Operasi Intelijen Penangkapan DN Aidit

0
201
Operasi Intelijen Penangkapan DN Aidit. (Wikicommon)

Oleh: Gus Doel

KLIKMU.CO

Tanggal 1 Oktober 1965, seolah  titik balik dari keyakinan  Aidit. Tidak seperti sebelumnya, saat perencanaan aksi yang dinamakannya G30S. Tampak begitu percaya diri, bakal memperoleh hasil yang gemilang. Setidaknya, ada beberapa tanda sebagai “persoalan berat”, nasib Gerakan Tigapuluh September.

Pertama: Kegagalan upayanya  bertemu Presiden Soekarno, beberapa jam sebelum aksi dilaksanakan. Padahal, sejumlah dokumen dan rencana, sudah disiapkan dengan matang, untuk disampaikan kepada Bung karno. Kedua: Pagi hari setelah aksi, Brigjend Soepardjo tidak berhasil mendapatkan restu dari Presiden, terhadap G30S. Ketiga: Sudah barang tentu, Aidit juga mendapatkan informasi lengkap, tentang perlawanan Kostrad. Rupanya, Sikap Mayjend Soeharto, tidak pernah dikalkulasi sebelumnya.

Aidit sudah berpengalaman lolos, atas keterlibatannya dalam PKI Madiun. Juga, terlepas dari bilik jeruji Wirogunan, atas penahananya. Ketua CC PKI itu, tentu tahu bagaimana dan ke mana akan mencari tempat perlindungan yang aman, setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Komplek Halim, sudah bukan tempat persembunyian yang aman.

Lokasi sekitar komplek pangkalan udara, yang menjadi Pusat Komando G30S, sudah terendus oleh Kostrad. Maka, kota Solo menjadi pilihan tujuan pelariannya. Berdasarkan beberapa kesaksian di Mahmilub, Aidit terbang ke Yogya difasilitasi Angkatan Udara, pada hari sabtu dini hari, 2 Oktober 1965.

Kolonel Yoga Soegama, perwira Intelijen Angkatan Darat, sudah memiliki pola perhitungan, berkenaan dengan jalan pikiran PKI dan Aidit. Dapat diperhitungkan dengan baik, ke mana dan bagaima akan melarikan diri. Tentu saja, termasuk kemungkinan adanya perlindungan yang ketat, dari pendukung setianya. Rupanya, Analisa perwira lulusan Akademi Militer Jepang, dan Sekolah intelijen Inggris itu sangat tepat. Disusunlah rencana rahasia, menghadapi kemungkinan perkembangan situasi. Sangat cermat, teliti dan penuh perhitungan, dalam mengatur rencana penyusupan, ke dalam tubuh PKI di Solo.

Masa-masa itu, “penyusupan” menjadi istilah yang sering terdengar, dalam soal keruwetan hubungan antar organisasi dan lembaga. Menjadi masalah yang tidak mudah untuk diidentifikasi, “siapa yang menysusup” dan “lembaga apa yang disusupi”. Maka, dicari orang yang tepat dan teruji, menjalankan misi rahasia yang rumit, penuh resiko itu.

Sriharto alias Liem Han Koen terpilih sebagai agen rahasia, dalam operasi “Jarop Lebah” ini. Dari latar belakangnya, dinilai tepat melakukan penetrasi, dalam penyamaran. Diperkirakn, mudah diterima dan dipercaya kalangan PKI, yang disusupinya. Misi rahasia begitu berat, bukan hanya menagkap Aidit, juga membongkar jaringan rahasia PKI, di  Jawa Tengah.

Kendali jaringan operasi,  di tangan Kolonel Yasir Hadibroto. Perwira Menengah itu, Komandan Pelaksana Kuasa Perang (Komandan Pekuper). Markasnya di Brigif IV, Lojigandrung, Solo. Secara teknis, koordinator operasi di pundak Kapten Hartono, Kasi I Pekuper Brigif IV. Sebagai pelapis bayangan intel, Letda Ning Prajitno. Sriharto diperkenalkan sebagai Intel Kostrad. Intel sipil itu, bagian dari Direktorat Khusus Staff Angkatan Bersenjata, Kompartemen Pertahanan Keamanan.

Operasi penyamaran dimulai dengan penyusupan ke dalam SBIM ( Serikat Buruh Mesin dan Metal ), organisasi di bawah naungan SOBSI. Penyamaran lebih mudah, karena posisinya sebagai Wakil Ketua Partai Indonesia ( Partindo ), Karanganyar. Jabatan itulah yang mengantarkannya menjadi anggota legislatif DPRGR. Sumber lain mencatat, Sriharto dibekali Kartu Anggota PKI, yang terdaftar sejak tahun 1963.

Melalui jalan berkelok, penyamaran membawanya kepada nama Siswandi, aggota Biro Khusus PKI, Daerah Solo. Dari situlah didapatkan nama Soedarmo, pengawal pribadi DN Aidit. Begitu unik hubungan di antara mereka, rumit dan penuh kerahasiaan. Komunikasi dan korespondensi dilakukan dengan sandi-sandi khusus. Siswandi tahu, Soedarmo bertugas menyembunyikan Aidit.

Pun demikian, tidak mudah mendapatkan  informasi tetang keberadaannya. Mereka tidak gampang saling percaya, satu-sama lain. Meski mereka sesama PKI, akrab dan kenal dekat. Begitulah sikap terhadap Sriharto yang baru dikenal.

Dalam situasi yang serba rahasia, Sriharto dituntut sabar dan hati-hati.  Tidak pernah disinggung mengenai Aidit, dalam pembicaraan. Skenario dibuat dengan menyesuaikan perkembangan. Problem yang pertama dipecahkan adalah langkah penetrasi dilakukan. Bagaimana, upaya agen rahasia mendapatkan kepercayaan penuh, secara meyakinkan. Diharapkan, tabir rahasia dapat terbuka lebar.

Pilihannya, upaya tercipanya suasana “teror-psikologis”. Tujuannya, Aidit merasa terancam dalam persembunyian. Cara ini, memancing sekaligus memberikan tekanan, agar terjadi pergerakan Aidit. Harapannya, akan muncul dari persembunyian ke permukaan.

Hasil penyamaran mulai terasa. Siswandi lebih terbuka dan intensif bertemu. Situasi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Sriharto. Sebagai agen, peran dirinya seolah memiliki banyak informasi, berkenaan operasi pembersihan Angkatan Darat. Itu dilakukan untuk mendapatkan perhatian dan kepercayaan. Diciptakan suasana aman dan nyaman, dengan keberadaan sang Agen.

Disampaikan kepada Siswandi, Angkatan Darat sudah menemukan nama-nama aktifis PKI di Surakarta. Siswandi termasuk dalam daftar target penangkapan. Dalam keadaan panik, ditawarkan solusi, ersembunyi ke tempat aman, menghindari penangkapan. Tawaran pun disetujui. Tanggal 12 November sore, Siswandi dibonceng menuju ke Palur.

Malamnya, benar-benar dilakukan  penggeledahan, di rumah Siswandi. Operasi yang dipimpin oleh Kapten Hardijo itu, memang kamuflase semata. Tujuanya, mendukung operasi penyamaran. Memberikan kesan, informasi Sriharto akurat dan dapat dipercaya. Efek “drama  penggerebegan” begitu nyata. Siswandi merasa terselamatkan oleh “bantuan tulus” teman barunya. Tidak disadarinya, sang penolong sebetulnya agen lawan. Anggota Biro Khusus PKI itu semakin percaya kepadanya. Selanjutnya, Sriharto memperoleh kepercayaan mengurus persembunyian Aidit.

Operasi penyamaran menunjukkan kemajuan yang pesat. Tanggal 14 Nopember 1965, Siswandi dan Soedarmo berinisiatf bertemu Sriharto. Mereka merencanakan penyelematan Aidit. Teror- psikis yang mereka terima, berdampak besar. Tercipta suasana gelisah dan mengkhawatirkan. Hasil diskusi sampai pada kesimpulan, ketua CC PKI  harus dipindahkan persembunyiannya. Sandi  untuk menyebut Aidit, “Radio Yang Sedang rusak”.

Perkembangan baru ini, secara rahasia, disampaikan ke markas Brigiv IV. Diperlukan Back up intel yang dilaksanakan secara lebih ketat dan cermat. Tugas operasi dibagi menjadi dua. Sriharto bekerja di dalam ring target, sementara pasukan Letda Ning Prajitno, tailing dari luar. Situasi antara “pemburu” dan “target buruan”, sangat dinamis. Tak jarang diperlukan langkah cepat-tangkas, manakala target melakukan langkah dadakan dan pola yang berubah-ubah. Pada tahap ini terjadi adu kecerdikan.

Disepakati, tanggal 15 Nopember 1965, jam 10 pagi, dilaksanakan pemindahan “Radio Yang Sedang Rusak”, ke rumah Sriharto. Sesuai rencana, jam 9 pagi, Soedarmo datang ke rumah Sriharto menggunakan jaket, berbadge GPTP (Gabungan Pejuang Tentara Pelajar). Baju yang dikenakan berbahan drill, kaca mata hitam dan berpeci hitam.

Dengan demikian sangat sulit dikenali. Mereka menuju tempat persembunyian Aidit. Perjalanan membutuhkan waktu 10 menit. Rumah persembunyian, di kampung Sambeng. Sesampai di tempat, Soedarmo langsung masuk ke dalam rumah, sementara Sriharto ditemani Kasim di halaman depan. Tak lama kemudian, muncul Aidit yang sudah menggunakan pakaian, yang tadinya, dipakai Soedarmo. Tujuan bertukar pakaian, dalam rangka kamuflase, seolah yang keluar sama dengan yang tadinya masuk. Sandi yang digunakan, “Radio yang sudah rusak siap dibon”, ketua CC PKI itu menganggukkan kepalanya.

Keduanya bergerak ke rumah Sriharto. Reute yang diambil, melalui jalan besar Sambeng-Gondang, Manahan, Kerten lalu Kleco. Sepeninggalan Aidit, malam harinya dilakukan Operasi Mendadak, di kampung Sambeng. Alasan yang digunakan, penggeledahan senjata. Tujuan sebenarnya, dalam rangka membuat sketsa isi rumah Kasim. Dengan demikian akan lebih mudah menangkap buruan, manakala dilaksanakan operasi yang sesungguhnya.

Peristiwa penggerebegan, dilaporkan kepada Aidit. Kejadian itu, tidak menimbulkan kecurigaan, Sebaliknya, justru bertambah yakin akan kesetiaan Sriharto. Begitu percayanya, Aidit mempercayakan,  pistol Colt 38 kepada Sriharto. Senjata yang dikirim melalui kurir khusus, dari Jakarta.

Dengan dipastikannya keberadaan DN Aidit, dapat mudah terbaca, kemana jaringan terhubung. Termasuk kedatangan seseorang dari Cakrabirawa, pada tanggal 17 Nopember 1965. Orang tersebut membawa pesan, tentang hasil pertemuan pengurus PKI yang masih di Jakarta. Dari situ terkumpul data penting tentang keberadaan buronan lain.

Disampaikan informasi, akan dilakukan pembersihan di tempat persembunyian Aidit. Dipandang perlu, segera mengambil langkah pemindahan “Radio Yang Sedang Rusak”. Dipilih Kembali ke tempat  yang lama. Persembunyian baru, belum tentu terjamin keamanannya. Apalagi, persembunyian  lama sudah pernah digeledah. Perhitungannya, kemungkinan tidak akan dilakukan lagi. Demikian saran Sriharto, yang sebetulnya, mempunyai rencana lain dalam operasi intelejen.

Operasi pemindahan didahului  telik sandi, yang dilakukan Soedarmo ke kampung Sambeng. Begitu dinila aman, “radio yang sedang rusak” siap dikembalikan. Begitu evakuasi selesai, Soedarmo meninggalkan tempat bersama Sriharto. Soedarmo menuju  ke rumah Mayor Kaderi ( Dan Yon K ), di Jl. Slamet Riyadi. Siswandi pun diantar Sriharto ke tempat yang sama.

Rumah Mayor Kaderi dianggap sebagai  persembunyian yang aman. Batalion K, termasuk kesatuan yang menandatangani dukungan terhadap G30S. Lebih dari itu, juga mengirimkan dua kompi pasukannya ke Semarang, memberikan dukungan kepada Angkatan Darat, yang pro G30S.

Setelah dipelajari secara detail dan teliti, saatnya operasi penangkapan dilaksanakan. Semula, direncanakan 23 Nopember 1965, dinihari. Operasi yang dipimpin Kapten Hardijo tersebut, dimajukan beberap jam. Tepatnya, 22 Nopember, jam 20.00. Operasi dilaksanakan secara serentak. Penangkapan Aidit di rumah Kasim, bersamaan penangkapan Soedarmo dan Siswandi, di rumah Mayor Kaderi. Sriharto pun juga diborgol, untuk meberi kesan, seolah tawanan sungguhan. Dari keterangan Sriharto, diperoleh informasi, Siswandi menyembunyikan koper DN Aidit yang berisi sejumlah uang, pecahan ribuan serta dokumen penting.

Penggerebegan dirumah Mayor Kaderi, mula-mula hanya berhasil menangkap Soedarmo. Siswandi berhasil lolos bersama koper milik Aidit. Setelah dilakukan penggeledeahan yang lebih seksama, ternyata  berada di kolong tempat tidur, yang ditutup seprey. Dari dua tawanan ini diperoleh informasi,  DN Aidit berada di rumah Harjo Martono, di Sambeng.

Penangkapan DN Aidit pun tak kalah dramatisnya. Begitu pasukan masuk, Aidit sudah tidak ditemukan. Diobrak-abrik seisi rumah, hasilnya nihil. Pemilik rumah bersikeras, tidak mengakui keberadaan gembong PKI. Bagi Letda Ning Prajitno, secangkir kopi yang masih hangat dan rokok yang masih mengepul, cukup sebagai petunjuk. Dengan intimidasi kekerasan serta petunjuk yang ada, tidak bisa mengelak lagi. Berakhirlah sudah pelarian dan persembunyian pucuk pimpinan PKI itu. Aidit berada di belakang lemari, yang memang dipersiapkan sedemikian rupa untuk persembunyian. Gembong PKI itu, menyerah dan diringkus ke markas Lojigandrung.

Tugas berat dari Pangkostrad kepada Kolonel Yasir Hadibroto, berhasil gemilang. Ke depan, karir sang kolonel semakin moncer menuju puncak. Yasir Hadibroto mengakhiri karir dengan pangkat Mayor Jendral TNI. Pria kelahiran Banyumas, 23 Oktober 1923 itu sempat menjabat sebagai Gubernur Lampung periode 1978-1988. (*)

Sumber
1. Komunisme Indonesia (Penumpasan PKI dan Sisa-sisanya, Jakarta 2009)
2. Yoga Sugama, catatan perwira Intelijen 1985
3. Salim Said, Gestapu 1965 PKI Aidit, 2015

Gus Doel
Mantan Jurnalis, Peminat Politik Militer
Wakabid Sosial PCM Sawahan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini