaklah bersandar pada materi semata, justru terletak pada sejauh mana peran nilai-nilai agama mendominasi eksistensi rumah tangga itu. Kehidupan rumah tangga Rasulullah saw yang penuh berkah, ketenteraman, dan kebahagiaan, selayaknya menjadi panutan kaum Muslimin.
Semasa hidup Rasulullah saw tidak pernah memiliki rumah mewah dan harta berlimpah. Bahkan, ketika Umar bin Khathab mengunjungi beliau pada suatu hari, didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas pelepah daun kurma. Hingga punggung beliau tergores saking kerasnya pelepah daun kurma itu.
Tetapi, dari kondisi yang sangat sederhana itu, beliau selalu mengucapkan baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Itulah ciri rumah tangga yang dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.
Dalam rumah tangga Islami, seluruh anggota keluarga memiliki peran dan fungsi yang jelas. Masing-masing mereka menghormati perannya. Suami adalah pemimpin yang berakhlak shodiqul wa’di (selalu menepati janji baik pada Allah swt maupun masyarakat), dapat menegakkan keadilan dan kasih sayang dalam memimpin keluarga. ”Dan dia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Robbnya.
Istri berfungsi menaati suami dan bekerja sama dengannya dalam kebajikan dan takwa, sehingga mampu mengayomi keluarga dengan kasih sayangnya yang tulus ikhlas. Anak-anak pun menjadi cahaya mata karena ketaatan dan kesalehan mereka.
Empat Kategori Makna Rumah :
Al-Bait (البيت): adalah sebuah tempat yang biasa dibuat tempat bermalam, baik dibuat tidur atau tidak. Baata-yabiitu : menginap/ Mabit. Tidak harus ada tempat permanen, tetapi harus ada keluarga yang berada di dalamnya. Tempat Ini (bait) bisa berupa; tenda, apartemen, rumah, gua atau bahkan kamar di rumah, tempat tinggal atau asrama.
Al-Maskan (المسكن) : adalah tempat tinggal seseorang, seperti rumah (bait), dan tidak diharuskan untuk bermalam, dan siapa pun dapat tinggal di tempat tersebut. Setiap rumah (maskan) adalah tempat tinggal (bait), tetapi tidak setiap tempat tinggal (bait) adalah tempat bermalam. Maskan : bisa diartikan sebagai rumah tempat menetap yang permanen.
Al-Daar (الدار) adalah tempat tinggal yang harus ada bangunannya, rumah beserta konstruksinya yang berdiri di atas tanah, berbeda dengan “bait” dan “maskan”. Rumah (daar) itu berarti terdiri dari satu atau lebih rumah (bait). Yang jelas Daar menjadi pusat atau sumbu utama tempat kembalinya penghuni setelah bekerja atau berkegiatan di luar. Termasuk kategori ini seperti pengadilan (Darul Qadha) atau percetakan (Darul Thiba’ah).
Al-Manzil ( ( المنزيلadalah tempat (bait) yang lebih dari satu, apakah rumah-rumah (bait) itu terhubung satu dengan lainnya, seperti bangunan tempat tinggal (Apartemen), atau rumah-rumah yang tersebar (berpisah) seperti kompleks kecil, atau Cottage.
Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Manzil adalah tempat keluarga menetap dan beranak pinak (turun temurun).
Baiti Jannati, Ini merupakan ungkapan yang mengandung makna kiasan. Menggambarkan suasana rumah yang nyaman, tenteram, damai dan penghuninya diliputi kebahagiaan. Keadaan yang jauh dari resah dan gelisah.
Baiti Jannati, bisa mewakili keadaan para penghuni rumah yang dianugerahi berupa sakinah mawaddah wa rahmah.
Model keluarga seperti apa yang akan dibina? Apakah model keluarga Muslim yang menetapkan makna bahagia ketika mampu istiqamah dalam ketaatan pada menjalankan ajaran Islam? Ataukah gaya keluarga kapitalis saat kebahagiaan selalu diukur dengan capaian nilai materi atau harta benda?
PRASYARAT TERWUJUDNYA BAITI JANNATI :
Pertama : Menjadikan iman dan Islam sebagai landasan pernikahan. Iman yang kokoh akan melahirkan keyakinan yang kuat pada kemahakuasaan Allah swt. Kekokohan iman akan menjadi tameng manakala keluarga dihadang kesulitan. Keluarga tersebut tidak akan gelisah apalagi putus asa karena yakin Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan (QS ath-Thalaq ayat: 2).
Kedua: Menetapkan visi, misi dan tujuan berkeluarga sesuai ajaran Islam. Visi keluarga Muslim adalah meraih kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, dan kelak bisa masuk surga bersama keluarga. Misi dan tujuan berkeluarga adalah mewujudkan kehidupan berkeluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah; melahirkan generasi shalih-shalihah, penghulu orang bertakwa dan pelanjut estafet perjuangan Islam.
Ketiga: Menjalani kehidupan keluarga sesuai panduan syariah Islam.
Menempuh kehidupan rumah tangga ibarat bahtera yang sedang mengarungi samudera. Tak selamanya berlayar dalam air yang tenang. Kadang ada riak dan gelombang. Bahkan tidak jarang dihadang hujan dan badai. Maka para penghuni bahtera haruslah memiliki kewaspadaan yang tinggi, kekuatan fisik dan mental, sehingga bisa mengharungi samudera dengan mulus, selamat sampai tujuan.
Sebuah Riwayat dari Umar Ibnul Khattab, menegaskan :
أربع من سعادة المـرء , ان يكون زوجـته صالحة, واولاده ابرارا , وخلطاءه صالحين , وان يكون رزقه في بلده .
Artinya : Ada empat pilar kebahagiaan rumah tangga, isteri yang sholihah, anak-anak yang penurut, lingkungan yang kondusif, dan rizqinya berada di negeri sendiri.
Sedangkan menurut Riwayat lain dijelaskan :
أربع من السعادة : المرءة الصالحة , المسكن الواسع , والجار الصالح , والمركب الهـنئ .
Artinya : Ada empat pilar kebahagiaan yaitu Wanita/ istri yang sholihah, tempat tinggal/ rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.
*Direktur Ma’had Umar Ibnu Khattab UMSurabaya