Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi
KLIKMU.CO
Jika antum jadi penggembira atau peserta muktamar bulan November di Solo nanti, ke mana tempat pertama kali dituju? Pasar Klewer, Kraton Mangkunegaran, mal, atau tempat wisata lainnya?
Pernahkah terpikir bisa berjabat atau bertakzim kepada para ulama Muhammadiyah yang kebetulan sedang membikin halaqah, syukur minta didoakan agar pulang mendapat keberkahan.
Bukankah pada muktamar Muhammadiyah di Solo nanti dan muktamar-muktamar sebelumnya telah berkumpul para ulama, cerdik cendekia, dan para bijak bestari Muhammadiyah di seluruh dunia? Bahkan para wali karomah yang terdeteksi atau tidak berkumpul bersama. Sungguh keberkahan telah tercurah. Dan sungguh tidak untuk dilewatkan begitu saja.
Muktamar adalah halaqah terbesar ulama Persyarikatan. Ini yang sering luput dari perhatian sebagian kita. Muktamar hanya dipahami leterlek—ritual lima tahunan memilih calon ketua lewat biting suara dilanjut prosesi pembukaan dan penutupan. Tersenyum, pulang, dan capek, tapi apa yang kita dapatkan?
Sungguh naif kalau muktamar hanya dipahami sebagai media memilih 13 formatur untuk ditetapkan siapa yang bakal jadi ketua PP berikutnya. Lantas apa bedanya dengan pilpres, pileg, pilgub, atau lainnya.
Menemukan kembali spiritualitas muktamar bukan hal mudah, apalagi di tengah arogansi rasionalitas dan karakter puritan yang terus menggurita di kalangan sebagian para aktivitis Persyarikatan cukup merepotkan bahkan terkesan menutupi hikmah yang layaknya bisa diambil. Paradoks jika bertakzim kepada para ulama Muhammadiyah dipahami sebagai kultus. Dan bertakzim dianggap sebagai syirik. Insya Allah kami bisa memahami dan mampu menjaga niat.
Insya Allah saya akan datang beserta rombongan jamaah Padhang Makhsyar untuk mencium tangan Pak Amien Rais, Pak Din Syamsuddin, Pak Haedar Nashir, Pak Wawan Gunawan, Pak Syamsul, Pak Saad Ibrahim, dan berziarah ke makam Kiai Dahlan, Pak AR, Buya Syafii, dan para ulama Muhammadiyah lainnya.
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar