Ngaji Reboan #38: Fiqh Kebencanaan Memaknai Musibah dalam Perspektif Persyarikatan

0
76
Ilustrasi Merdeka.com

KLIKMU CO-

Oleh: Mahsun Djayadi*

Perspektif baru memaknai musibah yang terjadi pada manusia sangat dibutuhkan agar orang tidak beranggapan bahwa musibah terjadi karena kutukan Allah semata.


Musibah berasal dari bahasa arab, dari kata “ashaaba” ( أَصَابَ ) yang artinya mengenai, menimpa, atau membinasakan. Musibah juga berarti kemalangan “al-Baliyyah” ( أَلبَـلِيَّـةْ ) atau setiap kejadian yang tidak diinginkan.
Musibah yang menimpa manusia merupakan ujian dan cobaan, baik untuk menguji kesabarannya maupun keimanannya. Selain itu musibah juga merupakan suatu peringatan bagi setiap manusia, agar selalu bersyukur dan beriman, dan tidak lupa terhadap sang pencipta atas karunia-Nya berupa kemegahan dan kenikmatan dunia.
Sebagian orang memvonis semua bencana terjadi karena manusia melanggar syariat.


Bencana dipandang sebagai hukuman Allah, dan korban bencana sebagai pelaku maksiat. Maka pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena harus menanggung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya, mulai dari harta benda, nyawa, sanak famili, sekaligus juga mereka menjadi sasaran kutukan pihak lain. Harus ada perubahan cara pandang tentang bencana tetapi tetap berpijak pada ketentuan syari’at.


Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyusun sebuah panduan guna memahamkan tentang konsep bencana, memaknai bencana, cara pandang pengelolaan bencana, pemenuhan hak korban bencana, dan masalah ibadah dalam situasi bencana. Hasil Munas Tarjih tentang Panduan Kebencanaan tersebut disahkan melalui SK No. 102/KEP/I.0/B/2015 tanggal 29 Syakban1436 H/16 Juni 2015 M. Panduan tersebut diberi nama Fiqih Kebencanaan.


Fiqih Kebencanaan meliputi hukum kongkret (al-ahkam al-far’iyah), juga mencakup seperangkat ketentuan Islam tentang nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), dan prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah). Bencana merupakan hal yang niscaya, tinggal mengubah cara kita menyikapinya, manusia harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara bermartabat.


Dalam perspektif Persyarikatan, Fiqih Kebencanaan memahami bahwa bencana merupakan wujud kasih sayang Allah kepada manusia, sekaligus merupakan ujian dan cobaan keimanan. Orang beriman akan memahami bahwa apapun yang menimpa mereka adalah “kebaikan” dari Allah yang Rahman dan Rahim. Bencana merupakan ketetapan dan ketentuan (takdir) dari Allah.
Di dalam Al-Qur’an, bencana memiliki padanan kata antara lain: musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, ‘iqab, dan nazilah. Masing-masing kata tersebut memiliki penekanan makna dan konteks berbeda. Pemahaman masing-masing istilah ini akan meluaskan cara pandang dalam memaknai bencana secara positif.
Fiqih Kebencanaan memuat fikih ibadah dalam suasana darurat bencana dahsyat, semisal sahnya salat dalam keadaan najis dan aurat tidak tertutup, atau tentang batasan waktu jamak salat pada saat bencana dipahami sebagai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj).


Fiqih Kebencanaan memahami dua prinsip umum: kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azman wa al-amkinah). Islam tidak membebani di luar kemampuan manusia. Di luar itu, terdapat ketentuan maqashid syariah dan fikih prioritas. (dari berbagai sumber, dan persyarikatan).
Adapun isi pokok Fiqih Kebencanaan ini adalah :
Bahwa fiqih kebencanaan merupakan panduan bagi masyarakat terdampak bencana alam serta upaya tetap bisa melaksanakan ibadah dalam kondisi darurat. Bahwa fiqih kebencanaan sebagai sebuah pedoman yang konsepsi dasarnya terkait dengan akidah dan keyakinan, rumusan etika dan moral dan terakhir hal-hal yang bersifat praktis. Fikih kebencanaan Muhammadiyah tuntas sampai penjelasan tentang tata cara ibadah praktis dalam kondisi bencana. Terkait trilogi epistemologi yang digunakan tetap sesuai dengan manhaj persyarikatan yakni pendekatan “Bayani”, pendekatan “Burhani”, dan pendekatan “irfani”.

Langkah-langkah Persyarikatan Menghadapi Bencana.
Ada beberapa langkah Persyarikatan di dalam menghadapi terjadinya bencana, dengan mendayagunakan perangkat persyarikatan secara simultan, yakni :
Pertama, menggerakkan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Melalui wadah ini Muhammadiyah telah dan akan terus bekhidmat dalam penanganan kebencanaan baik di dalam maupun luar negeri. Ini menjadi salah satu aksi nyata Muhammadiyah untuk hadir meringankan kesengsaraan umum. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) adalah sebutan dalam bahasa inggris dari Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah yang merupakan salah satu unsur pembantu pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah pada tingkat Pusat (Nasional), Wilayah (Provinsi) dan Daerah (Kabupaten) se Indonesia. Bertugas mengkoordinasikan sumber daya Muhammadiyah dalam upaya tanggap darurat pemulihan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan penguatan sistem jaringan, organisasi dan pengelolaan sumber daya penanggulangan bencana.
Kedua, menggerakkan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat). Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) adalah badan pembantu pimpinan Pesyarikatan guna membumikan visi sosial Muhammadiyah. Visi sosial Muhammadiyah adalah mendasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Ma’un yang sejak kelahirannya diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan. Tiga ayat awal dari Al-Qur’an surat Al-Ma’un ini memberi inspirasi bagi dikembangkannya berbagai aktivitas untuk memberdayakan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan, sekaligus dengan mendorong juga upaya serius dalam rangka menjamin ketersediaan pangan yang halal dan thayib.
Ketiga, menggerakkan Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Muhammadiyah).
Lazismu adalah lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya.
Lazismu didirikan oleh PP Muhammadiyah pada tahun 2002, selanjutnya dikukuhkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui SK No. 457/21 November 2002. Dengan telah berlakunya Undang-undang Zakat nomor 23 tahun 2011, Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014, dan Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia nomor 333 tahun 2015. Lazismu sebagai lembaga amil zakat nasional telah dikukuhkan kembali melalui SK Mentri Agama RI nomor 730 tahun 2016.
Lazismu adalah lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi mitigasi kebencanaan, di samping mengetrapkan Fiqih Kebencanaan, juga mendaya gunakan Tiga lembaga dalam Muhammadiyah ini (MDMC, MPM, dan Lazismu) menjadi ujung tombak dalam melayani kebutuhan masyarakat, bersinergi secara simultan.
Faktanya bahwa di berbagai tempat yang tertimpa musibah, apakah bentuk bencana alam, kematian, maupun kesulitan hidup, ke tiga lembaga Muhammadiyah tersebut secara sigap langsung hadir di tempat, bahkan kadang-kadang lebih dahulu datang sebelum pihak pemerintah datang.

*Direktur Ma’had Umar Ibnu Khattab UMSurabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini